semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

BMP Udang Windu Disambut Hangat Petambak Pinrang



Pada Selasa, 18 Maret 2014, kolong rumah panggung Puang Raja, yang terletak di Desa Wiring Tasi, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, tiba-tiba menjadi ramai. Sekitar 60-an orang duduk-duduk di kursi plastik, dengan santai melihat-lihat layar proyektor yang dipantulkan pada kain seprai berwarna putih yang menutupi dinding kayu. Tak jauh dari kain putih terdapat meja yang di atasnya berjejeran bosara, berupa nampan berisi kue-kue tradisional Bugis. Di belakang meja menghadap ke penonton, dua tiga pemateri tampak berbisik-bisik. 



Suasana pertemuan itu begitu amboi, angin terkadang mengelus-elus wajah peserta yang dengan lapang berhembus ke kolong rumah. Kopi-kopi diedar, jikalau orang yang duduk-duduk itu, tak lain para petambak Kec. Suppa, yang berjumlah 40-an beserta penyuluh dan staff Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang berjumlah 15 orang itu kelelahan otak menyerap jejalan informasi yang muncul di layar serta yang terungkap oleh suara pemateri. Materi yang sebenarnya tak asing, bukan hal baru, berupa pengembangan dan perbandingan. Sebab, seharian di kolong rumah itu, berlangsung sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu WWF Indonesia. Nah, berbicara udang windu, saya berpikir, udang windu bukan hal baru di Kec. Suppa.

Meski budidaya udang windu telah mendarah daging bagi warga sekitar pesisir Pinrang, kebutuhan akan informasi perbaikan-perbaikan budidaya udang tidak terbatas, kebutuhan untuk belajar dari sejarah budidaya di pinrang yang dahulunya pernah berjaya, (80 – 90-an), yang dengan pelan-pelan merosot akibat massifnya serangan penyakit yang terlebih dahulu dipicu oleh menurunnya kualitas lingkungan, berupa lahan dengan bahan organik sisa pakan yang terendap, kualitas air yang tercemar penyakit. akibatnya, hatchery-hacthery tinggal seberapa yang bertahan, saat ini bertahan 10 hatchery windu di Pinrang, tambak-tambak intensif berguguran, dan yang bertahan hanya tambak tradisional. Fenomen lain, karena faktor ekonomi (harga udang), masyarakat pada 1999 – 2007 makin bersandar pada usaha budidaya udang windu dan bandeng, dimana masih terjadi konversi lahan-lahan sawah tadah hujan menjadi lahan tambak. Dimana dari tahun 1991 hingga 2002 tambahan luasan tambak yang diperoleh dari konversi sawah yaitu sebanyak 97,37%, sedangkan yang 2,63% berasal dari lahan lainnya (Utojo, dkk, 2008).

WWF Indonesia sengaja melirik Kab. Pinrang untuk diajak melakukan perbaikan perikanan budidaya, setelah melihat potensi tambak Pinrang yang besar. Pada tahun 2012, produksi udang windu mencapai 2.931 ton, yang berasal dari 15.675 ha lahan tambak, yang terbagi di lima kecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.560 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cempa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha) (Anonim, 2007). Meski Duampanua yang terluas lahannya, produksi udang windu terbesar berdasarkan luas lahan berada di Kec. Suppa, dimana dalam setiap hektar rata-rata memproduksi 088 ton/hektar/tahun, Sedangkan duampanua hanya memproduksi 0,15 ton perhektar/tahun.

Selain itu, Potensi besar Kecamatan Suppa diiringi dengan daya kreatifitas pengusaha dan petambaknya dalam memecahkan permasalahan dalam pemeliharaan udang windu. salah satu solusi yang dicetuskan yaitu aplikasi wereng (Pronima suppa) sebagai pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan udang windu di daerah Wiring tasi dan Tasiwali’e, Kec. Suppa, Kab. Pinrang. Serta aplikasi probiotik lokal (RICA) untuk perbaikan kualitas air tambak dan meningkatkan pertumbuhan pakan alami di tambak. Aplikasi probiotik RICA, petambak Suppa mendapat arahan langsung dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, yang salah satu penelitinya konsentrasi pada probiotik RICA, yaitu Dr. Ir. Muharijadi Atmomarsono, MSc.

