semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Sepijak-pijak, Maluku Tenggara (Bagian 3)



Pada Senin, 24 Maret 2014, adalah hari kedua kami di Pulau Kei Kecil-Maluku Tenggara (Malra). Kami bangun pagi betul, 06.30 WIT, untuk mengantisipasi kunjungan ke pasar Malra untuk melihat arus masuk ikan-ikan. David dan Rustam sudah terlebih dahulu mandi, saya agak terlewat dan terpaksa supir dan Pak Yongki (Staff DKP Malra) yang datang pukul 07.30 WIT harus menunggu barang setengah jam. Alhasil, kami tak berhasil ke pasar, karena harus menjemput lagi Om Yan dan Usy Mien di kantor.

Jadi, kegiatan awal kami yaitu mengunjungi kantor DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Maluku Tenggara. Kami ke sana pukul 10.00 WIT. Lucunya, belum semua staff DKP yang masuk kantor pada saat itu. Padahal, suasana di luar gedung sudah begitu menyengat. Tampaknya pemandangan seperti ini adalah hal lumrah kita dapatkan di daerah. Dimana waktu dan produktivitas belum dapat dipaksakan dengan greget.

Di sana kami terlebih dahulu diskusi dengan Bapak Anton Renjaan, SPi, MSi, Kepala Bidang Budidaya dan Perikanan Tangkap, DKP Malra. Anton orangnya meriah dan akrab, ia mengawali perbincangan dengan mengeluhkan mental para pegawai. “Orang sini susah diatur, buktinya, ke kantor saja datang terlambat,” guyonannya sembari tertawa. Anton yang biasa disapa Toni ini bercerita tentang sulitnya nelayan Kei memberi data tentang jumlah tangkapan perhari. Data-data hanya dapat diperoleh dari SKMI (Surat Keterangan Membawa Ikan) untuk para pengumpul. Menurutnya, nelayan sudah harus memiliki kartu nelayan, dimana nelayan mencatat produksinya minimal dalam dua tahun terakhir. 

Tampaknya pernyataan ini perlu diverifikasi, sebab nelayan yang kami wawancarai pada jam-jam berikutnya, terlihat mudah membeberkan informasi. Dimana letak masalahnya? Apakah terletak pada nelayan atau pada petugas pencari data? Pegawai sebenarnya dapat melakukan penghitungan di tempat-tempat penampungan ikan, yaitu di Keramba Jaring Apung (KJA) Pulo Mas. Pada KJA, nelayan berdatangan untuk menjual ikan geropa (kerapu), biasanya sore hari. Dan kita dapat melihat langsung jenis ikan yang ditangkap dan dapat mengetahui jumlahnya.

“Sebenarnya dulu (Jaman Ordebaru) ada kebijakan penyuluh turun langsung ke nelayan, melakukan pendampingan penuh ke bawah, yang diistilahkan Penyuluh Perikanan Spesial (PPS). Tapi sekarang kebijakannya sudah tidak seperti itu,” tutur Anton. Sekarang, penyuluhan diambil alih oleh Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (P4K). Saat Sosialisasi BMP Ikan Karang, 25 Maret 2014, terdapat 4 orang penyuluh dari P4K yang hadir. Seorang penyuluh perikanan mengatakan bahwa mereka masih butuh bimbingan tentang budidaya rumput laut, “Rumput laut di sini sering terkena hama, kami sangat mengharapkan pelatihan untuk mengatasi persoalan tersebut,” kata seorang penyuluh. Sebenarnya yang dimaksud hama tersebut adalah penyakit ice-ice, yang menurut Dr. Andi Parenrengi, Kepala Balai Riset Budidaya Air Payau (BRPBAP Maros), sebagai penyakit gangguan fungsi atau terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman akibat adanya perubahan faktor lingkungan yang ekstrim, misalnya perubahan nutrisi, suhu, salinitas, dan tingkat kecerahan air. Kondisi tersebut biasanya diikuti adanya interaksi dengan mikroorganisme patogen.

Memang, agak sulit memecahkan problem penyakit ice-ice di Malra, karena memang pada musim-musim tertentu terdapat musim teduh (kurang arus/angin), dimana pada daerah-daerah bagian timur akan mengalami masa teduh pada musim barat, yaitu dimulai pada September – Maret Akhir, dan akan membaik pada April – Agustus. Begitu halnya bagian barat akan mengalami musim teduh jika masuk musim timur. Di wilayah-wilayah Sathean, La Betawi, Levidathan, Dullah Utara saat ini mengalami musim teduh. Pembudidaya mensiasatinya dengan mengurangi jumlah tebar (tanam), misalnya pada musim baik menebar hingga 50 tali (50 – 100 meter), pada musim kurang baik menebar hanya 10 tali. Dan ada yang tidak menebar dan menunggu musim baik. Ada pembudidaya yang membiarkan tali dan pelampung berlumut karena menganggap lumut dapat mengurangi cahaya matahari langsung dan tidak terlalu menenggelamkan bibit terlalu dalam, karena pada bagian dalam air tidak bergerak, dan ada yang membersihkan lumut dan menenggelamkannya agak dalam (20 centimeter) karena pada daerahnya tetap berarus pada sepanjang musim (Desa Letvuan).



