semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Petambak Lanrisang

Dalam lima tahun terakhir ini, dan mungkin juga tahun-tahun sebelumnya, Kab. Pinrang selalu menjadi sorotan, dalam hal kemampuannya mempertahankan budidaya udang windu.
Memang terjadi banyak permasalahan, yang kian tahun kian mengancam, mulai dari soal iklim dan cuaca, manajemen budidaya, kualitas lingkungan perairan, hingga kuantitas dan kualitas benur. Tak membuat Kabupaten Pinrang menyerah dan lepas kendali.
Apalagi, terdapat beberapa petambak yang konsisten mengembangkan praktek budidaya udang windu yang baik, salah satunya yaitu Waris Anugrah. Bapak yang mengelola 4 petak tambak milik keluarganya, serta mengelola 9 petak kecil untuk penggelondongan udang windu, hingga kini masih menikmati hasil yang baik dari budidaya udang windu. Waris mengaku dapat memperoleh udang sebanyak 800 kilogram untuk total penebaran 80.000 benur atau dapat memperoleh tingkat daya hidup sebesar 30 persen. Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan produksi udang petambak-petambak lain, yang produksi rata-rata hanya 5-10 persen dari total penebaran. Apa yang membuatnya berbeda?
Kita dapat menelusuri dari ekosistem tempat Waris mengelola udang, di samping kemampuan individualnya. Waris tinggal dan bertambak di Lanrisang, yang sejak tahun 2015 menjadi lokasi pengembangan ecoshrimp, yang diinisiasi oleh DKP Pinrang bersama ATINA, perusahaan udang. Ecoshrimp mengedepankan praktek yang meminimalisir bahan-bahan kimia, dan melarang penggunaan pestisida kimiawi. bahkan, dalam praktek ecoshrimp tidak diperbolehkan menggunakan pakan buatan. Timbal baliknya, ATINA akan membeli dengan harga yang baik, dan baiknya lagi, turut membeli udang yang berukuran kecil, yaitu hingga ukuran 100 ekor/kilogram atau udang berukuran 10 gram/ekor.
Lewat Ecoshrimp ini, yang kemudian disingkronkan dengan program Sekolah Lapang Phronima, para petambak Lanrisang menjadi sering bertemu dan berdiskusi. Inovasi-inovasi yang dikembangkan secara perorangan, dan didukung oleh para konsultan perusahaan maupun LSM, seperti yang dikembangkan oleh Bapak Syarifuddin Zain, dapat tersebar dan diimplementasikan oleh petambak lain. Syarifuddin mengembangkan pakan Barakka 557 (untuk ikan dan udang), serta pupuk organik berbahan lokal yang diujicobanya sendiri, hingga dalam praktek budidaya ia bisa memperoleh udang sebanyak 300 kilogram untuk penebaran 25.000 benur.
Inovasi Syarifuddin ini turut dikembangkan lagi oleh Waris, yang terus menerus melakukan ujicoba serta melakukan kombinasi dengan pakan alami berupa Phronima atau melihat reaksinya terhadap Phronima. Waris pun dapat bergerak sejauh itu, juga lantaran dukungan pemerintah, yang memberi kewenangan baginya untuk ujicoba melalui tambak demplot (demonstrasi plot), khususnya untuk pengembangan bank phronima (pakan alami udang windu khas Pinrang).
Pertemuan yang intens, dukungan sarana prasarana dari pemerintah, dukungan pasar, membuat putaran informasi semakin kuat. Waris pun mempraktekkan pengembangan nila bersama windu dan kakap putih bersama windu. Ia ingin melihat, sejauh mana kedua komoditas tersebut dapat hidup bersama, serta dengan kuantitas seperti apa? Menurutnya, penebaran nila maupun kakap putih, dapat memutus rantai penyakit pada udang windu. Selain itu, harga nila juga sudah bagus, ikan nila dapat dinilai seharga Rp. 40.000/kilogram.
Apa yang berbeda dari Waris dan Syarifuddin, pertama kedua orang ini adalah orang yang pikirannya terbuka dan bersedia menerima dan menerapkan informasi baru. Kedua-duanya adalah orang yang terdidik dan memiliki ruang sosial yang luas. Syarifuddin bahkan pernah menjadi pengurus partai Golkar, sedangkan Waris juga bekerja di Dinas Kesehatan Kec. Lanrisang, sebagai supir ambulans. Kedua-duanya pun selalu dilibatkan dalam setiap pertemuan level kecamatan serta pertemuan di kantor dinas, sehingga dapat langsung menerima masukan dari beragam stakeholder yang datang ke Pinrang.
Sedangkan, daerah-daerah lain, tak dapat mengejar ketertinggalan mereka, juga disebabkan oleh banyak hal. Hal pertama, mereka bukan dari golongan yang terdidik dengan baik (pendidikan formal) dan kurangya tokoh masyarakat, kurangnya intensitas pertemuan di daerah tersebut di samping ketika ada pertemuan petambak kurang termotivasi untuk mengikuti pertemuan/kurangnya kepercayaan masyarakat, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung dalam bentuk bantuan/yang dapat mendorong petambak tradisional termotivasi. Juga disebabkan bahwa pada daerah tersebut rata-rata pemilik tambak adalah para ponggawa yang memiliki lahan luas dengan tambak yang dikelola oleh mitra kerja tambak yang tidak terdidik, dan para ponggawa menerapkan konsep minimalis, yaitu minim perhatian dan biaya, dapat disamakan dengan pratek subsisten secara ekonomi.
Jadi, kesimpulannya, lain lumbung lain belalang, kemampuan bertahan dan berkembang sangat ditentukan oleh faktor-faktor struktur sosial ekonomi masyarakat masing-masing.
**
Keterangan foto
1. Waris
2. Syarifuddin








0 komentar:

Petambak Lanrisang