semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Mengunjungi Senyap

Rasa-rasanya, lama lagi saya tak merasakan senyap. Sebuah melankoli atau prosa liris yang hinggap dan tak disengaja. Ia datang begitu saja dan bermukim begitu nyaman dalam rongga. Menggeruwel, menggerutu, dan pada kondisi tertentu begitu menggores-gores. Saya sudah demikian akrab dengan rasa itu, senyap yang menghantar, senyap yang damai, senyap yang dimana saya selalu mampir padanya. Saya pun tak tahu, apakah senyap yang datang kepada rongga ku ataukah ada bagian pada Aku yang mengunjunginya, masuk ke dalam lorong gua untuk sekadar merasakan keamanan. 

Keadaan terhentak kembali saya rasakan pada siang itu, di lantai satu perpustakaan Unhas, saat diskusi literasi 17 Oktober 2014. Saat itu pertemuan antar penulis begitu hikmat, masing-masing penulis muda dan tua, setengah tua, membicarakan proses – proses kreatif mereka hingga dapat melahirkan karya. Giliran pertama tertuju ke saya, tapi sayangnya saya tampak hanya berbasa-basi, tak ada yang istimewa dalam penjelasan saya. Saya selalu bersembunyi pada keadaan bahwa proses kreatif itu lahir dengan sendirinya, saya tak tahu dari mana ia muncul, bagaimana saya membangkitkannya, saya tak tahu. Saya hanya bilang waktu itu, bahwa menulis lebih pada dorongan dari dalam dan dari luar. Dorongan dari dalam tak dapat saya jelaskan, hanya dorongan dari luarlah yang lebih konkrit, sebab kita menulis karena terdapat masalah di sekitar kita, terdapat gejala-fenomena, dimana kita melihat kekurangan dan kita mencoba untuk menjelaskan kekurangan atau lack itu.

Tapi, dorongan dari dalam, apa gerangan yang dimaksud dari dalam itu? Penjelasan tentang hal ini tentu sulit memperoleh jawaban singkat. Sebab jawabannya tak lepas dari perjalanan diri saya, dan lebih teknisnya adalah perjalanan kesenyapan saya sendiri itu. Dan saya tersentak dengan kata-kata Alwy Rachman, bahwa seorang penulis dapat memperoleh hikmat dan ide itu jika selalu berada dalam kesenyapan. Dari situlah saya memperoleh tambahan bahan renungan, bahwa rata-rata seorang penulis lahir karena terbiasa berdialog dengan dirinya sendiri. Tentang bahan dialog itu terlepas dalam penjelasan ini, karena sangat subjektif. Misalnya mendialogkan tentang posisinya dalam kehidupan keluarga, posisinya dalam kehidupan pertemanan, dalam kehidupan sosial masyarakat, pertentangan-pertentangan batin dalam berinteraksi sosial, dalam pengambilan keputusan, dan dalam menjalankan perintah agama, serta dalam mencerap ide-ide, gagaran-gagaran dari para filsuf, ilmuan dan sastrawan.

Saya ingin kembali terjun ke masa-masa kesenyapan lampau. Dimana terdapat ambivalensi, antara keterpanaan saya terhadap dunia, dimana subjektivitas saya begitu kuat, hingga merasa hanya seorang diri di dunia, di sisi lain, saya menenggelamkan diri saya dalam kehampaan, saya tak dapat ikut tercebur dalam realitas-interaksi dunia. Saya seperti meletakkan diri saya di tengah, tapi hanya sebagai penonton. Kemudian pada saat-saat tertentu diri saya letakkan di pojok, di pinggir, agar saya dapat leluasa mengaktifkan subjektivitas dengan diri sendiri.



Makanya, pada masa bayi dan kanak-kanak dahulu, saya tak begitu merespon dunia, dunia sepertinya baik-baik saja tanpa kehadiran saya, yang ada hanyalah keadaan bingung, bahkan terlampau bingung. Perasaan-perasaan seperti ini tampaknya selalu hadir, bahkan hingga saat ini, saya terkadang sulit untuk melacak peristiwa-peristiwa apa yang dahulu membuat saya tertawa, suasana-suasana apa yang membuat hati saya gembira? Tampaknya, jika ada waktu, saya perlu melakukan korespondensi dengan keluarga, ataukah sahabat waktu kecil, kira-kira hal-hal apa saja yang telah kita perbuat untuk membantu saya memahami gejala-gejala psikologis saya waktu itu.

