Selasa, 18 Januari bulan lalu, terhitung masih sepekan lebih berada di Jakarta. Waktu itu deskripsi kerja di perusahaan kepiting masih sangat kabur. Lantaran apa yang digadang-gadang dari Makassar, belum bisa diaplikasikan. Maklum, baru tiba dan mungkin harus adaptasi dulu. Tapi dalam benak terus menendang-nendang kata “Kapan!!” yah.. itulah yang membuat hari-hari awal selalu diliputi resah, karena dihadapkan pada dua kutub yang begitu membingungkan. Antara hendak kerja, namun bingung apa yang mau dikerjakan. Atau terlibat langsung bersama buruh-buruh itu. Sementara bos tetap terlihat ramah, meski kerjaku hanya mengamati saja mekanisme yang sedang berlangsung, sembari memberi pernyataan sekilas, tentang teori dan praktek seadanya dan semestinya. Mekanisme itu pun betul-betul sibuk, dimana detik-detik waktu pekerja dicurahkan untuk kepiting, dalam hal menyortir, merendam, memelihara dalam kotak fiber, dan terakhir mengepak.
Saya baru sadar pertengahan bulan ini (Februari), sesaat menunggu kelarnya ruang laboratorium di belakang gudang. Sadar bahwa adaptasi memang perlu, karena bulan ini metode dan persoalan-persoalan mulai keluar dari sarangnya. Pekan-pekan pertama awal, saya sekadar berasumsi saja, dengan membandingkan antara materi (teori) dan kejadian di lapangan. Tanpa tahu seluk-beluk detailnya. Dan kini, dengan beresah-resah dalam kebingungan, mulai timbul rasa percaya diri dan yakin bahwa teori itu ‘benar’. Tugas saya adalah membuktikan kebenarannya. pernyataan yang keluar saya usahakan berdasar hasil riset kecil-kecilan di pojok gudang. Dengan membanding-bandingkan hasil dari beberapa perlakuan eksperimen. Dengan begitu, ada harapan tidak terlihat menggurui lagi saat berbicara dengan pekerja, yang tampak saya lakoni pada hari-hari pertama.
Dalam kekosongan di hari-hari awal itu, sela-sela waktu pengamatan itu kumanfaatkan untuk melahap buku-buku novel, dalam tiga pekan sebanyak tujuh buku tamat riwayatnya, terendap di memori. Mungkin ini juga yang disebut adaptasi
, kebiasaan di Makassar belum juga saya bisa kurangi, yaitu membaca buku seharian, hingga mata perih atau terserang kantuk. Malah di Jakarta ini pada pekan-pekan awal ini makin menjadi-jadi, buku yang saya bawah sebanyak 15 buah itu serasa tak cukup, setengahnya buku penelitian berbau perikanan dan setengahnya adalah novel. Bahkan, dalam pengembaraan di Gramedia Matraman, dua novel klasik diganyang lagi, yakni ‘Burung-burung Manyar’ –nya Mangunwijaya dan ‘Putri Cina’-nya Shindunata. Kedua novel ini pun riwayatnya cuma seminggu dan kembali teronggok dalam tas.
Tampaknya, pernyataan-pernyataan ini cukup membayakan juga, karena jika diamati sekilas, saya terilhat tidak bekerja dan fokus dalam pekerjaan. Tapi, lagi-lagi, itulah kiranya yang disebut adaptasi. Barangkali, begitu juga yang ada di benak Pak Gin, atasan yang memberi sepenuhnya kepercayaan untuk mempelajari serta mencari solusi terhadap permasalahan di gudang kepiting. Di pikir-pikir, beruntung juga dapat bos seperti ini, jadi kesuksesan itu sepenuhnya itu ada di tangan kita, apakah mau direbut atau tidak, mau cepat atau lambat, semua ada dalam kendali kita.
Ya.. setelah sebulan, persoalan mulai tampak satu persatu, ia hadir tak diduga, saat sebelum tidur, saat asyik membaca novel, saat main internet, saat berjalan keliling kota atau sesaat selesai shalat. Ia datang tak diundang, ketika bertandang, langsung saja saya rekam, memutar-putar ulang di kepala dan mengait-kaitkan hubungannya. Dan tak lama kemudian mencatatnya dalam buku harian penelitian ku. Harapan yang muncul adalah semoga api semangat untuk memecahkan masalah tidak redup dan persoalan-persoalan terus dikawal hingga ditemukan benang merahnya. Tentang hal ini, nantilah saya ceritakan lagi, karena sekarang sementara berproses untuk terus meneliti dari hari ke hari, hal-hal yang tampak kecil tapi pengaruhnya cukup signifikan terhadap kematian kepiting. Jika kelak hasilnya mencuat, tak terbayangkan bagaimana rasa bahagia itu hadir. Dan, syukur pada yang Kuasa-lah semata, karena cahaya ilmu yang terbecik di benak dan hati ini berasal dari-Nya, selaku sumber cahaya.
