semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Batas-Batas Nalar dan Antropologi Epistemologi Kita


Apakah pagi merepresentasi hari? Apakah sinar lembut mentari menandakan suatu peristiwa unik yang tiba pada lokasi yang sama? Hari berganti hari, fenomena yang berulang dan mekanistik ini apakah mengisi pandangan kita akan pertumbuhan dan perubahan? Barangkali demikian, ketika kita memandangnya secara terbuka, melapangkan ruang hati seraya merayakan hidup! Saya tak mengerti tentang ketakterdugaan yang menyapa kita dari hari ke hari. Seperti pagi yang selalu sama, tapi pandangan kita lah yang berbeda.

Itulah yang membuat kita terus merenung selaksa gunung, sementara pikiran dan tubuh bergerak seperti ombak. Sebab hidup ini penuh dengan misteri dan ketakterdugaan. Misteri lantaran keterbatasan kita untuk memastikan masa depan, petaka ataukah berkah, kita hanya menduga berdasarkan rasionalitas atau kadang mistik yang bersandar pada finalitas. Dari sesuatu yang absolut itu kita bergantung dan menemukan jalan. Tapi, apakah jalan itu menafikan varian-varian bentuk yang tidak bersandar pada finalitas? Dalam artian bersifat majemuk dan menghargai bejibun pendapat yang bergumul dalam arena publik.

Kita hanya mampu menelisik fenomena-fenomena sekilas dan kecil, lalu mencoba untuk memecahkan masalah yang sepele-sepele. Sementara hal-hal skala besar coba kita cerna lewat teori-teori normatif/moral/etika/atau pun substansi aksiomatik. Ketika hal itu kita jabarkan ke dalam ruang dan waktu, kita pun selalu terbentur oleh suatu yang bersifat metarasional, irasional, dan emosional. Rasionalitas kita pun selalu dibajak oleh hasrat dan keinginan atas sesuatu. Rasionalitas hanya menunjukkan pada kita teknik dan metode, sementara kenapa kita memilih tujuan dan arah ini dan bukan arah itu bukan lagi pada tataran rasio.


                                                      Karl R Popper                                          

Pernyataan-pernyataan ini masih butuh banyak tandingan argumentasi untuk mematangkan sebuah cara. Atau yang biasa disebut oleh penganut teori Hegel sebagai dialektika. Dimana terdapat diskursus-diskursus atau oposisi-oposisi dari setiap materi. Sementara dari sudut lain ini barangkali dimaksud untuk mencapai apa yang disebut meminimalisir keburukan dan penderitaan melalui metode falsifikasi. Kita menguji setiap argumen atau kita pada ruang publik untuk mengetahui tingkat kelemahan dan kesalahan. Sementara untuk tataran politik, bagaimana setiap kebijakan itu bisa mengurangi penderitaan lebih banyak dibanding meningkatkan kebahagiaan sebagian kecil orang.

Sementara dalam narasi-narasi besar kita selalu diperhadapkan pada dilema. Ketika kita menguatkan posisi pada demokrasi liberal, kita pun selalu terjerumus pada kondisi pencaplokan para ultraliberal yang dengan atas nama kebebasan dengan semena-mena merebut kebebasan rakyat kecil. Ketika kita mendewakan individu, atas nama individu itu kita dibenturkan pada sikap atomistik yang menafikan yang lain, yang merendahkan sejawat yang diklaim tak beruntung atau tak pintar menjalankan hidup.

