Semenjak mendiami kamar kontrakan yang letaknya di belakang gudang kepiting pada 10 Februari lalu, kebebasan pun berlipat ganda. Kebebasan yang berkait dengan alam pikir, hingga berefek pada keluasan imajinasi dan memunculkan kreativitas. Ruang 6 kali 4 meter dengan dinding berbau cat dan berwarna putih itu menjadi kotak dunia ku, kemerdekaanku, seperti kata Pramodya Ananta Toer dalam film dokumenternya; “negara dan kemerdekaanku hanya saya dapatkan dalam lingkar rumah saya”. Pernyataan getir itu seakan menyayat hati sekaligus menimbulkan rasa gentar yang terserang ketegaran hidup seorang Pram. Tentu, roda nasib ku tak sehebat Pram, tapi ada perasaan yang sama pada kebebasan dan kemerdekaan, yang menyapaku saat kaki melangkah masuk melewati pintu kamar.
Di dalam kamar ini, saya dapat beristirahat dengan tenang, tidur dengan nyaman. Serta melakukan aktivitas intelektual sesenang hati, seperti melanjutkan membaca kisah petualangan Agustinus Wibowo di negeri Afganistan, yang setiap saat diselimuti debu. Menyejukkan mata dengan gambar-gambar lucu edisi bulanan National Geografic sambil mendengar musik akustik Bon Jovi. Dengan santai membuka catatan-catatan harian tentang perkembangan perawatan kepiting, jumlah kematian dan perbedaan jenis dan kualitas masing-masing kepiting daerah. Sembari berbaring di kasur bergambar upin ipin ini, segala yang ada dalam benak yang berkaitan dengan ide-ide atau metode perawatan yang mesti diterapkan pun dengan lugas tercoret di buku harian. Dengan merebut kebebasan itu, menjadi tangga awal membuka pikiran, melepaskannya, membiarkannya berkeliaran, terbang menuju alam bawah sadar. Nanti, akan bertemu di persimpangan-persimpangan dengan barang bawaan “ide” yang berbeda-beda. Sehingga dapat saling menyapa dan berbagi.
Sebelumnya, saya tinggal di kantor, numpang di kamar seorang teman baru bernama Aceng. Aceng sedikit lebih dibanding teman-teman pekerja yang lainnya, iya memiliki kamar sendiri yang di dalamnya ada televisi layar datar 21 inci, ada taperecorder, lemari, gitar, dua kasur, serta tiga foto sang kekasih berbusana wisuda di dinding kamarnya. Di sisi mejanya juga tertumpuk kaset-kaset film bajakan. Sejak saya tinggal di kamar itu, dua tas saya mulai tampak menyesakkan kamar, apalagi kalau terlihat baju kotor dalam kantung plastik. Hemm.. yang paling risih adalah saat saya yang seharian membaca di kamar, berbaring santai seakan-akan menguasai kamar sepanjang malam. Lalu tiba-tiba Aceng datang seakan-akan dia yang tamu dan saya yang tuan rumah.. hehehe.. soalnya, Aceng jarang di kamar, katanya ia punya banyak teman sehingga setiap malam keluyuran di lorong-lorong dan baru berada di dalam kamar jam 3 – 4 subuh. Saat nyamuk sudah berkurang nyaringnya.
Berhari-hari begitu, muncul juga rasa bersalah dengan para pegawai itu. Yang kerja mereka siang malam kala itu. Kala barang ‘kepiting’ dari daerah menyerbu sepanjang hari. Maklum, bulan januari-februari itu adalah masa emas lantaran menjelang perayaan ‘imlek’. Dalam sehari, kepiting datang itu dari 12 sampai 14 pengirim yang berasal dari Tarakan, Medan, Pontianak, Banjarmasin, Surabaya, Palangkaraya dan sebagian pengirim lokal di Jakarta. Mereka datang beriringan dari pagi hingga pukul 03.00 dini hari berikutnya. Perasaan bersalah itu pun hendaknya saya ingin bagi, namun mereka pun selalu tersenyum dan membiarkan saya menikmati istirahat malam hingga pagi menjelang. Saat mereka masuk kamar, dan melihat saya ada di dalam, mereka terlihat segan dan menutup pintu kembali. Pekan-pekan awal itu, seperti ada jurang lebar diantara kami, yang saya pikir lebih hadir lantaran streotif semata. Dari seorang yang lebih tua saya mendengar, bahwa mereka segan karena saya orang kuliahan dan mereka tidak tamat sekolah. Padahal, justru saya yang ingin belajar ke mereka, karena urusan kepiting indor, mereka lah yang lebih tahu. Namun, di situlah saya menyadari titik kelemahan sendiri, bahwa kemampuan adaptasi saya terhadap orang baru sangat kurang, dan kemampuan organisasi yang kemarin seakan melempem. Terus terang, saya kembali belajar bersosialisasi lagi di sini, kembali dari nol. Dan guru saya adalah para pegawai-pegawai yang menjual tenaganya di ibukota ini.