Penjelajahan kedua
Kita kembali ke hari Selasa tadi, tanggal 18 itu saya menjelajah sendiri lagi untuk kedua kalinya. Kali itu rencananya saya ingin bertemu dengan dua senior yang bekerja di Jakarta, seorang bekerja sebagai staff ahli DPD Sulbar, yaitu Kanda Nurhan Tabau yang kini menyelesaikan studi masternya di IPB, dan seorang senior koran kampus identitas Unhas berinisial Gunawan Mashar, yang sudah 4 tahun berkelana di Jakarta selaku wartawan portal “detik.com”. hari itu, junior-junior yang baru saja ikut pelatihan lanjut jurnalistik di UNJ kepengen ketemu kak Gun juga. Yo wess..
Pukul 11.00 saya memohon izin ke bos via sms, setengah jam menunggu akhirnya terbalas; “ok mas, hati-hati”. Dengan riang dan dirubungi semangat, kaki melangkah keluar gudang untuk segera menuju halte busway di Perepatan cengkareng. Hari menuju puncak siang, setiap ikut arus deras kehidupan Jakarta dalam antri di halte, berdesakan saat masuk ke busway, bergelantungan sepanjang jalan, melihat mimik dan kontur wajah penumpang yang beragam, muncul rasa merdeka tiba-tiba. Saya seperti mendapatkan surga dunia yang barangkali lebih bisa disebut kegetiran. Wajah-wajah itu, yang tenang namun diliputi gelisah. Headset dipasang di kuping, dengan melipat tangan di dada, meski belum waktunya tidur siang, penumpang-penumpang yang duduk itu menutup mata berbarengan. Sebagian lagi menunduk. Tampaknya, waktu menjadi bencana di kota ini. Dan berkendara seperti merasakan detak waktu, merasakan alirannya yang tak lain memunculkan rasa bosan. Ya, dari raut wajah itu, mereka ingin melampaui waktu dengan berimajinasi sepuasnya, dengan memikirkan hal-hal positif yang menyangkut pekerjaan, atau memikirkan gebetan barunya. Tentu mereka ingin segera duduk nyaman di tempat kerja. Sepertinya mereka menemukan kenikmatan perjalanan hanya dalam hadset di telinganya.
Dalam busway ini banyak hal aneh, kadang terlihat anak muda berheadset yang langsung nyerocos menerobos duduk di kursi penumpang yang hendak turun ke pemberhentian berikutnya. Tanpa memperhatikan penumpang lain yang perempuan atau seorang bapak tua dari tadi bergelantungan. Pemuda itu pun langsung tutup mata dan pura-pura tidur, hingga ia mendengar halte tempatnya akan berhenti. Hal getir yang sudah umum yaitu begitu banyak anak muda yang dengan ego terus menempati kursi busway, walaupun di depannya berdiri seorang ibu yang lagi menggendong anak, perempuan yang seumuran dengan ibunya atau kakek-kakek tua. Sepertinya, lantaran kerasnya perjuangan di jalanan, orang tidak lagi memperhatikan keadaan orang lain, tetapi lebih mementingkan kenyamanan dirinya sendiri. Di ruang publik yang berdesak-desakan seperti ini, tak sedikit kasus pelecehan seksual yang terjadi. Sengaja atau tidak disengaja. Pernah saya melihat dua anak SMP, perempuan duduk dan sang pria di depannya. Sekilas saya mengamati mereka tampak asyik menyentuh-nyentuhkan kaki dan berpegangan tangan. Mereka pun tersenyum-senyum mesra.. kasus yang lebih dahsyat lagi saya temukan dalam koran kota yang berbau bombastis. Pada headline-nya berisi berita seorang lelaki yang dengan sengaja menempelkan kelaminnya di belakang tubuh perempuan ber rok pendek. Tiba-tiba penumpang lain melihat cairan putih pada betis wanita itu.. astagafirullah..
Kejahatan-kejahatan moral ini dapat lahir lantaran ruang publik yang sudah sakit. Kurangnya fasilitas yang memaksa penumpang berdesak-desakan sehingga memberi kesempatan pelaku kejahatan moral atau pun pencurian. Selain itu, semangat kemanusiaan warga kota yang mengalami dekadensi, yang tak lagi mempedulikan kedudukan perempuan yang mesti dihormati dan didahulukan pada ruang publik. Begitulah negeri kita, struktur yang menerobos alam suprastruktur. Kejanggalan materi yang turut merusak sisi-sisi kemanusiaan kita. Dari sisi ini, betul juga analisis Bung Marx brewokan itu.
