semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Gravitasi Kata-Kata Aslan Abidin

Aslan Abidin, penyair angkatan abad 21, kembali mempesona peserta Sekolah Menulis Kreatif, membuatnya termangu-mangu di halaman belakang Kantor Sulawesi Community Foundation (SCF), Sabtu, 28 Maret 2015. Penyair yang selalu menggunakan langgam tubuh sebagai mediasi kritik politik maupun sekadar berliris-liris ria dengan wawasan dunia, memulai materi “Trik Menggoda Pembaca” dengan lugas sore itu, meski diakhir materi lebih banyak bercanda dengan nada ironi yang khas.

                           Foto : Irmawati-imhe

Bagaimana menggoda pembaca atau menjadikan karya kita dapat dilahap hingga tuntas oleh pembaca? Inilah pokok permasalahan yang dibahas Aslan di hadapan sepuluh peserta yang semuanya masih berstatus mahasiswa itu. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah target dari tulisan kita atau kita menginginkan tulisan kita dibaca oleh siapa dan tujuannya apa? Namun, hal ini kembali menimbulkan soal, ketika tulisan kita diperhadapkan oleh pertanyaan lanjutan, “Untuk apa Saya membaca tulisan Anda? Apa untungnya Saya menghabiskan waktu untuk membaca tulisan Anda?   

Pertanyaan ini tentu sangat mengusik pikiran, karena sebuah tulisan tidak hanya permainan kata dengan kata saja, tapi juga memuat gagasan, nah, apakah gagasan yang termuat dalam tulisan itu betul-betul bernas, ataukah hanya berupa gagasan-gagasan dengan daya pikat yang rendah atau tidak menambah rasa kita, wawasan kita, dan tidak membuat kita yang membacanya menjadi lebih manusiawi, misalnya. “Sebuah tulisan adalah teknologi gagasan, yaitu kemampuan kita menuangkan gagasan yang kita temukan, lalu kita olah untuk menjawab beragam persoalan-persoalan yang ada di hadapan kita,” kata Aslan.

Untuk itu, tulisan yang baik berangkat dari temuan yang baik. Tentang temuan ini menimbulkan lagi persoalan, bagaimana kita mampu menemukan sesuatu yang tersebar di alam raya ini, untuk kita susun dan akhirnya dapat menjadi magnet, atau pusat perhatian, yang kemudian menjadi perhatian bersama, untuk segera diambil tindakan bersama. Sebuah tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki efek-dampak dalam dunia nyata.

Gagasan yang baik menurut Aslan selalu bersifat realistis, yaitu menemukan jawaban antara gap Das sein dan Das solen, antara sesuatu yang kongkrit atau sedang terjadi dan yang semestinya atau normatif. Tentang Das solen, tentu masing-masing penulis memiliki nilai-nilai ideal tersendiri terhadap suatu peristiwa atau fenomena. Meski begitu, setiap penulis sebaiknya mengasah kemampuannya untuk menemukan das solen yang tepat, yang kontekstual, yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Salah satu kriteria untuk menilai kualitas suatu tulisan, yaitu dengan melihat relevansi das solen yang ia pilih untuk menjawab das sein yang ia persoalkan. Relevansi das solen juga Aslan sebut sebagai perspektif, dimana terdapat begitu banyak perspektif terhadap suatu fenomena.

Hal ini Aslan contohkan dengan pertanyaan : Kenapa mahasiswa saat ini kesulitan dalam menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan? Jawaban pertanyaan ini bisa beragam, seperti; 1) Pengaruh budaya televisi terhadap kemampuan daya pikir mahasiswa, 2) Mahasiswa mengalami kesulitan secara kognitif sejak dari sekolah dasar, 3) mahasiswa mengalami lompatan dari budaya lisan menuju konsumtif informasi, dan melewati budaya tulisan, 4) mahasiswa ditakdirkan bodoh oleh tuhan karena malas membaca buku, dll. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah gagasan utama untuk menjawab persoalan. Sejauh mana seorang penulis untuk meyakinkan pembaca terhadap gagasannya, dimana pembaca tidak mengalami kebosanan untuk membaca dari judul hingga akhir tulisan.      

Lalu, bagaimanakah tulisan yang memuat temuan, yang terdiri atas temuan utama yang dirangkai dengan temuan-temuan pendukung itu dapat dinikmati oleh pembaca? Ini membutuhkan strategi, yang disebut strategi menyusun kata, karena tulisan bukanlah mesin yang otomatis dan statis, tapi tulisan adalah hasil olah jiwa yang memiliki unsur keindahan atau seni. Tulisan haruslah indah, yang dapat pula dibahasakan sebagai sesuatu yang kreatif. Kreatif selalu melibatkan imajinasi, yang penuh dengan lompatan-lompatan kata yang dahsyat, kata-kata kreatif itu ditemukan oleh seorang penulis tentu sangat tergantung dari daya imajinatif seorang penulis, yang bahan bakunya diperoleh dari seberapa banyak bacaan bermutu yang ia lahap, bacaan-bacaan tersebut akan memasok variasi-variasi kata, variasi-variasi pemikiran, variasi-variasi bentuk dan pola, variasi-variasi metode dalam menyusun kalimat. Serta didukung oleh sensitivitas ia dalam melihat peristiwa lalu membahasakan ulang peristiwa itu dengan gaya dan ciri khasnya sendiri. Gaya yang ia temukan setelah berjuang keras dengan mencontoh penulis-penulis andalannya, dan akhirnya menemukan gayanya tersendiri.

