semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Rakyat

Saat ini, bagi generasi muda, kata rakyat akan terdengar begitu rumit. Iya sering terdengar, namun terasa ada jarak, hingga rakyat menjadi demikian abstrak. Rakyat ada di sekeliling kita, di depan rumah kita, di dekat kampus, di kampung halaman kita, namun kita tidak mengerti apa sebenarnya persoalan dari rakyat ini, yang tentunya merupakan persoalan kita juga, yang termasuk rakyat Indonesia.

Rakyat menjadi hiasan bibir kita, yang terdengar prihatin, moral kita teriris ketika melihat warga desa disiksa oleh aparat, dibunuhi preman, atau mendengar jutaan warga terendam rumahnya oleh lumpur, namun hanya sebatas itu saja. Kita terenyuh, tapi tak tahu apa yang harus diperbuat. Karena tidak ada jalan keluar terhadap keprihatinan itu, kita sengaja melupakan, kembali ke kebiasaan lama. Kita mengerjakan kesibukan kita masing-masing, menjadi pekerja yang baik, agar posisi kita di tempat kerja tidak bergeser atau agar kita memperoleh kenaikan gaji.

Lantas, apa yang menyebabkan kita merasa tak mampu untuk berbuat sesuatu, kecuali menggerutu. Lantas, ketika kita memperoleh kekuasaan, juga akan bersikap sewenang-wenang terhadap bawahan kita? Tampaknya, kita tak tahu karena memang tidak tahu, atau tidak perlu tahu.

 
                           Foto : Faridz

Kita, generasi 2000-an, mulai lupa dengan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu generasi muda, yang sejak abad etis selalu diwakili oleh mahasiswa. Kelompok minoritas terdidik yang mengambil beban sebagai pemimpin rakyat, yang bertekad mengangkat derajat rakyat yang sepanjang zaman selalu tertindas oleh kekuatan kolonial, kekuatan feodal.

Mahasiswa sejak saat itu mendekati rakyat dengan strategi pendidikan, kursus, tulisan pamflet, media massa, dan pidato-pidato massa. Turun ke desa-desa, mengajak warga desa untuk berfikir kritis terhadap kondisi sosial ekonomi mereka, melatih pemuda-pemuda desa, tentang ilmu-ilmu humaniora, ilmu ekonomi, hingga ilmu eksakta. Model pendidikan rakyat seperti itu membuat rakyat merasa terlibat dalam pengelolaan negara. Suara-suara mereka didengar, dan mereka turut berjuang melalui sertikat petani, serikat nelayan, dan serikat warga miskin kota. Mereka pun mengerti tentang arti demokrasi, arti revolusi, mengerti tentang cita-cita keadilan sosial. Mereka menuntut pemerataan ekonomi, menuntut pembagian tanah, dan hingga turut berperan dalam mendukung kekuatan dunia baru, yaitu dunia non blok. Namun, model perjuangan yang menyatu dengan rakyat tersebut berhenti pas di puncak-puncaknya. ketika politik dan kebudayaan rakyat mulai menggelinjat, ketika forum rakyat berada di awan-awan pikiran, ketika tuntutan revolusi sosial kian membuncah.

Pendekatan langsung ke rakyat akhirnya dibungkam dengan kejam oleh satu versi kekuatan baru yang menganggap Teknik-teknik mobilisasi massa yang sarat dengan politik, atau demam politik dapat memancing konflik internal, dan membuat negara kita tak mampu fokus pada peningkatan ekonomi. Mahasiswa yang bergerak di desa-desa, bersama guru-guru desa, pejuang-pejuang serikat, diangkut dengan paksa, diintrogasi, dan akhirnya lenyap bersama ide-ide nation-nya.

Lalu, faksi moral yang lain, yang juga terdiri sebagian kecil mahasiswa, memanfaatkan metode lama, yaitu mobilisasi massa, khususnya mobilisasi massa mahasiswa itu sendiri, untuk pamer kekuatan di jalan-jalan, dengan tujuan merangsek orde lama lengser keprabon. Mereka diberi kesempatan oleh kekuatan baru, sebab harus ada satu kelompok sosial di masyarakat, yang mengambil peran atau representasi masyarakat sipil. Sedangkan, masyarakat sipil yang lain, yaitu kaum petani, nelayan, buruh, tidak boleh lagi bersentuhan dengan politik.

