semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Terimakasih Sudah Datang Pak Slamet

Slamet Subyakto datang ke Pinrang, tanpa disangka-sangka. Rabu pagi, 10 Juli 2019, dengan sedikit cemas, Saya memperoleh Informasi bahwa Dirjen perikanan budidaya itu hendak mengunjungi lokasi program WWF-Indonesia, yang kebetulan berdekatan dengan lokasi peresmian kawasan budidaya ikan kakap putih, yang menjadi agenda utamanya.
Begitu gembiranya, Pak Dirjen Perikanan yang sebelumnya begitu tak tersentuh, ujuk-ujuk ada di Pinrang, di lokasi dampingan lagi. Bagaimana tidak, sebelum-sebelumnya, selama berbulan-bulan, kami korespondensi dengan staff KKP untuk meminta statement langsung Pak Dirjen mengenai EAA (Ecosistem Approach to Aquaculture) yang sedang kami buat video dokumenternya, khusus untuk pengelolaan kawasan budidaya udang windu di Pinrang, namun seperti tak menemukan jalan, dengan alasan Pak Dirjen masih sibuk.
Saya bergerak ke Pinrang bersama Muhammad Mansyawi Ridwan yang mengatur laju mobilnya hingga kecepatan 130 km/jam. Tiba di sana, Alhamdulillah, Saya masih sempat menyaksikan Pak Slamet memberi sambutan. Selesai acara, Pak Slamet bergerak ke tambak, yang jaraknya sekitar 300 meter dari pusat acara. Saya pun langsung menyambangi, dan memperkenalkan diri sebagai staff akuakultur WWF-Indonesia.
Setiap tak ada yang ajak bicara, Saya memberanikan diri untuk ngobrol dengan Pak Slamet. Dia menanyakan, apa masalah budidaya di sini? Saya menjelaskan bahwa kendalanya adalah sedimentasi muara sungai, yang mengakibatkan kualitas air rendah, dan menyebabkan sekitar 200 hektar tambak kembali menjadi sawah.
Saya menjelaskan bahwa kami telah menanam mangrove di area tersebut, di sepanjang saluran air tambak. Namun, masih terdapat beragam ancaman, salah satunya adalah aktivitas pengerukan saluran yang tidak perlu, yang rutin dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Dia pun menyimak, namun belum menyampaikan pendapatnya terkait itu. Saya berfikir, Minimal dia tahu, bahwa gerakan lingkungan sudah bergerak di Pinrang. Meski masih banyak yang tak peduli persoalan lingkungan sekitar tambak.
Selepas dari Pallameang, kami bergerak ke Lanrisang untuk melihat hasil pembesaran ikan kakap putih bantuan pemerintah, melalui Balai Budidaya Air Laut (BBAL) Ambon dan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Pak Slamet sumringah melihat ikan kakap tumbuh dengan sehat di tambak tradisional, dengan berat 300-400 gram/ekor.
Dia pun wawancara singkat dengan petambak yang bernama Waris. Berapa harga ukuran segitu? Waris menjawab, Rp. 35.000/ekor Pak. Wah, mahal yah, Kata Slamet. Pasarnya dimana? Di Pinrang saja Pak. Wow..
Ia pun sedikit heran, karena Waris dapat menggabung atau polikultur antara udang windu dan ikan kakap. Sebab, di tempat lain sudah sulit ditemukan pertemuan antara kakap dan udang. Bahkan di tambak-tambak Kalimantan Timur, ikan kakap liar menjadi musuh utama udang windu. Makanya, ada istilah dari Kak Asdar Marsuki, bahwa ikan kakap adalah ikan mahal, karena makanannya udang windu.. 
Waris menebar benur terlebih dahulu, setelah berukuran agak besar, baru ia tebar benih kakap. "Udang windu dan kakap agak cocok. Sebab windu hidupnya di dasar, sedang kakap di kolom air. Kalau vanamei, sama-sama di kolom air, jadi tidak cocok," Kata Waris.
Selain itu, Ikan kakap dapat hidup di kisaran air yang tak terlalu asin, sehingga dapat dipelihara saat musim hujan, ketika udang windu sulit berhasil, dan rentan terhadap penyakit bintik putih dan vibrio. Baiknya lagi, karena ikan kakap dapat memakan mujair yang merupakan hama dari udang, dan tentu dapat memutus rantai penyakit alami udang di dalam tambak. Nah, ketika musim baik untuk budidaya udang windu, petambak dapat kembali optimal budidaya udang windu. Sehingga, terdapat pergiliran komoditas budidaya, dimana hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat pembudidaya.
Di lapangan, Pak Slamet tidak sok tahu, ia malah lebih banyak mendengar pendapat para petambak. Ia tampak betul-betul menyimak apa keluhan dari masyarakat dan apa solusi yang tepat untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Kami pun sempat mengambil video statementnya mengenai pengelolaan akuakultur berwawasan lingkungan. Secara personal, beliau tampak sudah paham betul konsep perikanan berkelanjutan.
Saat Saya ajak ngobrol tentang kualitas benur yang menurun akibat persoalan kualitas air dan penyakit turunan dari induk udang. Ia pun menjelaskan bahwa kondisi induk di Aceh saat ini sudah tak bebas lagi dari penyakit WSSV (White Spot Syndrom Virus). Bahkan di kerang sudah ada menempel virus WSSV. Pak Slamet juga mengingatkan untuk tidak lagi menggunakan induk vanamei yang dipelihara di tambak, sebab dapat menyebabkan munculnya penyakit EMS (Early Mortality Syndrom). Sementara praktek penggunaan udang vannamei hasil pembesaran tambak untuk induk udang pernah marak di Sulawesi Selatan.
Senang betul diskusi dengan Pak Slamet, namun waktu begitu singkat, dan begitu padat acaranya. Semoga selalu sehat Pak. Jangan jenuh memikirkan solusi untuk perbaikan nasib petambak-petambak kita. Jangan pernah menyerah melawan pihak-pihak yang hanya mengambil untung sendiri dan merugikan pihak-pihak lain.
Dan, tampaknya, sudah begitu banyak kebijakan pemerintah yang baik, namun selalu terasa belum optimal. Tentu, mendiskusikan hal tu, tidak cukup di kolom dinding facebook, butuh bergelas-gelas kopi dan ngobrol ngolor ngidul di warkop untuk mengurai satu-persatu persoalan perikanan budidaya Indonesia.
So, Terimakasih Pak Slamet sudah datang ke Pinrang, terimakasih telah mendukung perbaikan ekonomi petambak tradisional, dan telah menjadi penyemangat bagi kami untuk selalu bergerak dan berbuat.






0 komentar:

Terimakasih Sudah Datang Pak Slamet