Untuk itu, penyaji seharian itu dalam sosialisasi, melibatkan tokoh-tokoh lokal, yang selama ini sudah lama melakukan pendampingan terhadap petambak di Suppa, yaitu Ir. Taufik (Pengusaha hatchery Windu yang melakukan banyak ujicoba Pronima suppa). Taufik juga sejak tahun 2001 melakukan pendampingan kepada para petambak yang membeli benur di hatchery-nya. Taufik menginginkan benur yang ia produksi bisa selamat hidup hingga panen. Taufik juga tahu banyak tentang permasalahan-permasalahan budidaya udang windu di Pinrang, mulai dari persoalan produksi benur udang Pinrang yang tak banyak dan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan benur udang windu Pinrang yang terdiri atas 15.000 ha, dimana dalam satu hektar rata-rata benur ditebar sebanyak 10,000 - 20.000 ekor. Makanya banyak petambak yang membeli benur dari luar Pinrang, yang kualitasnya kurang baik dan sangat berpengaruh terhadap menurunnya produksi udang.   

Pemateri lokal berikutnya adalah Ir. Nurdin, (Kabid Budidaya DKP Pinrang), Beliau mempertegas kembali maksud dan tujuan CBIB, sebagai upaya sertifikasi lahan budidaya untuk mewujudkan jaminan mutu dan keamanan pangan. Sertifikasi sendiri adalah kegiatan penerbitan dan pengendalian tambak melalui penilaian kesesuaian yang dipersyarakatkan dalam cara budidaya yang baik. Dengan mengacu pada prinsip biosecurity (Keamanan pangan), yaitu mencegah dan pengurangi peluang masuknya suatu penyakit; 2. Food safety yaitu keamanan pangan; 3. Ramah lingkungan.    

Prof. Hatta Fattah (Akademisi dari UMI yang secara berkesinambungan meneliti Pronima suppa), yang tiba-tiba hadir juga turut membawa materi. Akademisi asal Suppa ini banyak berbicara tentang integrasi program di Suppa, dimana masing-masing pihak harus menetapkan posisi dan mengambil peran masing-masing di Suppa, untuk sama-sama memperbaiki kualitas udang windu Kec. Suppa. Penjelasan lainnya tentang perkembangan penelitian terkait pakan alami Pronima suppa, serta kemungkinan Pronima suppa untuk dikembangkan menjadi pakan benur di hatchery.

Beruntung, karena selain materi, sosialisasi juga dihadiri Ir. Andi Budaya, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Pinrang, yang turut memberi wejangan dan apresiasi terhadap kegiatan ini.    

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu dimulai oleh sambutan dari Candhika Yusuf, Koordinator Akuakultur WWF Indonesia. Candhika banyak berbicara tentang WWF Indonesia, program-program akuakultur, dan rencana—rencana perbaikan terhadap persoalan-persoalan yang biasanya turut ketika terlaksana kegiatan budidaya perairan. Seperti penebangan mangrove, pencemaran perairan, penggunaan bahan-bahan berbahaya, biosecurity, pencemaran genetik, dan persoalan sosial/konflik.  

Di hadapan para petambak yang masih bingung tentang WWF dan lambang pandanya, Candhika menjelaskan, “Pada tahun 1960 dan 1961, populasi panda mulai punah di China akibat penangkapan. muncullah upaya penyelamatan Panda di China, tutur Candhika. Ia melebarkan penjelasan tentang WWF di Indonesia, “Pertama kali berkegiatan pada tahun 1962, dengan misi pertama penyelamatan badak cula 1 di Ujung Kulon. Tahun 1960 populasi badak mulai punah, sejak tahun 1961 WWF bekerjasama dengan balai taman nasional, kementerian kehutanan. Berkat kerjasama tersebut, populasi badak mulai pulih, populasi badak meningkat, perburuan badak mulai dihentikan dan badak dapat normal kembali beranak pinak,” tambah Candhika.