Yah.. busway transit di halte Harmoni Jakarta Pusat, tampak antrian panjang dan orang setengah berlari untuk segera ikut antri. Lantai halte yang berbahan aluminum itu berdecak-decak ribut. Di Harmoni ini semua jurusan ada, ke Pulo Gadung, Cawang, Grogol, PGC, Cililitan, Pluit, Pinang Ranti, yah.. mau kemana saja bisa transit di sini dulu, dijamin tidak hilang. Kuncinya adalah jangan takut bertanya pada petugas busway, atau pada penumpang lain. Hehehe..
Lantaran Kak Nurhan Tabau lagi di luar kantor DPD Senayan, diri menyempatkan kaki mengunjungi Kantor Pusat Koran Kompas/Gramedia di Palmerah Selatan. Kenangan saat pertama kali ke Jakarta tahun 2006 lalu ingin saya kembalikan dan merasakan nuansanya. Waktu itu, selama sepekan kami (saya dan Muhlis Dahlan) ditampung di rumah senior kami yang wartawan Kompas, Nur Alam Asis di Pondok Cabe Jaksel. Seminggu di Jakarta waktu itu sebenarnya bukan kemauan kami, tapi karena urusan ongkos pulang ke Makassar yang ludes saat kami pulang dari Medan. Untung ada senior yang berbaik hati menampung mahasiswa semester 5 yang baru untuk pertama kali melakukan perjalanan keluar Sulsel. Nah, sejak di Pondok Cabe itu beberapa kali kami diajak ke Palmerah Selatan, kunjungan pertama kami mengelilingi gedung dari lantai ke lantai, menyaksikan sistem kordinasi dan dokumentasi berita/artikel yang begitu lengkap, berkenalan dengan wartawan-wartawan yang lain dari desk ekonomi dan politik, melihat cara pembuatan desain koran dan gambar di ruang layout, serta mengintip proses kerja para editor yang rata-rata kepalanya plontos (botak) dan berambut putih. Pada hari berikutnya, bersama kak Alam kami melihat pameran ilustrasi di Bentara Budaya Jakarta..
Kenangan itu ingin saya serap lagi, saat memasuki pintu depan kantor, satpam mengira saya salah satu wartawan kompas, karena mengajak saya ngobrol.. saya jawab saja seadanya.. dalam benak, alasan yang paling kuat adalah mengunjungi perpustakaannya, sembari mencari tambahan referensi tentang kepiting. Setiba di lantai 4, ternyata tamu dilarang masuk ke perpustakaan, tamu hanya boleh meregistrasi buku yang ingin di cari di sumber data di komputer tamu. Lalu petugas dengan sigap mencari buku yang kita inginkan. Kita pun membacanya di ruang baca khusus, yang tenang seperti kedap suara. Dalam ruangan itu, selain membaca buku kepiting yang tipis, saya juga membolak-balik koran-koran lama yang terdokumentasi dengan baik di lemari-lemari ruang baca. Saya membayangkan berapa banyak buku dalam perpustakaan yang hanya tampak dari luar kaca itu. Beragam tema yang tercakup di dalamnya. Pantas saja artikel-artikel dalam harian Kompas begitu menarik dengan analisis yang kuat. Jawabannya tak lain karena didukung data yang akurat serta referensi yang memadai. Juga didukung oleh jiwa wartawan yang tak kenal bosan menggali informasi dari sumber apa saja. Pernah satu kali saya melihat Aryo, wartawan kompas Makassar berkunjung ke Gramedia Mall Panakukang Makassar, iya memborong buku-buku sejarah, politik dan ekonomi. Wah... jadi wartawan Kompas harus kuat baca yah..!!
Sejam di ruang baca, saya memutuskan melenggang keluar, singgah di Bentara Budaya yang saat itu terlihat sepi. Tapi dalam suasana sepi itu saya mendapatkan kemewahan, berasal dari lukisan-lukisan yang tertata di samping-samping dinding. Lukisan-lukisan itu mengelilingi gedung. Ada lukisan sedikit abstrak lelaki yang memegang gitar, perempuan yang tiduran, suasana pedesaan, serta suasana pasar tradisional. Karya indah dari imajinasi manusia ini tak dapat ditorehkan lewat huruf-huruf, ia adalah mahluk yang hidup di kepala masing-masing orang yang melihatnya. Gambaran itu pun hanya bisa dirasakan, dan tak dapat disimpulkan. Ia bergulir terus, hadir dan berkembang surut, tergantung suasana hati seseorang.. begitulah barangkali penafsiran ngawur ku..
