semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Apa yang Diinginkan?

Pada awal November, terjadilah aksi besar, melibatkan energi ummat untuk mengkerdilkan seorang yang berbeda dari kebanyakan. Landasannya, hanya karena dia tidak sama dengan kita, dia lain, dia berbeda. Memang, orang banyak selalu mengedepankan suasana hati, yang menuntut kesemiripan, kesetangkupan. Kita, dalam pilihan hidup, termasuk pemimpin, tak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek psikologis.
Lantaran berbeda, kita dihinggapi prasangka, menghantui nawa-nawa. Lantas, apa yang kita lakukan? Secara natural, kita melakukan deformasi, pengebirian, kita mengulek-ulek kesalahannya yang kecil, meniup-niupnya hingga membesar. Seakan-akan orang ini punya kesalahan yang dapat mengguncang paku-paku dunia.
Lalu, kita mencari yang sama, yang santun, yang bajik, yang dapat kita atur gaya bicaranya. Kita, sepertinya haus akan kelembutan, kita ingin dielus-elus, kita ingin dibisik-bisik dengan puisi, dengan cerita yang menyejukkan. Lagi - lagi, politik kita adalah politik unggah ungguh, politik sopan santun. Psike kita agak terusik jika pemimpin kita sedikit liar, sedikit kacau cara bicaranya.
Lantas apa lagi?
Kita ingin menegakkan kepemimpinan berbasis agama. Para teoritisi biasa menyebutnya dengan teokrasi. Kita ingin, dengan model seperti ini, Tuhan seakan-akan mengendalikan kita, Tuhan mengawasi kita lewat aturan, menubuh dalam tindakan. Hukum kita, yang sudah repot-repot kita susun dengan waktu yang panjang dan melibatkan banyak otak, akhirnya harus tunduk pada hukum yang dibukukan ratusan tahun yang lalu, yang isinya berupa hikmah untuk menjadi manusia yang luhur.
Dalam kitab-kitab, kita mendapatkan informasi bahwa kepemimpinan teokrasi haruslah dipimpin oleh manusia yang ditunjuk secara langsung oleh Tuhan itu sendiri, bukan oleh sekelompok manusia, yang kapasitasnya dalam menentukan pemimpin kadang diragukan.
Seperti Musa, yang memimpin ummatnya keluar dari Mesir, yang keputusannya berasal dari insight yang diperolehnya di Puncak Sinai. Musa, dikisahkan dipilih bukan oleh ummatnya serta merta, tapi memang sudah mendapat cap dari Tuhan, untuk membimbing ummat Yahudi. Dia juga diberi kelebihan dari orang lain, agar orang lain tunduk kepadanya, percaya kepadanya.

                     foto : istimewa

Tapi, seorang Musa ini tidak lahir dari proses deal-deal politik. Dia adalah pemimpin alamiah, yang memang memiliki bakat yang boleh dikata sempurna. Menurut Philon (pemikir Yahudi di awal-awal) seorang pemimpin teokrasi dituntut untuk memiliki sifat raja (kewibawaan), memiliki kemampuan legislatif (membuat hukum), memiliki sifat kependetaan, serta memiliki sifat kenabian. Seorang pemimpin adalah seorang par exellence. Par exellence - nya pun ditambah dengan arahan langsung dari Tuhan.
Apakah teokrasi yang diinginkan?
Jika ya, maka, apakah tipikal pemimpin seperti itu sudah tersedia? Apakah kita dapat menjamin bahwa pemimpin itu memperoleh panduan langsung dari Tuhan? Apakah kita dapat menjamin bahwa pemimpin ini adalah hasil didikan yang ketat, dan betul - betul telah memahami agama secara meluas dan mendalam?
Jika tidak, maka kita terima saja mekanisme demokrasi, dimana dalam demokrasi, kita berharap bahwa calon pemimpin yang muncul di permukaan adalah sosok - sosok yang terbaik dari berbagai golongan. Sosok-sosok ini bertarung dari segi konsep, metode atau program kerja. Sosok - sosok ini tidak menonjolkan identitasnya, tapi menonjolkan kinerjanya yang betul-betul diperuntukkan untuk masyarakat.




0 komentar:

Apa yang Diinginkan?