Pekerja yang berjumlah sembilan orang itu bekerja bahu membahu, begitu terasa solidaritas di antara pegawai yang mereka ikat lewat lelucon dalam bahasa Jawa, kesamaan mencintai dandut, tidur bersama, duduk santai sembari merokok bersama. Kebersamaan itu kembali terlihat saat kerja, pertama-tama sesuai dengan tugas masing-masing, jika tugasnya sudah beres, mereka pada menolong petugas pegawai lain yang menumpuk, seperti menyortir kepiting yang datang. Memeriksa jenis kelaminnya, kegemukannya, dan kesegarannya. Memisah-misahkannya dalam keranjang sesuai ukuran. Lalu merendamnya atau dalam bahasa ilmu masuk dalam fase aklimatisasi (adaptasi). Itulah yang saya amati dulu, dan tentu pemahaman saya sudah sangat berbeda dengan sekarang. Selain karena pengetahuan yang sudah bertambah tentang aktivitas mereka, juga karena interaksi dengan mereka tiap hari, sehingga saya juga sudah masuk dalam atmosfer mereka. Kalau di kantor turut terlibat membantu mengikat capit kepiting, melapbam streofoam, atau menemani menyortir kepiting, walau pekerjaan saya lebih fokus pada penelitian, bukan pada pekerjaan ‘berat’ dalam artian sesungguhnya.
Kembali ke kamar lantai dua itu, yang menujunya harus menaiki tangga besi dengan kemiringan mendekati curam. Pada dinding depan tangga itu tertulis, “jangan lupa ucapkan bismillahirahmanirahim”.. masuk kamar saya langsung berbaring, bukan menyalakan tivi, tapi melanjutkan kisah dalam kumpulan cerpen Godlob-nya Danarto. Atau membuka laptop sambil membuka artikel-artikel penelitian. Dan kalau langit sudah gelap, nyamuk-nyamuk mulai gentayangan mencari darah dan berebutan mencium tubuh manusia yang ada dalam kamar. Yang di dapati hanya ada saya dalam kamar, yang sudah membungkus diri dengan sarung dan jaket serta kaos kaki. Nyamuk inilah cobaan terberat di masa-masa awal. Tengah malam, sebagian pegawai mulai kumpul di kamar ini, mereka hendak menonton film “Angling Darma” dan Serial “Misteri Gunung Berapi”. Setiap malam menyaksikan film ini, saya ikut-ikutan penasaran pada setiap kelanjutannya. melihat ulang serial ini yang beberapa tahun lalu juga termasuk film kegemaran, banyak hal baru juga yang didapat. Ternyata film “Mak Lampir” ini mengandung unsur dan sedikit menggambarkan jalannya sejarah Kerajaan Mataram. Yah.. saya menikmati permainan intrik politik di kerajaan, melebihi ajian-ajian sakti para pendekarnya. Hehe..
Hingga sebulan kemudian, kamar di belakang gudang akhirnya kelar dan siap dihuni. Bos sudah sejak lama membooking dua kamar ini. Katanya satu untuk pegawai, satunya lagi untuk laboratorium. Beberapa kali juga terjadi perubahan perencanaan, seperti pegawai dan lab dijadikan satu, sementara kamar satunya ditempati oleh Aceng yang diperusahaan ini sudah tiga tahun mengabdi dan dianggap berperanan besar mendatangkan kepiting-kepiting dari daerah. Selentingan lainnya, kamar sebelah hendak digunakan pekerja sebagai tempat parkir motor-motor besar mereka. Tak tahulah yang mana yang benar.