Dari BBJ kaki melangkah lagi ke Senayan, waktu sudah pukul 14.45 Wib, gedung senayan yang dulu masih dalam proses kerja kini telah berdiri kokoh. Beragam praktek politik berlangsung di gedung ini. Entahlah, dari segelintir orang yang merasa pintar dalam lingkar senayan ini lah yang mengatur gerak pemerintahan. Baik menuju progress atau menuju keterpurukan. Kekuatan baik dan buruk itu tarik menarik di sini, yang tampaknya lebih dimotori oleh mahluk yang bernama kepentingan. Latar belakang legislator yang berasal dari aktivis mahasiswa atau LSM pun tak kuasa menahan apa yang disebut kepentingan tadi. Seperti omongan banyak orang, di sini, kawan dapat menjadi lawan dan lawan dapat menjadi kawan. Tak ada ideologi.. ideologi sudah mati!!
Menyangkut hal itu, saya sih realistis saja, dalam benak pun tak secuil pun keinginan untuk terlibat dalam praktek politik seperti itu. Semoga rezeki yang datang berasal dari sumber yang baik-baik dan diperoleh dari hasil kerja pikiran dan buah keringat. Saya lebih menginginkan terlibat dalam proyek memanusiakan manusia, membangun masyarakat lewat perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Tiba di depan gedung DPD, handpone kanda Bau tidak aktif-aktif, kesal juga saat itu. Tapi saya lebih mengedepankan sabar dan rela menunggu. Saya yang perlu kok. Kenapa saya yang marah. Hehe.. waktu pun diisi dengan beristirahat di rumah makan di depan gedung, yang kebanyakan beraroma makanan Sunda. Saya hanya memesan jus jeruk, lalu melanjutkan bacaan Novel “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Shindunata, budayawan sekaligus wartawan senior Kompas. Sembari membaca, saya mengamati tingkah laku dan gaya berpakaian pengunjung di sini yang rata-rata kerja di Senayan. “Kalo kerja di sini harus pura-pura kaya, lihat saja gaya mereka yang sok perlente” pikirku.
Sejam berlalu, namun Hp Kak Bau belum aktif. Dari pada menghabiskan waktu, mending saya mengunjungi senior yang satunya lagi di Kuningan, Apartemen Rasuna Said, kompleks Bakrie Group. Lelah juga menjelajah seharian, daripada menyewa ojek, saya memilih jalan kaki menyusur tepi jalan menuju Halte Simpang Silipi yang terletak di bawah jembatan flyover. Tiba di halte, kak Bau menelpon dan katanya hp-nya tadi bermasalah.. mendengar itu, “oke senior, saya akan kembali”.. ada rasa rindu juga kepada senior perikanan ini. Dulu, waktu semester-semester awal, kak Bau menjadi salah satu model mahasiswa yang harus di tiru, dalam karya artikelnya, dalam bacaan-bacaannya.
Akhirnya ketemu dengan Kak Bau yang masih berbau kerja. Ia pun keluar masuk ruangan kerjanya. Mengajak berbincang lalu masuk lagi, keluar lagi. Agenda kali itu hanya untuk silaturahmi semata, untuk merekatkan ikatan persaudaraan sesama almamater Unhas. Dari selingan diskusi, saya menangkap suasana hangatnya perbincangan tentang peringatan keras kaum cendikiawan ulama yang menganggap praktek pemerintahan SBY itu kotor. Din Syamsuddin beberapa kali disebut, “lihat saja, dalam jangka waktu dekat Din akan mendapatkan masalah, entah terlibat perselingkuhan atau apalah.. SBY ini kaue na lawan..” hehehe.. atmosfer sulawesi pun menyeruak di lobi ruangan itu.
Sebentar lagi magrib, saya pun pamit untuk segera ke Kuningan. “Sabtu minggu jalan-jalan ke Bogor Dam, ada Safir dan Kak Edi di sana,” ucap Kak Bau. “Oke Kak, saya usahakan,” jawabku. Dengan lega saya melenggang keluar.
Malam bertandang, busway menuju kuningan timur, tempat transit ke Pasar Festival. Namun, baru tiba di Kuningan, kak gun mengirim SMS, katanya ia lagi lembur di kantor, sabtu atau minggu saja. Hemm.. oke kak.. jam menunjukkan pukul 20.00, saya pun putar haluan dan mencari tempat transit untuk jurusan Grogol. Pulang dengan ke gudang dengan peluh penuh kemerdekaan.. Perjalanan hari itu bercampur antara kekecewaan dan kemenangan, dan ditengah-tengahnya, hadirlah cinta..
Kontrakanku, Kapuk, Jumat, 25 Februari 2011
1 minggu yang lalu
2 komentar:
wah....
mantap kak...
thnks Arman..
Posting Komentar