Saya pun tak hendak membeberkan kekacauan ataukah kegalauan pada masa-masa itu, yang terus terang masih menghantui hingga saat ini. Dimana dampak buruknya tampak ketika saya memasuki suasana baru, pertemanan baru, dan ketika saya bergelut dengan hirarki. Terkait dengan hirarki itu saya sulit menjelaskannya, karena saya merasakan juga terjadi ambivalensi, dimana dalam hubungan itu terdapat rasa takut tapi juga rasa berani. Keduanya campur aduk, dan hal itulah yang membuat saya cukup canggung untuk menampakkan diri dalam sistem dan dalam perebutan wacana hingga kekuasaan.

Apakah saya dapat bebas dari residu-residu psikologik ini? Apakah saya harus merelakan masalah saya ini pada waktu, dimana saya pun selalu menguji keberanian saya ketika mengunjungi tempat-tempat baru, suasana baru, tantangan baru. Saya selalu terpancing untuk menguji sejauh mana lompatan saya. Karena hingga kini pun rasa takut dan hendak menghindar selalu hadir, namun selalu saja teratasi dengan perasaan ingin coba-coba, rasa ingin tahu yang tinggi akibat selalu merasa kurang dalam banyak hal.

Tampaknya, pada tulisan ini saya tak dapat lagi mengontrol alur dan logikanya, tampaknya tulisan ini punya cerita sendiri, dan tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, yaitu sebagai arsitekural tulisan, dimana terdapat batu alas, tiang-tiang, dinding, atap, jendela, teras dan halaman. Saya tak dapat mengendalikan hal-hal yang menjadi pertanyaan dan masalah abadi saya. Lantas apa hubungan semua ini dengan ‘senyap’? dan apa hubungannya dengan tulisan?

Barangkali pertanyaan itu akan membantu menjawab pertanyaan mendasar saya pada awal tulisan, seperti apakah dorongan menulis dari dalam itu? Ya, menulis bagi saya adalah sebuah jalan keluar dari segala hal-hal yang saya takutkan, saya pikirkan, saya rencanakan, saya timbang-timbang, sebab dalam interaksi luar saya sangat bermasalah dan penuh kecanggungan. Selalu ada hambatan ketika mengutarakan kata-kata, argumentasi, kausalitas suatu kasus, sebab ada rasa sakit ketika kata-kata tidak terjelaskan dan orang tidak mengerti poin-poin pembicaraan, kedua, ada rasa sakit pula ketika saya membantah pernyataan orang lain langsung di hadapan orang tersebut. Makanya, jalan satu-satunya yaitu berdialektika dengan diri sendiri saja, mengutarakan pendapat pada diri sendiri saja. Tempat yang menurut saya paling aman adalah gua saya sendiri, berhadapan dengan diri saya, melalui tulisan.

Perasaan-perasaan itu tidak hilang, bahkan setelah saya mengikuti banyak organisasi dengan memegang peran sentral pada organisasi tersebut. Pada SMP saya sudah masuk dalam lingkaran Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Maros Kota. Pada saat – saat itu saya dengan senang hati menjadi peminta sumbangan di rumah-rumah warga, saya datangi satu persatu rumah dalam kompleks perikanan, meminta bantuan dana untuk pelaksanaan training untuk penerimaan anggota baru. Selama SMP kelas 2 hingga SMA kelas 2 peran itu saya pegang.

Pada saat naik ke jenjang SMA, saya langsung dikasih tanggungjawab sebagai Pradana Pramuka SMA 1 Maros, dimana tiap upacara memulai latihan pramuka pada hari Sabtu, saya selalu memimpin upacara. Dan pada saat-saat itu saya mengembangkan mading pramuka dengan begitu intens. Pada kelas 2 SMA, tanggungjawab malah berlipat-lipat, selain ketua kelas, saya juga memegang jabatan sebagai Ketua Mushallah SMA, serta ketua IRM Cabang Maros Kota. Lagi-lagi saya menguji tingkat kecakapan saya, yang mungkin menurut orang lain sudah bagus, tapi bagi saya itu merupakan pelarian dari ketidakmampuan saya berinteraksi dengan orang lain.

