semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Leang-Gua

Kadang, sesekali kita butuh ke leang, kata lain dari gua. Jauh sebelum kita, para moyang telah bermukim di gua, yang difungsikannya sebagai rumah, tempat berlindung dari para hewan liar, tempat istirahat tanpa diganggu oleh rasa was-was. Gua cukup hangat dan nyaman, tempat moyang kita dengan bebas dan mungkin sedikit malu-malu bersenggama dalam ceruk-ceruk atau relung gua. Mereka berharap, dengan persenggamaan itu, akan lahir manusia-manusia yang tangguh, manusia yang dapat selamat dari berjuta tantangan ketika lahir ke dunia. Tantangan terhadap penyakit, terhadap makanan yang makin sulit dicari, tantangan terhadap semakin kencangnya saingan antar manusia.   



Saya membayangkan moyang kita itu, moyang yang warisannya tersisa tapak tangan dan lukisan babi rusa. Tapak tangan yang agak besar, melebihi tangan normal manusia zaman kita. Ini tampaknya membuktikan bahwa manusia memang mengalami evolusi, tapi terbatas pada evolusi ukuran. Sedangkan evolusi spesies, saya juga belum yakin betul, antara percaya dan tidak percaya. Saya berada di antaranya, yaitu masih tahap ragu-ragu. Saya juga tidak mau menerima mentah-mentah jawaban final kitab-kitab, yang langsung menjelaskan bahwa nenek kita adalah adam dan keturunan-keturunannya. Jika Adam, apakah betul Adam muncul begitu saja, tanpa sejarah, tanpa proses yang jumud, yang tak teratur, yang kacau, yang mungkin atau kebetulan menghasilkan yang teratur itu, yang kompleks itu, yang tiba-tiba hidup, berdegup, bernafas, dan tumbuh.

Adam menurut pemahmanku saat ini dan dapat saja berubah kelak, adalah penjelmaan manusia yang beradab dan telah lengkap piranti-piranti akalnya untuk dapat mencerna, membangun hipotesa dari informasi-informasi yang masuk melalui indra, kemudian diolah dengan mudah pada ranah nalar yang bersifat apriori, adekuat, dan universal. Ini adalah perkembangan paling mutahir dari perjalanan gen-gen kita. Adam pun adalah manusia yang punya kemampuan untuk berternak dan bercocok tanam, itu ditampakkan oleh keturunannya, Habil dan Kabil yang merupakan gembala dan tukang kebun. Kemampuan itu sudah cukup spektakuler, karena secara rasional hanya dapat diperoleh dalam kondisi – kondisi tertentu, misalnya lokasi mereka tinggal terdapat spesies-spesies yang dapat dikultur dan dipelihara, dibiakkan, dibudidayakan, yang penemuan dahsyat itu tanpa diduga, dan berawal dari usaha trial and error. Dalam kisah-kisah pun kita tidak dijelaskan bagaimana sang kambing itu tiba-tiba dapat digembala? Bagaimana pengetahuan itu muncul? Saya rasa kita harus mencermati betul pertanyaan ini.     

Yah, kita hanya percaya tidak percaya pada keduanya, pada kisah simpanse yang gelisah, yang karena persaingan ketat antara monyet, berinisiatif turun dari pohon. Moyet yang cemas itu mencoba mencari makanan di darat dan kemudian melakukan perjalanan jauh. Iya dengan was-was keluar dari habitatnya, melewati padang-padang dan terus waspada terhadap terjangan hewan-hewan buas yang lain. Dari tantangan demi tantangan itu, pikirannya terus terasah hingga generasi ke generasi, dari keturunan moyet ke keturunan monyet yang sedemikian menjauhi sifat-sifat moyangnya. Kemudian, dalam perjalanan antar generasi itu, moyet yang semakin menyerupai manusia tiba-tiba mampu berdiri tegak, walau sedikit membungkuk. Mereka pun sudah bisa mencari makan dengan cara-cara yang lebih cerdas, yaitu dengan memanfaatkan batu-batu yang diruncingkan, dengan menggunakan pentungan. Dan pada akhirnya monyet yang sedemikian cerdas itu melakukan migrasi, mencoba-coba melintasi daratan yang jauh, melintasi lautan pada masa glasial, ataukah menggunakan perahu pada masa es mencair hingga tiba di pulau-pulau lainnya.