Tentang hal ini, Aslan pernah berkata, “Memang betul tulisan Anda dipengaruhi oleh penulis tertentu, tapi coba Anda membaca banyak buku dengan banyak pemikiran, tentu Anda akan dipengaruh oleh banyak penulis, dan pembaca akan kesulitan lagi melacak jejak penulis lain dalam tulisan Anda. Dan Akhirnya Anda akan menemukan gaya tulisan Anda sendiri”.

                         Foto : Irmawati-Imhe

Untuk itu, kami pun sepakat bahwa untuk menghasilkan tulisan yang baik membutuhkan kerja keras, belajar terus menerus, membaca buku sebanyak-banyaknya yang terkait dengan tema atau kelompok ilmu yang kita minati, menulis terus menerus, berdiskusi dengan orang-orang yang tepat dan punya minat yang sama, serta menemukan iklim atau lingkungan yang mendukung karir kepenulisan kita. Nah, setelah menempuh proses itu, kita pun akan lebih mudah menentukan perspektif, lebih mendalam dalam melihat peristiwa, dan punya tools atau alat yang beragam dalam membedah suatu persoalan. Tulisan kita pun akhirnya memiliki daya magnet atau gravitasi, sehingga, orang yang membaca tulisan kita merasa tidak sia-sia dan tidak membuang waktu.  

***

Materi Aslan pada hari itu disertai contoh-contoh, yaitu contoh tulisannya tentang “geng motor” serta tulisan seorang peserta bernama Al-Fian Dippahatang yang berjudul “Le Bon, Jiwa Bersama, Hukum Kesatuan dan Mental Kerumunan”. Cukup banyak waktu yang digunakan untuk membedah kedua tulisan tersebut. Dengan cara seperti itu, peserta mudah paham bagaimana suatu fenomena dipersoalkan, kemudian sudut pandang apa yang diangkat, dan bagaimana relevansi sudut pandang atau teori yang digunakan.

Misalnya dalam tulisan Geng Motor, Aslan banyak mengangkat data-data sejarah geng motor di dunia, yang disebutnya sebagai salah satu sumber keresahan purba dalam peradaban manusia. Selain itu, Aslan menggunakan data tambahan yang berasal dari sebuah film, yang juga memuat tentang geng motor. Pada tulisan Al Fian, Aslan menjelaskan tentang patahan-patahan informasi dalam paragraf, yang mestinya harus dijelaskan. Menurut Aslan, kekeliruan-kekeliruan seperti itu merupakan hal lumrah dalam tulisan. Karena kadang-kadang seorang penulis mengalami ekstase pasca menulis, sehingga lupa mengkoreksi lantaran menganggap tulisan yang sudah jadi itu sudah bermutu. Untuk itu, dianjurkan untuk dilakukan pembacaan ulang atau meminta pendapat penulis lain dan pembaca untuk mengkoreksi tulisan yang kita buat sebelum diumumkan ke publik.       

***

Materi Aslan Abidin sangat menarik, karena dibawakan dengan santai dan kadang-kadang terselip kata-kata satire tentang banyak hal. Terlepas dari itu, Kata-kata Aslan, baik dalam lisan maupun tulisan adalah jenis kata-kata “Politik Performatif”, yang menurut J.L. Austin, dalam teorinya tentang “tindak-bicara” (speech-act), merupakan tindak-bicara ilokusioner, yang bicaranya adalah juga sebagai tindakan, dimana kata adalah perbuatan, dan perbuatan adalah efek itu sendiri. Kata-kata Aslan Abidin adalah kata-kata yang ia temukan secara kreatif, dari hasil benturan-benturan antara dunia realistis yang ia pahami dengan budaya bugis-makassar, pandangan-pandangan umum, dan tidak luput tentang mistisisme agama, yang menurutnya selalu tidak relevan dalam dunia relistis kita sehari-hari atau biasa ia sebut sebagai ironi.

Salah satu ironi yang ia temukan adalah prilaku guru besar-guru besar di kampus yang tidak relevan dengan gaya dunia akademik yang ia pahami. Prilaku guru besar yang menurutnya rakus tapi malu-malu, seperti saat ujian akhir mahasiswa, yang dimana para guru besar lebih banyak mengomentari bingkisan mahasiswa di banding isi kepala mahasiswa itu sendiri. Begitu halnya mahasiswa, yang pada malam terakhir sebelum ujian, tidak lagi disibukkan untuk menyiapkan bahan ujian, tapi malah menyiapkan makanan dan bingkisan untuk para penguji. Menurut Aslan, dunia akademik kita masih berciri agraris, dimana dalam setiap tindakan atau pemberian, baik itu berupa materi mapun hasil ujian, selalu menuntut balasan, makanya, dalam kosa kata Bugis tidak ditemukan kata terimakasih. Ironi-ironi tentang dunia kampus itu ia tulisan dalam sebuah essai satire berjudul “Kampus Terlucu di Indonesia Timur”.

Itulah ironi Aslan yang tumpah sore itu, yang dimana materi berakhir secara defenitif pada pukul 21.00 Wita. Sebab, pasca materi yang resminya berakhir habis magrib, dilanjutkan lagi dengan diskusi-diskusi lepas yang jika tak diselesaikan secara tegas, tampaknya kita tidak tahu kapan berakhirnya. Hehe..        

Meski begitu, terdapat kesulitan pada kelas kali itu, yaitu kesulitan kita untuk membuatkan framing terhadap wawasan Aslan yang begitu luas, daya cerap dan tangkapan gagasannya yang tajam, atau dalam bahasa ilmiahnya memiliki karunia literasi yang melimpah.

Untuk itu, terimakasih atas materinya, dan mohon maat telah membuat Kak Aslan bersusah payah mencari alamat kelas menulis sore itu. Hehe.. sampai jumpa di kelas selanjutnya.

Idham Malik

Tamalanrea, 30 Maret 2015




0 komentar:

Gravitasi Kata-Kata Aslan Abidin