Pada saat mahasiswa juga seperti itu, berkali-kali saya mengambil peran penting, seperti sebagai steering committe perkaderan mahasiswa baru untuk himpunan mahasiswa, sebagai konseptor untuk pelatihan-pelatihan, hingga melakukan perjalanan jauh ke kota-kota di Jawa. Jabatan terakhir saya juga cukup sebagai ruang aktualisasi dan pembelajaran, yaitu Pimpinan Redaksi PK. Identitas Unhas, dimana saya mengembannya dengan begitu was-was dan penuh perhatian. Akhirnya masa jabatan saya berakhir dan ada kelegaan dalam jiwa saya. Lagi-lagi saya masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain, masih ada rasa takut untuk melontarkan gagasan-gagasan pada medan-medan lain.

Saya justru berfikir, apakah saya gagal dalam membesarkan jiwa setelah melewati proses yang cukup panjang itu? Apakah proses itu tidak memberi bekas, minimal keberanian untuk tampil, untuk berkompetisi. Terus terang saya tak tahu, dan saat ini tanggungjawab saya juga cukup besar, yaitu sebagai staff WWF – INDONESIA, saya pun mengembannya dengan perhatian dan tanggungjawab, namun problem saya kembali berulang.

Saya pun tak tahu, kapan kondisi-kondisi yang mencekam dahulu itu dapat memberi manfaat untuk masa depan saya? Apakah lantaran pengalaman-pengalaman itulah yang membuat saya tidak gampang berhenti, tidak mudah lelah untuk terus mencari, bergerak, menjejak? Apakah karena pengalaman itulah yang tak membuat saya berhenti untuk bertanya? Untuk menemukan jawaban-jawaban? Apakah proses – proses itu yang menyebabkan saya berani memutuskan untuk ke Jakarta selepas kuliah pada 2010, untuk hidup menjadi seorang pencatat yang kesepian di ujung barat Jakarta? Dimana waktu itu saya betul-betul seorang diri di antara para buruh kasar yang sulit untuk bersahabat, dimana pada saat-saat seperti itu menemukan persahabatan justru pada orang-orang kecil, tukang bak mie, tukang pijit dan seorang guru swasta. Pada saat itulah saya menemukan ambivalensi pada orang-orang kecil, bahwa orang kecil juga punya keangkuhan, bahkan penuh curiga terhadap mereka yang mencoba untuk mengusik kerja dan masa depannya. Saat itu saya belum terlalu paham, mungkinkah buruh-buruh itu ingin juga bersahabat, namun selalu melihat dirinya dan diri kita, selalu ada perbandingan-perbandingan, yang justru akhirnya menetapkan batas-batas.

Apakah gerangan semua ini? Tapi dalam proses itu saya pun memahami, bahwa lahir, bercinta, menderita dan mati adalah hal-hal konstan dalam hidup manusia. Begitulah kalimat yang begitu menggugah dari Ignas Kleden dalam komentarnya tentang tulisan-tulisan Umar Kayam.  Bahwa yang membedakan kita dan lainnya yaitu bagaimana kita merespon proses-proses perjalanan itu? Apa yang khas dari kita? Dan tentu, akan sangat menarik jika melihat cara-cara setiap orang untuk menghadapi atau merespon perjalanan itu. Sama halnya dengan cinta, cinta adalah hal yang universal, tapi bagaimanakah kita masing-masing melukis dan menjalankan cinta itu sebagai sesuatu yang khas dan unik? Disitulah letak kemenangan sastra dibanding ilmu-ilmu lainnya. Ah, kenapa lari ke sastra?

Tak tahulah, beruntung pula, karena dalam perjalanan itu, terdapat kisah-kisah spesifik dalam hidup, salah satunya yaitu mengenalmu dan mengenangmu di tempat-tempat yang jauh.

Kalibata, 25 Oktober 2014

Edisi kepengen menulis saja




0 komentar:

Mengunjungi Senyap