Dan akhirnya tiba di Leang, tiba di gua dan bersembunyi. Kemarin, 17 Agustus 2014, bersama seorang wanita yang saya cintai, kami melakukan napak tilas ke Taman Purbakala – Leang-Leang, di Bantimurung, Kab. Maros. Kami melalui batu-batu karang yang dengan cantik bertebaran di hamparan, batu-batu itu tertancap dengan multibentuk, letaknya acak dan mengesankan. Kita bisa bermain-main atau menciptakan banyak permainan di area itu, tempat main pinball (tembak-tembakan), main petak umpet, main sepeda-sepeda, main kejar-kejaran. Kami menduga dan sesuai dengan pernyataan seorang professor di Unhas, bahwa batu-batuan kars itu, sama dengan himpunan tebing kars yang berdempet-dempet, berjejer-jejer itu sebenarnya merupakan batu karang, yang ditandai dengan pori-pori tempat air laut dahulu dapat menyelusup. Kalau seperti itu, dahulu, entah beberapa ribu tahun yang lalu itu, laut begitu tinggi dan menutupi sebagian besar daratan, ketika bumi memasuki fase pasca glasial, ketika air-air dari kutub mencair. Pada masa itu, manusia dan hewan yang bertahan di Nusantara,  wilayah yang merupakan bagian tenggara bumi itu, hanyalah manusia dan hewan yang berada di tebing-tebing, puncak-puncak bukit dan dataran tinggi. Mungkin, manusia dan hewan yang berada di tengah-tengah bumi lah (Asia Tengah dan Afrika) yang cukup lapang wilayah jelajahnya, dan tidak dipengaruhi oleh lalu lintas air laut dan zaman glasial.



Kemudian kami mencoba mendaki, menapak-napaki tangga yang telah dibuat oleh manusia, hingga ke tebing, ke relung yang terdapat lukisan tangan itu. Saya melihat dan mengamat-amatinya dari jauh, dan tak menemukan hal baru di sana secara materil. Tapi secara pemahaman telah lahir hal-hal baru. Bahwa manusia itu selalu mencari akar, hingga penjelasan-penjelasan yang dianggap muskil dan mustahil. Segala hal yang merupakan peninggalan manusia atau menuju manusia harus dihargai, walaupun mungkin hal itu kelak akan terbantah oleh bukti-bukti baru yang lebih ilmiah. Hal itu kita lakukan agar kita sebagai manusia dapat lebih menghargai hidup kita saat ini. Bahwa dahulu, nenek moyang itu mampu bertahan hidup dalam kesulitan-kesulitan alam, dan kita pun harus hidup dalam kesulitan-kesulitan. Bedanya, dahulu manusia dan menuju manusia itu dipusingkan oleh alam, dikendalikan oleh samudera oleh cuaca dan hanya dapat bertahan dalam gua, sementara saat ini alam lebih banyak dikendalikan oleh manusia, manusia merekayasa alam, mengeksploitasi alam, alamlah yang dikendalikan, alam diatur, alam dipaksa untuk memenuhi kerakusan dan hasrat liar manusia. meski kadangkala alam juga turut membuat kaget, dengan gempa-gempa, dengan letusan-letusan gunung, dengan rob dan banjir.

Dan dalam gua itu, moyang kita memperoleh kedamaian, dalam gua nabi-nabi juga memperoleh hikmah. Gua memungkinkan hal-hal abstrak dapat ditangkap dan diresapi. Dalam tempat yang sepi itu, nabi menemukan dirinya dan sabda, berdialog dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Pada gua, Plato berhayal-hayal tentang adanya dunia ide, gambar-gambar yang terbayang pada dinding. Mungkin, gambar babi rusa itu hanyalah replikasi dari bayangan yang terpantul ke dinding gua, yang muasalnya dari luar gua, seperti paham Plato, bahwa dalam gua kita hanya melihat bayangan dari lingkungan sebenarnya di luar gua. Tapi, mungkin saja itu terpikir oleh nabi, bahwa bayangan juga seperti cermin. Ia melihat bayangan dirinya dalam kegelapan gua. Melihat dosa-dosanya, melihat masa lalunya dan kemungkinan-kemungkinan masa depan.

Untuk itu, mari ke gua, mari bersemedi, mari napak tilas, mari selamatkan gua, mari mempelajari sejarah kita, sejarah manusia gua. Dan keluarlah dari gua dengan pandangan baru, bahwa kita telah terlahir kembali ke realitas, dunia yang penuh tantangan.

Kampus Unhas, 18 Agustus 2014

Idham Malik




0 komentar:

Leang-Gua