semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Cerita di Mess Kepiting


Sudah seminggu lebih aku tak menuangkan gagasan, atau sekadar bercerita saja tentang hari-hariku di tambak Takisung. Tangan terasa sangat gatal, pikiran berkecamuk. Ada beban di kepala, seperti air yang bergejolak atau batu yang bertindih-tindih. Ya, sesuatu yang abstrak ini tampak lebih hebat dibanding yang nyata, sebut saja pikiran sebagai premisnya. Suatu kehendak yang tertambat, tertimbun dalam gua pikiran. Tertumpuk bersama lemak di permukaan korteks, kemudian merasuk ke sistem syaraf, terkontak dengan syaraf motorik, dan berhasil merisaukan sendi dan otot-otot gerakku.

Aku mulai dengan kedipan, dengan membasahi bola mata, agar tetap tegar berhadapan dengan layar kaca. Tangan kubiarkan saja menari di papan keybord, sesekali meregang untuk melesatkan energi. Sementara memori terpendar dalam alur-alur waktu, membayangkan hari-hariku berlalu dengan senda gurau beriring kesunyian. Momentum yang patut kurindukan kelak, karena bergulir dalam renungan di hadapan senja, sembari membiaskan diri pada air yang berkilau. Kontemplasi tentang dunia kecil di antara orang-orang luarbiasa. Manusia yang mencurahkan waktu dan tenaga untuk pertukaran yang sedikit. Demi masa yang singkat, sekadar untuk hari ini dan esok saja.

Ada rasa bersyukur sekaligus sedih, berterimakasih pada tuhan karena aku telah dibiarkan hidup dengan cukup berada, plus mendapat kehormatan untuk mengecap dunia pendidikan. Sementara kawan-kawanku, telah hidup mandiri sejak kumisnya belum bertumbuh. Mandiri dengan mengandalkan otot dan keberanian. Merantau ke kampung melayu, kemudian menghitung duit dengan bulir-bulir keringat. Tak ada waktu bagi mereka untuk menikmati romantisme buku-buku klasik, memahami teori ekonomi, atau memaknai perkembangan politik bangsa. Tak pernah terbesit niat untuk menyaksikan film terbaru seperti film fenomenal ‘Ketika Cinta Bertasbih’ atau sekadar menghalau matahari senja di sebuah pantai. Waktu mereka hangus untuk mengabdi pada perusahaan, membiarkan dirinya tumbuh dalam kesunyian tambak.

Meski begitu, masih banyak hal yang dapat menghibur mereka, menghalau kesunyian sesekali. Ya, bintang-bintang yang berkelap-kelip di hamparan langit malam, sembari membayangkan wajah keluarga tercinta, merindukan sepotong hati yang tertambat di kampung halaman. Di sela-sela waktu mereka bernyanyi, mengikuti iringan lagu dalam program acara televisi swasta yang hadir di sepanjang pagi. Ada juga yang merokok di halaman depan, duduk di papan kayu dengan headset di kuping, lalu menggoyang-goyangkan kepala menikmati alunan lagu rock. Di antara mereka, ada yang menelpon mesra dengan sang pujaannya. Menelpon sambil tiduran beralaskan karpet lusuh di teras mess. Bercanda dengan logat Jawa, sesekali cengengesan, pada nadanya yang lirih, rasa rindu pun melempem pergi, turut bersama gelombang udara menuju lubang hitam hati.

Barangkali, kepiting-kepiting yang terkurung dalam kotak hitam itu juga turut memberi sepotong kebahagiaan. Bagaimana tidak, karena hewan berjalan miring inilah mereka dapat menjalani hidup lebih baik. Memberi nafkah kepada mereka dengan cara yang halal. Membuat mereka tetap optimis terhadap dunia, punya cita-cita akan kehidupan yang lebih baik kelak. Kepiting telah memberinya harapan untuk aktualitasasi diri sebagaimana manusia normal, dimana kerja adalah manivestasi. Manusia bernilai dari pekerjaannya.

