semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hewan

Sudah seminggu kita melalui sebuah momen, dan hari ini kita menemukan momen baru lagi. Antara Idul Qurban dan Hari Kemerdekaan RI adalah dua momen yang berbeda, tapi dapat kita memperoleh irisan dari keduanya, yaitu di hari kemerdekaan itu, merupakan hari memperingati begitu banyak korban perang revolusi, antara rakyat Indonesia sendiri, tentara Jepang, dan serdadu Belanda.
Namun, rasa-rasanya, saat-saat ini kita begitu mudah meloncat-loncat dari satu momen ke momen lain. Kita ini ibaratnya kereta yang melaju terus, melewati stasiun sepintas-sepintas saja. momentum ibarat sebuah cafee, pagi hari kita minum jus di cafee ini, siangnya kita menyeruput kopi di cafee itu, sorenya kita berleyeh-leyeh lagi di warkop yang lain.
Apakah rasa buru-buru, kejar-mengejar ini adalah turunan dari watak nenek moyang kita? Yang meski hanya berkutat dalam satu lingkaran hutan, kehidupan sehari-harinya di isi dengan berburu hewan.
Hewan, yang diburu sekaligus yang dihormati. Dahulu, nenek moyang kita menangis tersedu-sedu di samping korban hewan buruannya, megusap darah buruannya itu ke mukanya sebagai bentuk duka dan rasa syukur, bahwa hidup dapat terus berlanjut akibat masih adanya hewan-hewan. Hingga kini, masih ada hal-hal seperti itu, meski dalam bentuk lain, nelayan-nelayan melakukan upacara doa untuk sesembahan kepada laut, manusia sekitar hutan memberi persembahan kepada pohon-pohon keramat dalam hutan, sebagai bentuk rasa syukur, masih melimpahnya hasil laut dan hutan.
Dan kini, di Idul Qurban kita memperingati hari rasa syukur, dengan peristiwa keikhlasan Ibrahim merelakan anaknya, Ismail untuk disembelih, karena itu merupakan permintaan Tuhan. Tiba-tiba, Ismail diganti menjadi hewan ternak. Maka, peristiwa itu, yang awalnya hanyalah peristiwa kecintaan individu kepada Penguasa Langit, pun melewati tikungan sejarah menjadi peristiwa sosial, dimana terdapat agenda sosial untuk bagi-bagi daging kurban.
Kita pun tahu, bahwa setting sejarah Ibrahim, maupun Muhammad, adalah setting masa panjang agrikultur. Masa dimana manusia mengganti aktivitas berburu menjadi beternak, baik hewan maupun tumbuhan. Masa panjang itu, adalah masa pembiakan hewan-hewan ternak, dan berkurangnya secara drastis hewan-hewan liar. Hewan-hewan yang telah terkurung dalam kisah-kisah Walt Disney itu, harimau dengan sheera khan, serigala dan putri bertudung. Berapa lagi harimau dan srigala tersisa di dunia ini. Mungkin, yang mengerti hanya pihak-pihak tertentu saja, seperti LSM, WWF misalnya. Kita, pada umumnya tak tahu.
Bahkan, dalam kisah-kisah agama/bibel, pemburuh hewan pun kalah dari pembiak tanaman. Kain membunuh Habil karena cemburu, Tuhan lebih menerima sesembahan hewan buruan Habil, dibanding hasil-hasil pertanian Kain yang sudah sedikit busuk. Menurut Yuval Noah Harari, cerita ini merupakan ekstrak cerita peralihan antara zaman berburu dengan zaman bertani. Para petani berhasil mengukuhkan kekuatannya atas para pemburu. Pemburu tersingkir di pinggir, dan para petani mengambil peran dalam mengelola alam.
Pun, dalam kehidupan agraris kita, kisah-kisah percakapan antara manusia dan hewan begitu ringkas dan sepotong-sepotong. Salah satu yang menarik diantaranya yaitu Kisah percakapan antara Hawa/Eva dengan ular, dan dalam kisah itu, ular berhasil menguasai pikiran hawa untuk memetik buah terlarang. Padahal, Tuhan sudah mengarahkan ke Adam dan pasangannya untuk tidak terus menerus mengumpulkan buah-buahan, dan lebih "makanlah roti dengan keringat sikumu".
Metafora ini kembali merenggut imajinasi kita, bahwa Tuhan yang kita kenal belakangan ini sangat dekat dengan semangat agrikultur, bahkan boleh dikata reformulasi Tuhan yang mula-mula bersifat natural dan domestik (Tuhan berburu dan pengumpul), menjadi tuhan yang berjumlah sedikit dan kian lama menjadi kian abstrak, hingga hanya satu Tuhan yang bersifat universal. Tuhan universal ini hidup di masyarakat kolektif yang berjumlah besar, sudah menetap, memiliki sistem kemasyarakatan yang kompleks, dan mengerucut hingga ke puncak kepemimpinan.
Pada masa bertani dan beternak inilah kita pun menjadi tuan-tuan kecil, yang menguasai begitu luas kehidupan tumbuhan dan hewan, khususnya mahluk yang dapat dijinakkan. Kita merekayasa, mempercepat dan memperbanyak laju produksi tumbuhan dan hewan. Kita memilih-milih hewan, yang menjadi teman dan juga calon korban kita. Kita pun tahu, bahwa kini ayam, kambing, babi, dan sapi, menjadi hewan-hewan yang masuk daftar atas dalam jumlah populasi. Dibanding harimau, gajah, badak, yang berada di ambang batas
Kisah-kisah bibel maupun Alquran begitu dekat dengan kehidupan peternak. Banyak nabi yang masa kecilnya adalah penggembala ternak. Bahkan, di agama Islam, lantaran begitu dekatnya dengan kehidupan hewan ternak, sudah mengeleminasi terlebih dahulu. Babi menjadi korban awal Agama Islam untuk tidak disentuh apalagi dimakan. Bisa saja, jika Islam tidak melarang makan babi, maka jumlah ummat Islam yang lebih dari 1,8 miliar ini turut memelihara babi. Dan babi akan mendominasi dunia peternakan. Kita bisa bayangkan jika rumah-rumah penduduk dunia disesaki oleh hewan ternak babi?
Pada Idul Kurban itulah kita menyembelih sapi, sebagai salah satu syarat wajib bagi ummat Islam yang mampu. Sapi, sudah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dengan begitu, sapi tak protes, dan kita pun jarang menolak. Bahkan, semakin banyak yang disembelih, dan semakin banyak pula sapi yang akan dipelihara.
Tuhan pun mengganti kepala Ismail menjadi hewan ternak. Hewan yang di bawah kendali manusia. Kekerasan disalurkan di sana. Darah mengucur. Sebagian dari kita, tersegarkan. Genetika nenek moyang kita yang membunuh hewan buas mencuat kembali.
Namun, apakah ini membantu mengurangi nafsu kita akan kekuasaan dan tentu kekerasan? Nampaknya belum tentu. Mungkin kita akan senasib dengan Hawa, yang tak tahan godaan ular. Ataukah betul bahwa, manusia pada dasarnya adalah hewan juga, yang hanya diselimuti oleh berlapis-lapis makna. Sebagaimana Hawa yang dalam variasi bahasa Semit juga berarti ular atau ular betina.






0 komentar:

Hewan