Untuk itu, mekanisme "massa mengambang" dikembangkan. Massa menjadi lebih fasif, massa diarahkan murni untuk proses pembangunan semata. Jika dia seorang petani, dia harus menjadi petani yang rajin, jika dia seorang petambak, dia hanya berurusan dengan budidaya ikan yang baik. Tidak ada lagi urusan, petambak yang memprotes karena adanya pabrik yang mencemari perairan sehingga pembudidaya mengalami kegagalan panen.

Untuk itu, pemerintah membentuk sistem yang ketat untuk pengontrolan rakyat, hingga ke desa-desa. Demam politik sebelumnya, diganti dengan demam kerja, yang dalam hal ini sesuai dengan visi golongan karya, yang mengharapkan warga negara menjalankan fungsi kemasyarakannya sesuai dengan profesinya masing-masing.

Maka, sejak saat itu, pikiran Ali Moertopo tentang massa mengambang betul-betul terwujudkan. Kerja-kerja partai politik yang asyik masyuk dengan rakyat pada periode sebelumnya, digantikan dengan kerja-kerja pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah, melalui pranata-pranatanya, seperti badan-badan departemen, pemerintah desa, dan badan penyuluh. Rakyat akhirnya menjadi objek yang disuluh, diterangi oleh pihak yang berwenang.

Dimana posisi mahasiswa saat itu? Mahasiswa masih menjadi perwakilan sipil, yang bisa melakukan protes kepada pemerintah. Makanya, mereka beberapa kali melakukan demonstrasi besar-besaran kepada pemerintah, karena protes terhadap arah gerak pembangunan yang berlandaskan pada modal asing, pemborosan dana negara untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), penggunaan dana negara yang tidak tepat pasca meledaknya bom minyak tahun 70-an. Namun, gerak mahasiswa ini murni gerakan moral, dan tidak bermaksud untuk melakukan perubahan sosial politik yang radikal. Mahasiswa masih terpisah dari massa rakyat yang di luar enklave mahasiswa.

Posisi sipil mahasiswa yang bersifat khusus ini pun mulai dianggap membahayakan pemerintah. Dan karena saking meresahkannya, yang diakibatkan suasana demokratis di kampus-kampus. Pemerintah akhirnya juga menerapkan konsep massa mengambang di universitas. Berlakulah konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) di universitas. Mahasiswa kembali ke kelas, mahasiswa kembali belajar. Dema (Dewan Mahasiswa) dihapuskan, mahasiswa betul-betul dinetralkan dengan aktivitas politik. Dan posisinya sebagai penjaga moral menjadi bablas, dan hanya menjadi penjaga ilmu saja.

Tapi, itu tidak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian, pasca aktivis kiri lepas dari kekangan Pulau Buru, beberapa orang diantaranya yang tergabung dalam Hasta Mitra, menerbitkan novel tetralogi pulau Buru Pramodya Ananta Toer. Novel ini segera menginspirasi para mahasiswa dan aktivis gerakan bawah tanah. Bumi Manusia hingga Rumah Kaca menjadi model pergerakan untuk memulai kembali penemuan terhadap metode organisasi massa, yang dilakoni oleh seorang pelajar individual bernama Minke-Tirto Adi Soeryo , yang tersiksa melihat penderitaan rakyat, dan menginisiasi terbentuknya Sarekat Priyayi, perkumpulan bagi kaum terperintah serta medan Priyayi, media massa yang mengakomodir kepentingan kaum priyayi atau pegawai pemerintah. Novel itu dibahas oleh kelompok-kelompok study club mahasiswa, dan dari situ, lahirlah satu generasi kritis yang mulai melakukan kembali pengorganisasian di masyarakat.

Sejak saat itu, mahasiswa memulai pendekatan yang terasa baru, tapi sebenarnya merupakan teknik lama, salah satunya yaitu inlive di desa-desa. Apalagi saat itu, terdapat permasalahan rakyat yang membutuhkan dukungan moral dan strategi dari mahasiswa aktivis bagi korban pembangunan bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah. Saat itu pula, bermunculan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan pendataan mengenai kondisi rakyat, sehingga diperoleh banyak informasi mengenai penderitaan rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Pers-pers nasional juga banyak mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, sehingga persoalan sosial ekonomi rakyat mulai menjadi wacana publik yang kerap didiskusikan secara intens. Akumulasi faktor-faktor sosial seperti itu, membuat para aktivis mulai bersentuhan langsung dengan warga, dan tampaknya mulai menimbulkan perlawanan sistematis terhadap pemerintah.