Dalam kesimpangsiuran informasi itu, saya berinisiatif saja mengangkat barang dari kamar kantor ke kamar kontrakan. Soalnya, kamar itu sudah jadi, listrik dan air juga tersedia. Karpet dipinjam dulu di pemilik kontrakan, buku-buku untuk sementara menjadi bantal. yang jelas saya sudah merasa aman dan tidak risih lagi. Sehari tinggal, kontakan itu saya tinggalkan dua hari lantaran ke Bogor menemui teman-teman di IPB. Sepulangnya, Pak Gin dan Pak Rin mengiakan dan sesegera mungkin menyediakan kasur, karpet dan lemari. “Untuk sementara tinggal saja di sini, nanti dilihat perkembangannya,” kata Pak Gin. Saya oke –oke saja, mau tinggal dimana saja boleh, yang penting bebas dan terdapat ruang privat yang tak diganggu oleh orang lain. Dua hari kemudian, kasur dan karpet datang, lemari menyusul belakangan. Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidup punya kontrakan, itupun di jakarta. Di makassar kemarin, lebih banyak tinggal di kantor PK. Identitas Unhas, bersama teman-teman kru, yang walau jumlahnya banyak namun tetap terasa bebas juga. Tapi, tentu sendiri akan merasa lebih bebas lagi kan..
Ada hal menarik di sekitar kamar saya ini, yakni aktivitas masyarakat di sekitarnya pada malam harinya. Depan kamar saya merupakan lorong pendek yang menghubungkan lorong keluar dan sebuah warung, yang di sampingnya bertaburan kuburan keluarga. Depan kamar ini terdapat beranda yang panjang, sehingga pada malam hari sejumlah remaja sering nongkrong di situ, membicarakan kegiatannya seharian, atau ngobrol ngorol ngidul gitu deh. Kadang juga terdapat sepasang remaja pacaran di depan kamar kontrakan, dimana yang laki-laki kedengaran ‘merengek’. Sebenarnya, remaja-remaja sekolahan ini sebelumnya nongkrong di depan warung, tapi setelah terdapat beranda bersih di depan kamar serta penerangan yang cukup, mereka pun migrasi ke situ. Saya tanyakan ke pemilik kontrakan, « itu anak-anak tidak belajar kalau malam ya pak ? », « ya belajar, tapi di sekolahnya » hehe.. « saya mengizinkan mereka nongkrong hanya sampai jam sepuluh malam, agar tidak mengganggu istirahat orang di sini,” tambahnya. Hemm.. tapi belakangan, sekitar jam sebelasan malam, justru orang-orang tua lagi yang nongkrong di beranda kamarku, termasuk di dalamnya pemilik kontrakan, menggantikan anak-anak muda itu. Hehehe..
Kini sudah lebih setengah bulan saya menempati kamar ini. Banyak rencana untuk belajar membenahi kamar kreativitasku ini, apalagi saat saya mengunjungi kamar senior, yang bernama Gunawan Mashar. Dalam kamarnya terdapat banyak foto-foto keren, ada meja kerja disertai miniatur-miniatur lucu, bola dunia dari kaca, dan jam pasir mini. Di samping itu terdapat ricecooker, dan pembuat roti bakar. Hehe.. jangan membayangkan saya akan meniru kamar kak Gun, tapi itu sekadar inspirasi saja. Mengenai terlaksana atau tidaknya nantilah dilihat. Dan.. kini saat jalan beberapa hari kemarin saya memeroleh poster peta Garut, pegunungan, makanan dan kebudayaannya dalam edisi National Geografic (NG), serta poster pohon raksasa Sequoita di California. Garut adalah daerah impian saya saat ini untuk kujelajahi kelak, entah inspirasinya itu datang dari mana. Nah.. dalam jangka waktu dekat, poster inilah dulu yang menghiasi kamar saya.. hehe...
Adzan Isya, Senin 28 Februari 2011, Cengkareng Timur
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar