semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Semangat Pencerah

Siang-siang sebelumnya, matahari tertutup awan, jalanan basah, orang-orang menjadi ragu untuk keluar berjejalan. Selain takut basah dan macet, juga takut hidung tersumbat, takut masuk angin dan tak ingin meminum tolak angin. Karena ketika masuk angin, sakitnya tuh di sini.
Ah, untuk mengatasi keisengan pada siang yang cerah ini, saya ingin bercerita tentang semangat pencerahan sajah. Semangat yang biasanya dikobarkan oleh para cendekia, akademisi, peneliti, aktivis, mahasiswa, yang selalu mengulang-ulang istilah pencerahan-aufklarung.
Tapi, sejauh manakah kata itu diaktualisasikan? sesampai dimanakah semangat itu? Apakah hanya tiba di ruang pikir mahasiswa-mahasiswa, yang jika ditanya, untuk apakah pengetahuan tentang semangat pencerahan itu? Bingung dan barangkali hanya menjawab untuk hal-hal yang tak jauh dari kepentingan dirinya sendiri. Dan sejangkau pendengaran saya, yang merah-merah itu, tidak lagi nyaring terdengar kata pencerahan.


Kata pencerahan lebih menjadi lips service, kata itu hanya ada dalam kamus untuk menjelaskan sejarah yang beku tentang perjuangan rakyat Prancis dalam menumbangkan monarki, atau itu adalah omong kosong Thomas Paine misalnya tentang republiken, tentang liberalisme, tentang hak-hak asasi manusia yang dia gelorakan di Amerika Utara, hingga ke Inggris Raya. Pencerahan hanyalah cahaya redup yang dinyalakan oleh para apostel awal Indonesus, para anak muda dan orang tua, yang bersama-sama mencita-citakan, mengimajinasikan sebuah bangsa sendiri, yang dikelola sendiri, yang mana tidak menghamba pada Bangsa yang jauhnya melintasi samudera. Ataukah pencerahan yang tiba-tiba menyala kembali, pasca ambruknya rezim otoritarian Soeharto, yang menambah gairah-gairah akan perbaikan nasib rakyat.
Namun, semangat-semangat itu dengan cepat sayup, seiring waktu, dan seiring stabilnya politik oleh negara. Iya seperti cahaya yang cerah yang dengan pelan menjadi redup tertutup awan. Lantas, dimanakah para apostel pembawa api semangat itu? yang memiliki gambaran lengkap akan yang semestinya, yang sebenarnya, yang kadang-kadang utopis.
Pertanyaan tentang 'dimana' posisi para pencerah itu, cukup penting untuk dibahas. Letak dan aktivitas para pencerah itu menandakan efektifitasnya dalam mencerahkan. Menurut Andrew Goss, dalam Buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan, posisi para pencerah itu selalu dikanalisasi dan diserap oleh pemerintah, dan banyak oleh pemerintah otoriter. Pemerintah selalu tahu bahwa ketika terdapat beberapa kaum tercerahkan berkumpul, mereka dengan sedikit banyak tekanan merekrut mereka, mengendalikan hasrat intelektual mereka, memanjakan mereka dengan kenaikan gaji, asalkan para pencerah itu turut mendukung ideologi pemerintah, ikut terlibat dalam melakukan penelitian-penelitian yang mendukung program pemerintah, program pasar, program internasional. Para apostel itu tiba-tiba menjadi penjaja produk penelitian, dan dengan senang hati membantu mereka yang mampu membeli hasil temuan mereka.
Barangkali, mereka, para pencerah itu, yang punya gagasan brilian itu, yang punya perhatian terhadap nasib rakyat itu, ingin juga terlibat langsung dalam mensejahterahkan rakyat. Namun, ketika mereka bersentuhan dengan yang maha kuasa di Bumi, yaitu negara ataukah perusahaan, niat mereka menjadi lempem dan kemudian menjadi konformis, lalu dengan asyik melupakan persoalan besar itu, lebih memilih memecahkan problem-problem sederhana, seperti program swasembada beras, bibit unggul, pestisida kimiawi, revolusi hijau, atau mengkaji tanah. Tapi, tentang nasib rakyat yang tanahnya semakin lama semakin berkurang, kualitas tanahnya semakin lama semakin menipis, pendapatannya semakin lama semakin cekak, dan kesehatannya, pendidikannya, semua itu jauh dari perhatian para pencerah kita.