Gerakan tahun 80-an, yang banyak dimotori oleh aktivis mahasiswa itu berlanjut ke gerakan tahun 90-an. Tahun 1990-an lebih tajam lagi, karena lembaga-lembaga yang punya tujuan yang sama dan bergerak di tempat yang berbeda, mulai bersatu dalam bentuk partai, dalam hal ini Partai Rakyat Demokratik (PRD). Gerakan PRD dan beberapa organ pendamping para buruh pabrik, betul betul massif, dan mulai mengorganisir buruh-buruh pabrik di Jakarta dan sekitarnya untuk melakukan demonstrasi tuntutan kenaikan upah, cuti hamil, dan jam kerja, dan lain-lain. Beberapa aktivis keluar masuk penjara, diantaranya Dita Indah Sari, yang dalam setiap aksinya selalu berurusan dengan aparat keamanan.

Hingga akhirnya, pada pertengahan 90-an akhir, gerakan semakin meluas, dan massa rakyat yang kecewa pada pemerintah orde baru mulai keluar di jalan-jalan Jakarta saat pesta demokrasi pemilihan umum 1997. Mereka menunjukkan identitas “Mega-Bintang” sebagai simbol protes terhadap dominasi Golkar, meski pada dasarnya mereka tidak punya keterikatan secara ideologi dengan PDI maupun PPP. Apalagi saat pemerintah mengumumkan kemenangan Golkar 70 persen, yang ditengarai penuh dengan kecurangan, memancing para aktivis mahasiswa mengorganisir demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Memuncak pada tahun 1998, yang memperoleh momentum saat indonesia juga mengalami krisis ekonomi, yang tertular dari krisis ekonomi yang menimpa Thailand beberapa bulan sebelumnya.

Pasca reformasi, mahasiswa kembali ke kampus, meski sebagian mahasiswa masih bersentuhan dengan rakyat. Tapi, kondisi realitas sosial politik setelah reformasi cukup berbeda, sebab mahasiswa bukan lagi satu-satunya perwakilan sipil yang punya hak keistimewaan, seperti hak untuk bersuara dan berserikat. Suasana demokratis membuat orang ramai-ramai berkumpul dalam partai, meski tidak semua partai yang eksis, justru PRD yang konsisten membela rakyat kecil tidak bisa eksis sebagai partai. Namun, pada kenyataan, partai-partai yang terbentuk, masih terpengaruh oleh sistem “massa mengambang” yang dikembangkan selama 32 tahun oleh pemerintah orde baru. Dimana partai masih bersifat transaksional, tidak berjalannya pendidikan politik di tingkat rakyat, dan begitu kencangnya politik uang.

Di tahun 2000-an, di kampus sendiri, mahasiswa semakin disibukkan dengan urusan akademik, dengan bertambahnya tugas-tugas kuliah. Di Makassar, mulai diterapkan jam malam, mahasiswa yang biasa berdiskusi pada malam hari akhirnya dibatasi ruang geraknya untuk membicarakan persoalan rakyat. Mahasiswa diarahkan untuk aktif di UKM-UKM, seperti UKM catur, renang, sepak bola, dan lain-lain. Dosen pun mulai mengkritik mahasiswa yang aktif demonstrasi, karena dinilai tidak punya masa depan dan juga paling lambat sarjana. Sehingga, akibat dari demoralisasi aktivis kampus, menyebabkan menurunnya minat mahasiswa pada organ-organ kepemimpinan mahasiswa di kampus, serta organ – organ ekstra yang berbasis ideologi pergerakan. Dan akhirnya, ketika mahasiswa merancang aksi-aksi, dengan gampang pimpinan-pimpinan mereka dibungkam dengan makan malam bareng Presiden, ataupun dengan bagi-bagi nasi bungkus di tengah terik hari.

Akibat dari itu semua, mahasiswa mulai menjauh dari rakyat. Rakyat pun kembali menjadi massa mengambang, disodori program – program pemerintah yang lebih bersifat produktif. Mahasiswa jauh dari rakyat, menjadi lebih individualis, dan kembali menjadi intelektual pekerja, Kerja-kerja-kerja.

Dan, ketika mahasiswa melihat penderitaan rakyat, mahasiswa hanya bisa mengeluh, menggerutu.

Tamalanrea, 21 Agustus 2016
Terinspirasi dari Buku Unfinished Nation - Max Lane



0 komentar:

Rakyat