semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B. Rahmanto (N)

Naratologi: Teori mengenai teks-teks cerita (narratio), khususnya mengenai ciri-cirinya, deskripsi mengenai sistem narasi serta kemungkinan-kemungkinan mengadakan variasi bila sistem tersebut dikonkretkan. Membahas alur, penokohan, aspek ruang dan waktu (manipulasi dengan waktu), fokalisasi dan sebagainya.

Naturalisme: dari kata “nature” yang berarti alam, kodrat, tabiat. Aliran literer, khususnya di Prancis, antara tahun 1870 – 1880, kelanjutan dari realisme, tetapi kini berdasarkan suatu doktrin yang berpretensi ilmiah. Tiga faham mewarnai lanjutan realisme itu, yakni scientisme (hanya sains dapat menghasilkan pengetahuan yang benar), positivisme (menolak metafisika, hanya lewat pancaindera kita berpijak pada kenyataan) dan determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu, tak ada kemauan bebas). Manusia di pandang sebagai produk yang tak berdaya, diwujudkan oleh pembawaan, sifat-sifat yang diwarisi ; oleh lingkungan tempat ia menjadi dewasa (milieu) serta oleh keadaan konkret pada suatu saat tertentu (moment). Dengan berpegang pada tiga prinsip ini manusia seolah-olah dapat diteliti secara ”ilmiah”. Menurut Emile Zola, eksponen utama naturalisme, maka karya seni naturalistik merupakan sebuah eksperimen ilmiah (”roman eksperimental”). Pengarang menyediakan moment, milieu dan pembawaan, lalu secara deterministis alur berkembang menuju selesaian. Zola sendiri sebetulnya berwatak romantis, sehingga dalam karyanya kita dapat membedakan ”naturalisme doktrinal” dan ”naturalisme kreatif”.

Jenis sastra yang paling sering digarap oleh para naturalis ialah roman, karena menyediakan cukup peluang bagi pengamatan kritis dan analitis terhadap para tokoh dan lingkungan mereka. Pengarang ingin menampilkan segala sesuatu secara objektif. Juru cerita penuh wibawa dari zaman realisme lenyap. Peristiwa-peristiwa susul menyusul secara linear-kronologis dan secara kasual. Dialog-dialog mendekati percakapan sehari-hari. Tokoh utama sering labil wataknya, teramat peka atau menderita kelainan jiwa, sering akibat faktor warisan. Pertimbangan ini mendorong sementara pengarang untuk menulis roman dalam bentuk siklus, mengikuti hal ikhwal suatu keluarga selama tiga angkatan. Perhatian diarahkan kepada nafsu-nafsu (khusus seksual) yang mendorong para tokoh yang sering berasal dari kalangan masyarakat rendah dan papa. Lingkungan dilukiskan secara teliti, karena lingkungan turut menentukan kelakuan para pelaku.

Intrik atau plot berlangsung menurut prinsip kausalitas. Menurut Zola, struktur sebuah roman merupakan suatu proses deduktif. Bab yang satu secara niscaya ditentukan oleh bab sebelumnya. Karena prinsip deterministis ini banyak roman naturalistis bernafaskan suatu pesimisme. Ada sementara pengarang naturalisme yang berharap agar lewat roman eksperimental itu dapat ditemukan hukum-hukum sosial, sehingga manusia dapat diangkat dari cengkeraman faktor-faktor itu. Makin pengarang menyelami lapisan-lapisan bawah dalam hidup pribadi seseorang dan masyarakat, makin terasa juga getaran hati pengarang yang turut terlibat. Di bidang lirik naturalisme tak ada pengaruhnya, tetapi dalam bidang drama pengaruhnya sangat terasa (Ibsen, Strindberg dan Tolstoi).

Sesudah awal abad ini naturalisme kehilangan sifatnya yang doktriner dan terlebur dalam suatu realisme yang mengutamakan faktor-faktor psiko-analitis (Freud). Pandangan deterministis dan pesimistis berkaitan dengan keterlibatan sosial.

Secara umum kualifikasi ”naturalistis” diterapkan pada karya-karya yang menampilkan kenyataan yang suram dan terus terang, tanpa menutupi sesuatu dengan menekankan faktor ”takdir” secara horisontal.

Neoromantik : suatu aliran di Jerman dan Negeri Belanda antara tahun 1890 – 1920, reaksi terhadap naturalisme dan impresionisme. Perhatian untuk yang ajaib, bukan sehari-hari, untuk saga, mitos, mistik dan exotisme. Kerinduan untuk berkelana, jauh dari kehidupan borjuis, mencari tujuan hidup yang sejati, kadang-kadang juga kembali ke masa mudanya.

New Criticism : Aliran kritik sastra di Amerika Serikat antara tahun 1920-1960, mengarahkan perhatian kepada karya sastra sendiri (ergosentris), lepas dari pengaruh pengarangnya (intentional fallacy), riwayat terjadinya serta dari pendapat pembaca (affective fallacy) dan kaum kritisi (heresy of paraphrase). Bagi kaum New Criticism karya sastra merupakan sebuah monumen atau candi yang keindahannya selalu dapat dirasakan oleh pembaca yang sedikit terlatih. Dengan membaca dan membaca kembali dari dalam (close reading) New Criticism ingin menampilkan hakikat teks itu. Perhatian terutama diarahkan kepada penggunaan tata bahasa yang khas, seperti misalnya ironi dan paradoks serta ambiguitas. Terutama puisi yang liris dan sukar menarik perhatian mereka. Tokoh-tokohnya antara lain T.S Eliot dan Cl. Brooks.

No : bentuk teater yang paling tua di Jepang, berasal dari abad ke-14 (Seami Motokiyo, 1363-1443). Dipentaskan di suatu sudut gedung teater, di atas panggung kecil, persegi. Panggung tersebut dihubungkan dengan kamar rias lewat sebuah jembatan, selebar gedung pertunjukan. Di bagian belakang panggung duduklah orkes, di sebelah kanan sebuah koor (yang fungsinya dapat disamakan dengan koor dalam tragedi Yunani). Para aktor terdiri atas kaum pria yang wajahnya tertutup dengan topeng. Bahasanya sarat puisi dan emosi. Aksi lahir hanya sedikit dan lamban, perhatian diarahkan kepada proses jiwa. Semenjak awal abad ke-20 teater No juga menarik perhatian dari sejumlah pengarang di Barat; Pound, Yeats, Eliot dan Claudel terpengaruh. Satu teks pentas pernah disadur oleh B. Britten, “Curlew River”.

Nauvelle Critique: istilah yang diperuntukkan bagi sejumlah kritisi sastra di Prancis tahun 60-an yang heterogen. Unsur yang mempersatukan mereka ialah penolakan terhadap pengajaran sastra dan kritik sastra di kalangan universitas serta perhatian untuk struktur-struktur sebuah karya sastra. Mereka tidak yakin bahwa sebuah karya sastra dapat ditafsirkan secara tuntas dan bahwa arti yang sesungguhnya dapat diungkapkan. Di dalam batas modul analisis yang dipilihnya sendiri seorang kritikus hanya dapat memberikan suatu makna yang berlaku, yang sah (un sens valable). Kritikus merupakan subjek yang menambah nilai-nilainya sendiri sambil membaca sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra bersifat ambigu, terbuka bagi berbagai penafsiran. Mereka juga meneliti proses kreatif serta menganalisis tema-tema yang terulang dalam karya seorang pengarang. Tokoh-tokoh utama ialah Barthes dan Genette.



0 komentar:

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B. Rahmanto (N)