semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Warisan Kebudayaan Raib di Fakultas Ilmu Budaya


Fakultas Ilmu Budaya Unhas geger. Pasalnya, awal Januari tersiar kabar kalau fakultas ini melakukan renovasi perpustakaan. Termasuk membersihkan seluruh buku-buku yang ada. Tetapi buku yang dibersihkan itu bukan diatur rapi, tapi diindikasi di jual ke toko buku loak, sebab raib begitu saja. Konon katanya, ada yang talang di Jogyakarta. Dari kabar yang terdengar bahwa buku-buku yang digelontarkan itu seukuran satu truk dan tiga mobil open kap.
Institusi yang dianggap memegang teguh prinsip-prinsip kebudayaan ini telah gagal atau mundur sekian lngkah dalan memajukan peradaban. Sebab telah kehilangan warisan vitalnya, yaitu ribuan buku bacaan, ikut pula skripsinya di dalamnya. Menurut saksi mata yang dikutip dari Tabloid identitas Unhas, Ary (Samaran) mengaku melihat buku-buku perpustakaan diangkut dengan menggunakan mobil pick up sekitar tujuh bulan lalu, ketika renovasi perpustakaan mulai kelar. Sebagian memang buku yang diangkut itu sudah tampak rusak lantaran terkena air hujan, namun menurut Ary, masih banyak diantaranya yang masih layak pakai.
Hingga kini, riak-riak protes terhadap pelecehan intelektual itu terus bergulir. Senat Mahasiswa Ilmu Budaya pun telah menghimpun tim investigasi untuk terus menyelidiki kasus ini. Mereka ingin menyingkap dalang penghilangan ribuan buku itu. Di samping itu, setelah didesak oleh aksi demonstrasi mahasiswa, pihak dekanat FIB akhirnya juga membentuk tim investigasi kasus ini, namun itu sudah terbilang telat, sebab kasus ini sudah berlangsung sejak tujuh bulan yang lalu, tapi kenapa baru digubris pada bulan-bulan terakhir ini.

Ironi Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Sebenarnya isu pelemahan kadar budaya nasional bangsa sudah beberapa kali disinggung media, terakhir kali ketika isu pelarangan buku “Membongkar Gurita Cikeas di Balik Kasus Century, karya Peneliti George Yunus Adijontro” yang dengan gamblang membongkar mafia dan aliran dana Skandal Bank Century. Tapi pelarangan sistematik itu kandas karena derasnya desakan masyarakat dan media, sehingga berangsur-angsur buku itu akhirnya dapat dengan bebas dikonsumsi publik.
Ini juga yang menjadi bukti bahwa karya intelektual berupa buku, apalagi merupakan buku ilmiah yang diolah dengan ketelitian yang jelimet serta dengan metodelogi yang ketat, merupakan warisan demokrasi suatu bangsa. Sehingga harus dibiarkan tumbuh subur, untuk memupuk semangat ilmiah, toleransi, pluralisme, serta memberi akses terhadap hak asasi manusia yang dalam hal ini hak mengutarakan pendapat. Dengan begitu, boleh dikata bahwa siapa saja yang melakukan pelarangan buku adalah tindak kriminalisasi ilmu pengetahuan dan demokrasi.
Raibnya ratusan buku di perpustakaan FIB merupakan sebuah cacat besar sebuah institusi akademik. Apalagi peristiwa ini terjadi di pusat kajian budaya, yang idealnya memiliki arsip yang lengkap, terdokumentasi dengan baik, bagaimana pun perwajahan luar buku itu. FIB dalam hal ini telah melakukan kelalaian luar biasa terhadap obyek materil (baca:buku) perkembangan peradaban yang bersifat berkelanjutan, serta menghilangkan jejak sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun oleh ribuan insan akademik. Hasil buah pikiran mereka yang terekam dalam buku-buku cetak serta skirpsi mahasiswa dengan entengnya dijual di toko loak tanpa memperhitungkan nilai informasinya dan nilai sejarahnya. Hasil-hasil penelitian mahasiswa yang didokumenkan dalam bentuk skripsi adalah barang yang tak ternilai harganya, karena akan membantu pemahaman kita terhadap keragaman budaya bangsa dan daerah, keunikan bahasa, serta hasil-hasil karya nenek moyang kita.
Sejujurnya, tindak ironis itu tak mencerminkan jiwa para pecinta kebudayaan yang sekarang berteduh di bawah pohon FIB. Pada galibnya, mahasiswa atau siapa saja yang sering bersentuhan dengan tema-tema kajian budaya, pasti akan dengan ikhlas melakukan perawatan buku, memelihara dan mengkajinya. Dalam pengertian umum, budaya sendiri ditafsirkan sebagai sebuah proses kognitif yang secara sadar menghasilkan inovasi-inovasi terbaru yang secara langsung memajukan masyarakatnya. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, daya, karsa suatu masyarakat.
Sementara menurut Pritjof Capra, seorang futurolog dan ahli fisika modern Swiss menunjukkan bahwa budaya tak lain adalah makna, sebuah kemunculan spontan dari proses dissipatif, yakni proses dalam alur kompleksitas yang nonliner, dimana terjadi perubahan struktur secara terus menerus, tapi tetap mempertahan pola jaringan yang sama. Pada proses yang disokong oleh paradigma materi, paradigma bentuk dan paradigma proses ini, akan melahirkan sebuah hal baru yang di sebut paradigma makna. Tulisan adalah makna yang dihasilkan dari proses panjang evolusi budaya manusia, yang lahir dari rahim kompleksitas kognitif atau kesadaran mental tingkat tinggi, yang tentunya dengan bantuan obyek material berupa otak.
Saya pikir segenap insan FIB paham bahwa buku adalah warisan kebudayaan tertinggi, dari perjalanan evolusi budaya manusia. Yang diketahui bermula dari pemahaman mengenai komunikasi menggunakan gerak tangan, yang termaktub dalam lukisan-lukisan hewan di dinding-dinding gua, komunikasi lisan, bergeser ke simbol-simbol bergambar seperti hyroglief Mesir, tulisan paku di Mesopotamia, hingga ke tingkat budaya tertinggi, berupa simbol-simbol huruf yang tercetak di beragam media, yang kemudian disebut sebagai saman sejarah.
Perjalanan panjang buku telah berlangsung sejak masa, diidentifikasi sejak penemuan kertas oleh Tsa Ai Lun di Cina pada 105 M, yang saat itu mempersembahkan contoh kertasnya ke Kaisar Ho Ti. Sejak saat itu, penggunaan kertas meluas di seluruh Cina, dan telah mengekspor kertas ke Asia. Di tahun 751, beberapa tenaga ahli pembikin kertas tertawan oleh orang-orang Arab sehingga dalam tempo singkat kertas sudah diprodusir di Bagdad dan Sarmarkand. Teknik pembikinan kertas menyebar ke seluruh dunia Arab dan baru di abad ke-12 orang-orang Eropa belajar teknik ini. Sesudah itulah pemakaian kertas mulai berkembang luas dan sesudah Gutenberg menemukan mesin cetak modern, kertas menggantikan kedudukan kulit kambing sebagai sarana tulis-menulis di Barat.
Kini penggunaan kertas begitu umumnya sehingga tak seorang pun sanggup membayangkan bagaimana bentuk dunia tanpa kertas. Di Cina sebelum penemuan Ts'ai Lun umumnya buku dibuat dari bambu. Keruan saja buku macam itu terlampau berat dan kikuk. Memang ada juga buku yang dibuat dari sutera tetapi harganya amat mahal buat umum. Sedangkan di Barat --sebelum ada kertas-- buku ditulis di atas kulit kambing atau lembu. Material ini sebagai pengganti papyrus yang digemari oleh orang-orang Yunani, Romawi dan Mesir.
Kini, telah berjuta buku diprodusir untuk kepentingan sejarah dan pengetahuan. Tapi, alangkah anehnya jika FIB dapat merelakan ratusan bukunya terparkir di gerai-gerai yang tak jelas kepeduliannya terhadap warisan budaya itu. Tentu menjadi pertanyaan menggelitik mengenai sebab-musabab tingkah ceroboh ini. Bagaimana mungkin pihak birokrat tak tahu-menahu pengangkutan buku itu? apalagi dalam ukuran satu mobil truk dan 2 mobil pikc up? Kalau pun ada keterlibatan birokrat, kenapa bisa? Padahal watak Fakultas Ilmu Budaya erat kaitannya dengan jiwa sastra, ruh yang senantiasa bebas dalam berekspresi, bahkan dalam segala hal. Sastra tak dapat dilepaskan dari seni, dimana seni hanya dapat tumbuh pada habitat yang bebas, arena yang fleksibel dan komunikatif. Dengan kebebasan itu, mereka tidak akan dengan mudah menghilangkan jejak sejarah, dalam bentuk buku-buku itu.

