semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Mencoba untuk Berdialog Lagi


Pagi bergerak, dinamika kosmik menuju sesuatu yang rutin, siklus alam yang membuat mahluk tampak selalu hidup dan punya gairah. Sesuatu yang berubah membuat ‘kita’ merasakan sesuatu yang lain, yang baru, yang bergelora.. Pada pagi yang bergerak itu terdapat fakta yang membuyarkan makna, lalu tertangkap dalam pengalaman, kesan. Hingga pengalaman ini diendapkan dalam konstatasi puisi, pada orasi, pada narasi lalu tiba pada gerbang ide dan gagasan. Dimana ide, gagasan, narasi dan puisi ini hadir hanya pada jiwa-jiwa yang punya hasrat.. kata Hegel, ”tak ada yang besar lahir di dunia ini tanpa hasrat besar”..

Yah,, hasrat.. keinginan pada sesuatu yang membuat mahluk berjalan, bahkan berlari. Hasrat pada penemuan membuat sepotong informasi menjadi penting, membuat gerak menjadi berguna. Dalam dinamika ini menuntut keterbukaan sistem yang berarti kesiapan untuk dikritik dan dikoreksi ulang. Yang nantinya menancapkan pondasi-pondasi baru yang lebih arsitektural. Berdasarkan kerangka-kerangka teori, aksioma-aksioma matematis, dan hukum gaya. Namun, ini tak memungkiri pula suatu keruntuhan, dimana keretakan informasi menyebabkan fakta, informasi ataupun teori mengalami transformasi, entah menjadi lebih subtil ataukah justru semakin absurb.

Tapi, yang bagaimanakah pondasi arsitektural itu, yang dikenal dengan kerangka epistemologik? Dimana setiap orang lahir dengan kondisi alam dan budaya yang berbeda-beda. Mungkinkah sesuatu yang universal itu berlaku dalam kurungan lokalitas? Pun jika terjadi perdebatan antara sistem-sistem pengetahuan itu, bisakah termaklumi garis tegas letak perbedaan dan kesamaan? atau malah kian mengasah rasa curiga, bahwa yang menjadi pondasi dasar tindakan adalah kepentingan. Tapi, penjelasan bahwa kepentingan sebagai pondasi pun sudah menjadi klaim otoritas episteme tertentu.. yang dikenal dengan dalam hukum ekonomi liberal.. dimana menurut Max Weber telah dibangun dalam “rasionalitas yang bertujuan”. Bahwa segala sesuatu itu berangkat dari hasrat untuk pemenuhan kebutuhan diri dan pemuasan hasrat itu sendiri. Yang kita pahami bahwa keinginan itu tak berbatas, selalu menuntut untuk ditambah. Yang kemudian melahirkan suatu ketamakan lantaran tak terdapat rasa puas di dalamnya. Tak ada titik.

Pada keadaan ini manusia tampak menjadi mahluk yang lemah. Hasrat menjadi raja, yang harus diladeni, digenjot dengan cara apa saja. Agar kehidupan itu menjadi lebih santai, lebih glamour, dan menimbulkan efek kuasa. Dimana dengan ‘modal’ yang melimpah itu kita dapat melakukan apa saja, dapat mengunjungi sudut dunia mana saja dan tentu dapat memiliki apa saja. Dan membicarakan ini kita harus kembali ke metode lagi. Dan sepertinya kesesuaian metode menjadi klaim untuk menentukan apakah ini ‘benar atau buruk’. Sebagai manusia yang terbatas saya dengan terpaksa tunduk pada hukum moralitas agama dan budaya lagi. Dimana hukum-hukum ini telah terendap dalam alur-alur logika dan mungkin sudah terendap dalam aliran darah dan menjadi daging. Ada juga pemahaman bahwa moralitas bersifat universal karena kita punya ikatan hati yang sama, meski dengan beragam diferensiasi sikap. Tak lain saya hanya ingin menyinggung bahwa hasrat memiliki ini tidak diikuti semangat berbagi. Kita seakan-akan menjadi tunggal dan tidak jamak. Dimana yang lain lepas begitu saja dan bukan sebagai alter ego, kita selalu berhadapan dengan yang lain, bukan hidup diantara yang lain. Yang bukan dalam kita pun pada akhirnya menjadi ancaman, sekaligus menjadi objek yang harus dibuat derita. Dengan cara-cara rasional namun tidak beretika. Yang beretika pun namun pada akhirnya justru merugikan. Karena motifnya sudah bertujuan untuk menegakkan yang tunggal dan menenggelamkan yang lain.