Perbincangan menyerempet ke program-program DKP Malra untuk peningkatan ekonomi nelayan dan pembudidaya rumput laut. DKP Malra menyodorkan bantuan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) kepada 22 kelompok pembudidaya rumput laut pada tahun lalu (2013) dan pada tiga (3) kelompok pada tahun 2014 ini. Bentuk bantuan berbeda-beda, tergantung permintaan dari kelompok, misalnya kelompok membutuhkan tali atau penjemuran maka pendamping yang memang khusus dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) akan membantu menyediakan. “Bantuan tersebut melalui pendamping, dana masuk ke rekening kelompok, bukan melalui dinas,” tambah Anton.

Terdapat pula bantuan dari partai politik atau biasa disebut ASPIRASI. Bantuan ini dianggap dapat merusak stabilitas hubungan dengan nelayan dan pembudidaya rumput laut. Sebab, dana tersebut tidak ditujukan pada subjek-subjek khusus, misalnya nelayan dan pembudidaya, tapi kepada siapa saja yang dekat dengan partai politik. Nah, problem terjadi ketika nelayan/pembudidaya mengetahui ada bantuan seperti itu, kemudian mereka tidak dapat bantuan, maka hubungan emosional mereka dengan pendamping bisa terjadi klik.

Ibu Babaranda Lily Latelay, Kepala DKP Malra sudah ada di ruang sebelah (ruang Kepala DKP). Kami pun beranjak kesana dan David mulai membuka diskusi dengan Ibu Lily, “WWF berencana melakukan sosialisasi di Desa Ohoidertutu, Selatan Pulau Kei Kecil, kami memohon dukungan dari DKP Malra,” ucap David. Lily menyambut baik dan beliau siap membantu. “Nanti Yongki akan bantu untuk kunjungan ke nelayan-nelayan,” ungkap Lily. Saat itu saya juga minta disediakan data-data produksi rumput laut Malra. Akhirnya Ibu Lily meminjamkan berkas-berkas pelaku usaha rumput laut di masing-masing kecamatan.

Kendala utama dalam budidaya rumput laut menurut Ibu Lily adalah kebun bibit. Keberadaan kebun bibit memang sangat berpengaruh bagi keberlanjutan budidaya rumput laut di Maluku Tenggara. Di Malra, masih kurang pembudidaya yang mengambil inisiatif untuk membuat kebun bibit, dimana pada musim-musim tertentu, misalnya musim penyakit (ice-ice) pada saat laut teduh (kurang arus-angin), aktivitas budidaya berhenti, sehingga dibutuhkan bibit baru lagi untuk memulai dari awal.

Setelah berkunjung ke beberapa spot/lokasi budidaya rumput laut, seperti di Desa Sathean, Letvuan, Fidathan, Dulla Utara. Petani tidak terlalu mengeluhkan bibit rumput laut, mereka dapat memperolehnya dari keluarga-keluarga yang konsisten mengelola bibit rumput laut. Seperti yang dilakoni Achilles Mayakubun, pembudidaya paruh baya ini memang mengkhususkan memelihara bibit pada lokasi yang agak dalam. Bibit dari Achilles biasanya disumbangkan ke pembudidaya lain yang membutuhkan. Achilles juga menjualnya ke pembudidaya di desa lain dengan harga terjangkau. Ini diakui Bapak Constantin dari Sathean, di Sathean sedang menghadapi musim teduh, karena posisi desa ini terletak di wilayah timur pulau Kei, sehingga permukaan lautnya kurang terhembus angin. Constantin memperoleh bibit dari Desa Letvuan. Namun menurutnya terdapat bibit luar yang kurang cocok ditanam di Sathean. “Saya pun hanya mengandalkan sisa-sisa rumput laut yang masih bertahan pada musim barat untuk dijadikan bibit kembali,” ujar Konstantin, ketika ditemui dua hari berikutnya.



Kunjungan ke DKP ini sebagai modal awal kami untuk menelusuri lebih dalam problem lingkungan pada aktivitas nelayan maupun aktivitas budidaya rumput laut. Sekaligus menjadi modal awal dalam menguliti problem sosial dan mental mereka. Tentu, untuk memperoleh jawaban bukan dengan hanya melakukan survey, mengambil data-data, lalu pulang. Kita tidak dapat menyandarkan tindakan kita ke depan hanya dari data-data, tapi juga menyerap pengetahuan yang telah dikelola oleh masyarakat sekitar, untuk menghadapi persoalan-persoalan teknis yang mereka hadapi di lapangan.

Makassar, 3 April 2014 
Idham Malik





0 komentar:

Sepijak-pijak, Maluku Tenggara (Bagian 3)