Ada pula kawan yang puak melayu, yang selalu saja tersenyum menanti peluh yang sebentar-mengucur mengucur. Kawan-kawan itu menjalani hari dengan air muka yang cerah, tak tampak kesedihan pada wajahnya, meskipun selalu menghantui. Barangkali, rahasia kebahagiaannya adalah rasa syukur juga, ada kebanggaan pada dirinya. Seidaknya, tak membuat orang lain menjadi sempit dengan keberadaannya.

Kawan-kawanku itu diantaranya, Zai’in bertugas sebagai pengukur kualitas air, yang kerjanya mengukur parameter-parameter kualitas air, seperti suhu, salinitas, pH, setiap dua jam sekali. Didi dan Udin yang bertugas untuk mengecek kepiting yang mengganti kulitnya dan kepiting yang mati, juga setiap dua jam sekali. Anwar sebagai pencatat kejadian-kejadian pada sepanjang hari, berupa data-data penting seperti kepiting yang molting dan mati pada setiap tambak. Mas Adi yang bertugas mengontrol sembari membantu para pekerja harian. Fatimah yang bertugas memasak di dapur, menyediakan kepada kami makanan ala kadarnya, seorang Misrawati yang setia terhadap mesin ozon, siap untuk mensterilkan kepiting lunak yang baru saja diangkat dari tambak. Terdapat pula Kak Yani, yang sungguh profesional melakukan pengepakan untuk menjaga mutu kepiting yang hendak dieksport ke negeri paman sam, Amerika Serikat. Semua orang itu akan selalu kukenang-kenang, banyak pelajaran berharga yang kuserap secara tidak langsung dari mereka.

Seorang pegawai lagi, yang saya anggap sudah sebagai saudara sendiri. Namanya Supariono, biasa saya sapa Mas Supar. Ia banyak mengajarkan kepada saya tentang kehidupan, tentang tantangan dunia luar. Bapak yang sudah mempunyai dua orang anak ini adalah pengusaha percetakan sukses di kampung halamannya, di sebuah kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kami sering berbincang, apa saja. Mulai dari kepiting, tambak, percetakan, manusia, mahasiswa, hukum, bisnis, masa depan, dan masa lalu.

Ada tawar menawar pada diskusi kami, seperti laju pasang surut pada muara sungai, dimana kehidupan di sekitar muara menjadi tambah subur karenanya. Saya pun bebas mengeksplore ide-ide saya, konsep-konsep saya, pengalaman-pengalaman berharga sebagai wartawan, pengasuh redaksi, aktivis himpunan, dan sebagai manusia biasa. Sementara mas Supar lebih memacu saya lewat trobosan-trobosan bisnisnya, kreatifitas-kreatifitas yang ia kembangkan untuk usaha percetakannya, peluang-peluang usaha yang tampak di depan matanya. Dan harapan-harapannya untuk mencapai status bebas finansial. Dari Bapak Supar, ini saya memperoleh optimisme, untuk mengelola peluang yang ada. Memberi informasi untuk menjalani hidup lebih terjamin. Untuk selalu berani mencoba sesuatu yang baru, pantang menyerah menghadapi tantangan di hadapan. Pada beberapa diskusi kami itu, ada kesimpulan yang berhasil kami rumuskan bersama, yaitu informasi itu harus dibagi untuk kebaikan orang lain, hukum alam akan berlaku dimana orang lain pun tak sungkan membagi pengetahuannya kepada kita. Kami berdua percaya pada hukum kausalitas, beserta hukum geraknya Isac Newton, yaitu Aksi dan Reaksi.

Sepertinya, tulisanku ini sudah cukup panjang, meski masih banyak realitas yang belum tertorehkan. Tapi tak apalah, yang jelasnya saya telah mengkristalkan sedikit dari pikiran saya, renungan-renungan di saat sendiri.
Ya, di takisung sini saya tidak sepi-sepi amat, masih banyaklah saudaraku yang selalu menjadi pelipur. Bersama mereka saya selalu bertukar kesedihan dan keluhan, disamping juga bertukar kebanggaan. Khususnya untuk saudara Yasir yang selalu setia mendengarkan dan memberi input. Terimakasih ya.. dua bulan kita bersama mengarungi waktu yang penuh tantangan..

Minggu, 26 Juli 2009
Masih di Takisung



0 komentar:

Cerita di Mess Kepiting