Tapi, dimanakah relevansinya dengan kata Hegel pada awal tulisan ini, bahwa hasratlah yang membangun dunia? Betul bahwa semangat mengejar kepentingan itu telah melahirkan kreativitas, pertentangan-pertentangan personal dalam menanggapi persoalan pasar telah memicu inovasi. Dan hasrat ini telah mengalaborasi berjuta-juta manusia dengan kemampuan yang berbeda-beda, namun saling mengisi. Meski, dalam interaksi ini ada yang di atas dan ada yang di bawah, di atas langit pun masih ada langit. Pada tepi lain, ada anggapan bahwa ini sebagai sesuatu yang telah ditetapkan, dalam kehidupan sudah ada jatahnya masing-masing. Kita boleh bersungut-sungut resah, tapi mampukah kita menyalahi takdir? Bahwa kita ternyata sudah dipilih untuk menjadi orang susah, ataukah orang kaya, tapi, apakah keadaan ini membuat kita kalap dan tak bahagia? Dan bolehkah saya mempertanyakan kembali, apakah kebahagiaan itu hanya berasal dari kecukupan meteri??

Kalau sudah begini, dengan terpaksa saya mengembalikan lagi pada konteks syukur. Karena dengan berpengertian seperti ini kita bisa bebas dari kepedihan. Kalau menurut Budha, jika kita mampu melepaskan diri dari kepemilikan, kita akan memperoleh kebahagiaan itu. Tapi, mampukah kita kesana? Nitszche berkata, “manusia itu mahluk yang tidak selesai..” lantaran selalu kalah oleh pesona nafsunya sendiri. Dapatkah kita mengakui hal ini? Bahwa kita selalu saja tergoda untuk memuaskan nafsu seketika. Tergoda untuk melecehkan keadaan untuk memperoleh kekuasaan, tergoda untuk menodai kesucian, dan.. tergoda untuk menjatuhkan yang lain..

Sepertinya, tak ada yang lebih tepat lagi untuk kita bahasakan selain bahasa pengakuan itu. Entah sekadar mengakui atau akan melampaui pengakuan. Bahwa kita ini lemah, kita ini bejat, atau kita ini munafik, bersamaan dengan itu mungkin akan hadir energi lain, bahwa kita juga dapat berbuat lebih baik.. kita dapat berbagi, dan kita bisa bergerak, “kita bisa berubah”...

Dimanakah letak kita berpijak untuk berdiri tegak menuntun perubahan itu? Tentang hal ini, saya tak bermuluk-muluk, Saya berpatok pada ungkapan Cyntia Ozick (Sastrawan Amerika), “Kalau Anda ingin menghayati kehidupan yang menyebabkan Anda merasa menjadi orang beradap, Anda harus merebutnya melalui budaya Anda sendiri..” kalau demikian, sebagai orang Bugis-Makassar, saya harus menemukan diri sebagai ‘manusia’ dalam budaya Bugis-Makassar itu sendiri.. begitu pula Anda yang orang Sunda, Jawa, Batak, Ambon, ataupun Cina, Jepang, Arab, dan Eropa. Temukanlah dirimu dalam budaya Anda..

Dan tentang kebenaran itu sendiri.. saya teringat kata-kata Turgenev (penulis Rusia), “Kebenaran itu ibarat cicak, yang kita tangkap selalu Cuma ekornya.. ekor yang seperti hidup, sementara cicak itu sendiri lepas entah kemana”...

Pada Pagi Hari, Senin 18 April 2011
Kapuk, Jakarta Barat



0 komentar:

Mencoba untuk Berdialog Lagi