Para pencerah asik duduk manis di ruang kampus, yang dingin, dengan jok kursi yang empuk. Dengan sedikit bersibuk-sibuk di laptop untuk membuat laporan, sudah dapat lagi talangan dana untuk memperbaiki dan meninggikan pagar rumahnya. Para pencerah itu, terlihat begitu sibuk mengerjakan sesuatu, yaitu pesanan-pesanan, dan membuatnya kehabisan waktu untuk sekadar berkomentar tentang problem-problem masyarakat yang terlihat jelas di depan matanya. Yah, saya tiba-tiba teringat pernyataan Kak Alwy, Peristiwa berada di depan mata, tapi kesadaran jauh merosot ke belakang.
Sementara, bibit-bibit yang tercerahkan, tampak kehilangan orientasi ketika lepas dari kampus. itu sebuah keniscayaan, bahwa mereka harus segera mencari sandaran, kemudian tetap menjalin kontak dengan kawan-kawan yang sesama punya perhatian, lalu sama-sama merawat apa yang hendak diraih dan mengasah terus menerus ide, gagasan dan metode. Jika memang, kita tiba-tiba direkrut, diserap oleh lembaga, oleh negara, hal itu tidak mematikan motivasi kita untuk mengasah diri dan melihat problematika dengan lebih jauh. Bahwa realitas masyarakat masih begitu-begitu saja. Tugas kita lah untuk mengantar mereka, untuk mengajak mereka yang tercerahkan yang lain, untuk turun, untuk ke bawah, untuk bersentuhan dengan rakyat. Saya percaya, bahwa akar kebuntuan kita selama ini, karena kita jarang bersentuhan dan berinteraksi dengan yang tak terlihat, dengan mereka yang tak tersentuh.
Hal berikutnya yang juga prioritas, yaitu, bagaimana para pencerah ini dapat bisa lebih independen, dan bebas dari tekanan negara yang selalu mendiktekan keinginan-keinginannya. Bagaimana para pencerah ini, langsung menjadi agen, wali masyarakat dan menciptakan penemuan-penemuan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Saya rasa, sama dengan pemikiran Otto Soemarwoto, bahwa para pencerah tidak sekadar mengusulkan kepada pemerintah ide-idenya, tidak sekadar menjadi tim pemerintah untuk mengotrol masyarakat, dimana negara sebagai polisi dan bukan hukum, tapi turut langsung membuat kegiatan-kegiatan di masyarakat.
Tugas-tugas ini pun diemban oleh lembaga swadaya masyarakat, lembaga sipil, universitas, dan kelompok aktivis, tapi apakah mereka bebas dari kepentingan? apakah mereka betul-betul sepenuhnya memikirkan nasib rakyat kecil? atau nasib lingkungan? atau nasib manusia? ataukah mereka lebih besar memikirkan nasib dan kejayaannya sendiri. Saya tak tahu. Sebab, dalam pengelolaan masyarakat, kadang-kadang dan suatu keniscayaan terjadinya benturan kepentingan. Akan seperti apa masyarakat dibangun? apakah menurut pemerintah, menurut LSM? Menurut masyarakat sendiri? Bagaimana mengatasi hal ini? dan sudah seberapa besarkah korban dan pengorbanan masyarakat dan alam akibat tindakan-tindakan ceroboh para wali masyarakat? Barangkali, kita mendewakan metode ilmiah dan tidak mengindahkan dampak dari rumus-rumus pencerahan kita. Dimana akses masyarakat terhadap hutan yang kian terbatas, dimana negara dengan sewenang-wenang dahulu memberikan konsesi-konsesi pada perusahaan-perusahaan besar, hanya untuk memperoleh laba cepat. Dan hasilnya, raib, semua menjadi abu, menjadi asap. keuntungan hanya berada di kantong-kantong sebagian kecil orang. sementara rakyat banyak hanya memperoleh tuahnya, seperti tuah Lapindo, tuah Newmont, tuah perusahaan-perusahaan sawit yang tidak hanya mematikan gajah, tapi juga dengan sadis menggunakan alat negara (tentara - polisi) membunuhi rakyat-rakyat kecil yang meminta haknya, meminta negara untuk sedikit membagi milik leluhurnya.
Catatan ini merupakan catatan sederahana, hanya membagi-bagi apa yang dirasa bukan hanya di alam pikir, tapi meresap ke alam sadar. Tulisan ini bukan tulisan literasi, bukan tulisan ilmiah, tulisan ini hanya tulisan pamflet. hanya tulisan pamflet. Setidaknya, tulisan ini saya persembahkan kepada kawan-kawanku yang masih punya semangat, untuk bersama-sama lagi kita untuk berkumpul, membicarakan nasib bangsa, membicarakan permasalahan-permasalahan, kemudian kita turun bersama - bersama mereka yang lemah dan terpinggirkan.

Warkop 51, 11 Desember 2014
Makassar
Idham Malik




0 komentar:

Semangat Pencerah