Mencontoh Kepada Paus Sastra
HB. Jassin adalah Lektor Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang dengan tekun mendokumentasikan ribuan artikel, majalah sastra, koran, puisi-puisi, syair dan surat-surat. Hasil jerih payahnya itu dapat ditemukan pada Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. PDS H.B. Jassin mengoleksi majalah sastra seperti Pujangga Baru, Kisah, Sastra, Budaya Jaya, Horison, dan berkala sastra yang terbit dari beberapa daerah di Indonesia seperti Sagang dan Menyimak (Riau), Cak (Bali), Gong (Jogja), Cokek (Solo), disamping majalah hiburan.
Setiap hari PDS H.B. Jassin dikunjungi sekitar 30 orang, yang sebagian besar adalah pelajar SMA, mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi atau peneliti sastra Indonesia dari dalam dan luar negeri. Setiap tahun PDS H.B Jassin menerima sekitar 30 rombongan. Setiap rombongan terdiri dari 50-200 orang.
Menurut Endo Senggono, Koleksi sastra Indonesia modern yang dimiliki PDS H.B Jassin pada saat ini dapat dikatakan yang terlengkap, karena hampir setiap karya sastra yang terbit didokumentasikan oleh Jassin. Karena sedemikian kuatnya pengaruh Jassin terhadap dunia sastra, Pada era 1970-an Jassin pernah dinobati sebagai Paus Sastra, Indonesia.
Namun, Kalau saja Hans Bague Jassin masih hidup dan menyaksikan perbuatan fakultas budaya itu, tentu ia akan menangis tersedu. Beliau akan malu dan kecewa berat, sebab tingkah dan teladan mulianya dalam mendokumenkan buku ternyata tak begitu berpengaruh di kalangan akademis FIB Unhas. Lantas, apalagi yang dapat diandalkan dari Fakultas Ilmu Budaya Unhas?

Idham Malik, Jurusan Perikanan
Terbit di Tabloid identitas UH, edisi awal Februari 2010.




2 komentar:

Rita Erniawati mengatakan...

blognya bagus dan sangat bermanfaat.saya akan berkunjung besok lagi...sebagai bahan referensi bisa kunjungi : www.majalah-sastra.blogspot.com

Idham Malik mengatakan...

terimakasih atas apresiasinya.. mari bersama membiakkan semangat literer di keseharian kita..

Warisan Kebudayaan Raib di Fakultas Ilmu Budaya