Kemudian Candhika mulai meluruskan kerangka perbaikan lingkungan, yang dimulai dengan pembuatan panduan (Better Management Practice) yang melibatkan banyak pihak, di berberapa daerah di Indonesia, agar lebih meng-Indonesia. Panduan tersebut juga mengacu pada standar berskala internasional Aquaculture Stewardship Council (ASC), yang mempunyai misi untuk mendorong tersedianya produk perikanan budidaya yang bertanggungjawab melalui mekanisme sertifikasi pihak ketiga. Standar ASC diperoleh dari hasil Aquaculture Dialogue yang diprakarsai oleh jejaring kerja WWF, melibatkan ribuan kalangan pembudidaya industri, LSM, pemerintah, pasar, dan akademisi dari seluruh dunia. Makanya panduan budidaya perikanan WWF Indonesia, yang sudah ada beberapa, Udang Windu, Ikan Nila, Penyakit Udang, Ikan Kakap, tidak hanya menekankan pada aspek teknis, tapi juga memberi ruang pada aspek lingkungan dan aspek sosial, dua aspek yang biasanya menghambat proses produksi dan perbaikan kualitas produk. “Karena di Pinrang potensial udang windu, maka sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu Sulawesi Selatan, diselenggarakan di Pinrang,” ujar Candhika.

Pemapar sosialisasi perwakilan WWF Indonesia berikutnya adalah Wahju Subachri. Wahju lebih banyak berbicara tentang budidaya udang windu yang baik, menurut panduan (Better Management Practices/BMP Budidaya Udang Windu. Pemaparan dimulai dengan aspek-aspek penting dalam budidaya udang, yaitu Persiapan lahan dan air, pemilihan benur, pemilahan kualitas air, pengendalian penyakit, dan panen. Namun, hal krusial yang diungkapkan oleh Wahju yaitu terkait pemanfaatan lahan baru. “WWF Indonesia tidak merekomendasikan petambak membuka lahan baru. Sebab, hampir seluruh lahan di Indonesia sudah terbuka, khususnya hutan mangrove. Namun, jika kondisi mendesak dan mengharuskan lahan dibuka, petambak harus berkonsultasi dengan dinas terkait untuk mengidentifikasi lahan mana yang bisa dan tidak bisa dibuka,” ungkap Wahju. Hal berikutnya yang menjadi perhatian wahju yaitu tentang kesepakatan Ramsar, yang mengatakan bahwa lahan yang dibuka sebelum Mei 1999 wajib mengembalikan kawasan mangrove sebesar 50 persen dari kawasan tambak.

Sejak awal pelatihan, panitia telah membagikan tiga jenis BMP yang telah dipunyai WWF Indonesia. Buku tersebut sedikit memudahkan peserta untuk memahami penjelasan Wahju Subachri tentang metode budidaya udang yang baik, yang dimulai dengan persiapan yang baik, pemeliharaan air yang baik, pemilihan benur yang baik, pengelolaan pakan yang baik, pemeliharaan udang yang baik, serta metode panen dan pasca panen yang baik. Selain itu, peserta memahami beberapa prinsip utama menyangkut aspek sosial dan lingkungan. Aspek sosial berupa penguatan kelembagaan kelompok tani, penguatan catatan dalam kelompok tani, serta pemecahan masalah secara bersama dalam kelompok tani. Serta aspek lingkungan, seperti pengelolaan limbah, penanganan penyakit dan penanaman mangrove pada kawasan tambak dan saluran air.

Sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu ditutup dengan kata penutup Ir. Taufik pada sore 18 Maret itu. Sosialisasi yang berhasil mempertemukan beragam pihak dan beragam kepentingan. Dimana pihak-pihak yang telah lama terlibat dalam perbaikan budidaya udang windu di Pinrang, dapat tetap berbesar hati untuk terus berkomitmen melanjutkan program, sekaligus kedepannya dapat bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang turut ingin membantu masyarakat petambak di Kec. Suppa, Kab. Pinrang. 

“Marilah kita sama-sama duduk untuk membuat komitmen, tidak lagi saling menyalahkan,” Ujar Taufik. Acara pun ditutup. Peserta, pemateri, serta panitia bergerak keluar kolong rumah dan berjejer di dekat papan nama kelompok tani Simaturu’, berfoto bersama.

Idham Malik





0 komentar:

BMP Udang Windu Disambut Hangat Petambak Pinrang