semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Alwy Rahcman (2)


         Tak ada manusia yang paling membingungkan yang pernah saya temui, selain Alwy Rahcman. dahinya lebar, senyum terbuka nan misterius, mata tenang sekaligus menyelidik. Berbincang dengannya kita dipaksa untuk bersikap terbuka, tapi sewaktu-waktu mesti tertutup. Sebab, setiap kata-kata yang terlontar dengan sengaja akan membuka lapisan tabir kita, yang dalam teori lingustik disebut lapisan makna : biner, saling mengisi, dan metateks. “dengan memahami dasar-dasar linguistik, dengan mudah kita mengetahui dunia”.

Saya berkunjung ke Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas) petang kemarin (25/6), tempat cendikiawan itu biasa nongkrong. Ia selalu pulang pada malam hari, sebelum pulang Alwy selalu berbincang dengan para pemuda, mahasiswa, dan orang-orang yang terpaut hatinya sejak awal mengenal beliau. Di dalam ruang beraroma asap itu, telah ada Kak Ari, senior yang matang teori sekaligus praktek, contoh telak manusia yang nyeleneh sekaligus rasional.

Saya hanya menunggu, menunggu informasi jatuh dan tertangkap. Saya merasa tak percaya diri untuk memulai bertanya tentang banyak hal. Saya hanya membiarkan alam ruang itu memaksa Pak Alwy untuk ngomong. Pun kalau beliau tidak ngomong, alam serasa turut berbicara, memecah kesunyian yang asyik.

Pengetahuan pertama : tentang orang yang lebih memilih terkurung dalam doktrin dan kebakuan literasi. Menurutnya, itu sesuatu yang wajar, sebab saat ini tidak ada lagi tokoh-tokoh yang kredibel di masyarakat. Mereka kesulitan menemukan sosok yang bisa dijadikan contoh atau teladan. Sementara tokoh struktur semakin bejat dengan pola represi dan kooptasinya. Mereka dihancurkan oleh pertukaran uang dan jasa, yang mungkin tidak cocok antara nilai yang dijual dan harga yang diperoleh. Kesenangan dan kebahagiaan pun diperoleh dengan mencintai alam lain, dunia setelah dunia, mencintai sesuatu yang lebih abstrak, dengan menihilkan pertalian yang rill. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya adalah dosa, dan mereka yang berdosa adalah jahat, sekaligus beda. Mereka pun terjerumus dalam lingkaran membenci perbedaan (heterofhobi).

Dalam diri manusia pun berlapis, selain lapisan rasional, terdapat lapisan paling purba yang disebut lapisan primordial. Lapisan inilah yang berperan mengambil pengaruh saat rasionalitas dan empati tidak laku lagi.

Untuk membenahi tatanan masyarakat yang rusak ini, sangat dibutuhkan tokoh-tokoh kredibel, yang lahir langsung dari rahim masyarakat. Sosok-sosok panutan yang telah menempuh tempaan masyarakat yang panjang, yang dalam perjalanannya selalu menjaga konsistensi dan ketetapan hati. Yang hidupnya ia serahkan untuk kebaikan masyarakat dan dunia.  

Pengetahuan kedua : tentang peristiwa dan kesetiaan, berangkat dari filosofi religiusitas tradisi marx, alain badiou. “setia pada moment-moment kebenaran”. Katanya, marx dalam perjalanan teorinya dapat juga menimbulkan semangat religi, yang disebut momen kebenaran itu. Untuk bisa memahami kebenaran, kita harus setia dulu padanya. Seperti argumen Mario teguh, untuk bisa memahami arti cinta, tak ada lain selain mulai mencintai dan setia pada cinta itu. Yah.. bagaimana memperoleh moment-moment kebenaran ini? Contoh yang bisa disebut ketika kita bangun pagi dan betul-betul merasakan hidup, pada saat itu ada kesadaran yang muncul, ada sesuatu yang tak terbahasakan. Atau ketika seseorang yang menanti kematian, air matanya menetes bahagia. Mungkin pada momen-moment itu bisa dikategorikan sebagai moment kebenaran.

Alwi bercerita tentang Hasan Tiro, pemimpin aceh itu punya landasan moral perjuangan. Pertama dia mewarisi semangat juang para leluhurnya, ia mengetahui bagaimana sejarah leluhurnya dalam mempertahankan martabat dirinya. Kedua, Hasan tiro terinspirasi dari kisah perlawanan Imam Husein, yang tak menyerah di tangan kesadisan penguasa Umayyah. Imam husein tidak lari dari perjuangan, walau ia kalah dalam hal strategi, tapi ia menang dari segi etik. Ketiga, hasan mengambil etos nitzche, yang berkata “jika kita tak bisa lagi hidup secara terhormat, maka jalan terkahir yaitu mati secara terhormat”. Ketiga etos ini menurut Alwi berkaitan dengan momen-momen kebenaran itu.

Pengetahuan ketiga : tentang pergerakan sosial, yang dimulai dari gosip dan kabar burung, yang kemudian melebar menjadi wacana publik, lalu muncul agitasi-agitasi untuk membuka tabir prasangka pada masing-masing warga, tahap organisasi dan manajemen massa, disini muncul tokoh-tokoh berpengaruh. Ketika mencapai puncak, biasanya mengalami decline atau penurunan dengan dua cara, yaitu represi dan kooptasi. Represi dengan pembunuhan tokoh-tokoh penting, biasanya massa akan meluber jika pimpinan puncak dibunuh. Kooptasi yaitu dengan pemberian uang atau jabatan pada masing-masing tokoh.

Tahapan tersulit adalah tahapan pengorganisiran massa, disini dibutuhkan konsistensi dan ketegaran para pimpinan (tokoh). Selain itu, dibutuhkan pembagian peran di masyarakat, sehingga semua elemen saling mendukung perjuangan.

Pengetahuan keempat : tentang kebenaran, bagaimana kita bisa mencapai kebenaran itu? Kalau bintang-bintang saja kita mengetahui adanya setelah 2500 meledak di alam semesta (Karlina Supelli). Memandang itu, bagaimanakah posisi kita selaku mahluk yang saat ini berada dan akan mati? Mungkin, peristiwa israj mi’raj nabi Muhammad dalam rangka untuk mengetahui pristiwa sejarah berdasarkan persegeseran waktu itu, agar tidak ketinggalan informasi untuk menyampaikan kebenaran di muka bumi ini? Nabi Muhammad memperoleh kebenaran (ayat-ayat tuhan) sedikit demi sedikit, selama 30 tahun, dimana setiap menerima ayat tuhan selalu dimulai dengan rasa sakit. Apakah kita selalu menderita sakit waktu memperoleh kebenaran?

Pengetahuan kelima : ada kecendrungan bahwa, ketika etik sudah menyatu di kehidupan masyarakat, nuansa spritual berupa ritus mulai ditinggalkan. Sementara jika semangat ritual masih kuat, justru etika masyarakat masih lemah dan tidak menyeluruh. Entah lah?

Mungkin, masih banyak pengetahuan-pengetahuan tambahan, tapi otak saya kesulitan menampung pada malam itu. Hanya inilah yang bisa saya refleksikan. Itu pun masih membingungkan kan?  

Selasa, 26 Juni 2012




0 komentar:

Alwy Rahcman (2)