Pada narasi lain, kita sering diminta sepakat pada kolektivisme. Namun, atas dasar solidaritas kolektif ini kita memberangus hak-hak individu kita, minimal untuk berjuang dan berpendapat lain. atas nama sebuah bangsa, sebuah agama, sebuah cita-cita sosialisme dan komunisme, kita pun dianggap hanya kumpulan statistik manusia yang sama/homogen. Kita dituntut untuk patuh pada doktrin, yang ujub-ujub hanyalah fantasi, imajinasi atau berasal dari yang absolut/teokrasi. Sehingga kita diarahkan, diatur untuk sadar terhadap sesama. Bagi yang tidak mau turut, akan ditindak, diberangus, dijitak. Media dikontrol, ruang publik diawasi, sementara agen-agen birokrat dengan semena-mena menikmati previlese, jalur-jalur distribusi terhambat lantaran korupsi, tabungan negara pun kolaps lantaran tidak jelasnya pengeluaran disertai pemborosan untuk pembiayaan warga, macetnya ekonomi karena kurangnya inisiatif dan kreatifitas warga dan lantaran pengekangan atas kebebasan.  

 Sehingga, perlu suatu mekanisme atau sistem yang betul-betul bisa mengontrol kekuasaan negara dan menetapkan batas-batas terhadap kebebasan para pengusaha besar, tidak memutlakkan pada developmentalisme pasar yang menganjurkan privatisasi. Ketika pasar tanpa regulasi, di situlah kebebasan itu akan meminum racunnya sendiri. Kita pun menghendaki para pemilik kekayaan itu rela mengeluarkan pajak pendapatannya melebih persenan pajak bagi rakyat banyak. Sehingga buah perjuangan mereka juga bisa dinikmati oleh kelas sosial yang di bawah. ini bertujuan untuk menstabilkan gejolak sosial, mencegah kecemburuan sosial. Sementara pada narasi lainnya, ketika ada harapan ketika semangat kolektivisme dan solidaritas itu juga menempatkan individu sebagai entitas unik dan penting. Individu punya hak meningkatkan potensi dan kesejahteraannya. Sementara musuh sosialisme tidak diarahkan pada kelompok kelas sosial tertentu, tapi pada tindakan atau cara mereka menyikapi kaum miskin dan duafa (yang dimiskinkan). Di sinilah dibutuhkan kepemimpinan kuat untuk mengatur para pengusaha besar ini untuk turut bersama-sama memperhatikan nasib rakyat kecil. Selain itu, keterbukaan informasi, perbedaan pendapat dibuka dalam perdebatan ruang publik, serta memberi kesempatan para wirausahawan sosial (LSM/NGO) untuk memajukan komunitas atau kerabatnya.  

 Menurut Karl R Popper, filsuf aliran rasionalisme kritis mengungkapkan bahwa sebenarnya yang diarahkan adalah cara berpikir masyarakat atas kesadaran sosial. Walau pun metodenya sudah tepat, semisal reformasi birokrasi, reformasi konstitusi kalau tanpa disertai perubahan minat para pelaksana dan warga, upaya yang dicita-citakan itu takkan tercapai, ini bisa diamati di Indonesia, dimana aturan-aturan itu dengan gampang dibeli, dimanipulasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Selain itu, ada harapan agar perjuangan para penegak keadilan saat ini tidak tergelincir pada pesona informasi. Serbuan informasi saat ini membuat kita bingung dan menjebak kita pada kesan seolah-olah. Informasi tentang penegakan korupsi dengan mudah berganti dengan informasi terorisme, lalu tentang kasus asusila. Namun semua itu hanyalah permukaan saja dan sekadar pencitraan dan permainan makna. Kita diajak untuk terpesona namun secara tidak langsung membuat kita lupa akan persoalan-persoalan inti. Sehingga, jalan satu-satunya untuk mengatasi hal ini yaitu dengan jalan setia pada peristiwa. Kita harus setia pada peristiwa yang menjadi fokus gerakan kita. Agar persoalan yang kita tangani itu dapat betul-betul tuntas, tidak sekada seolah-olah tuntas. Perjuangan kita pun akan menjadi simbol bahwa penegakan keadilan di negeri kita ini betul-betul perlu dan harus. Ketika kita dengan mudah terombang-ambing wacana, dengan mudah pula kita diperalat dan dihasut, sementara hak kita dengan terus menerus diobrak abrik.  

   Rabu, 5 Desember 2012
Antang




Batas-Batas Nalar dan Antropologi Epistemologi Kita