semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Cerita Haji Lawang (1), tentang Orang-Orang Sulawesi

 

Siang itu, Selasa, 31 Oktober 2023, saya duduk-duduk di Kantor Desa Baranusa, Pantar Barat. Sedang menunggu para nelayan yang hendak dibantu untuk mengurus dokumen Pas Kecil. Nelayan pertama datang, bapak tua dengan cambang lebat berwarna putih, dengan rambut tertutup topi ‘seniman’ coklat. Saya yang duduk agak jauh, mulai mendekat, membawa serta kopi yang telah disediakan.
 
Melihat janggut dan perawakan luhurnya, saya pun bertanya, Bapak asal suku mana? Nelayan yang bernama Haji Lawang itu menjawab kalau ia dari Lakatuli, yang asalnya dari Pantar Timur atau Blegar. Katanya, sukunya masuk dalam kelompok suku Haluweka atau kelompok suku pendatang, bersama dengan Moluku Tosiwo, Makassar, Wutung Lelang (Buton), Wutung Ruma dan beberapa lagi, yang jumlah totalnya berjumlah 12 rumah suku. Suku Lakatuli juga banyak tersebar di Alor Besar, Alor Kecil, hingga Dulolong, sampai merujuk ke rumah adat utama bernama Bampa’ Lola, yang berada di dekat bukit Hulnani. Hal itu ia ketahui setelah lama menjadi fasilitator pertanian di Alor Besar dan Dulolong pada tahun 1980-an.
 
Dari pertanyaan itu, Haji Lawang menjelaskan ke saya satu persatu rumah suku yang bermukim di Baranusa, mulai dari yang memiliki kompetensi adat dalam urusan pesta nikah hingga urusan agama. Saya tak dapat mengingatnya satu-satu. Suasana terik membuat otak keram untuk mengingat istilah-istilah baru, meski ada beberapa yang familiar, seperti Uma Kakang, Moluku dan Sandiata.
 
Secara cepat, otakku mulai menerjemahkan, jika Uma Kakang barangkali suku yang dipertuakan, yang terlebih dahulu, kemudian Moluku ini adalah kelompok pendatang di jaman dulu, abad ke 16 membawa syiar Islam, salah satu eksponennya yaitu Mohtar Likur yang membawa alquran tua, alat khitan dan timbangan untuk mendeteksi air dalam tanah, Alquran itu masih ada, tapi sangat jarang orang melihatnya, kecuali keluarga dekat. Salah satu orang yang pernah melihat yaitu Ridwan Likur teman dan juga senior di Jurusan Perikanan Unhas. Kata dia, alquran itu saat ini disimpan oleh pamannya yang bernama Shidiq Likur, yang juga masih tinggal di Baranusa.
 
Sedangkan Sandiata merupakan keturunan dari pengungsi bencana tsunami di Pulau Lapang Batang jaman dahulu kala, dengan tahun tak jelas dan menjadi legenda. Sandiata ini katanya orang-orang yang selamat diantara orang-orang lain yang tak selamat dan direnggut laut, kemudian menjelma buaya. Sebagian eksodus lain dari warga Lapang Batang yang bersuku Krokopukong ini juga terdampar di sebuah pulau besar bagian barat, saat ini disebut Lembata. Menurut Syamsudin La’ara, sekretaris dewan adat Baranusa, Lembata berasal dari kata Lepang dan Batang.
 
Sebelum lanjut lebih jauh dan tenggelam dalam perbincangan, Haji Lawang mengatakan tentang Haji dalam namanya, itu bukanlah Haji sebagai gelar karena telah ke Kabbah, tapi lebih karena ilham yang diperoleh ayahnya semalam sebelum dia lahir. Tiba-tiba ayahnya bermimpi, ia sholat subuh di masjid, saat ia mengucapkan salam, ada yang menyahut di belakangnya, walaikumsalam. Nama makmum itu adalah Haji Said. Ayahnya pun hanya mengambil hajinya saja, sedangkan Said diurungkan, sebab orang Kristen saat itu di Blegar tidak dapat menyebutkan dengan fasih kata Said, jadinya Sangit, nanti seperti walangsangit. Hehehe.. Sedangkan kata Lawang sendiri dalam bahasa lokal berarti ‘pagar’, kalau dalam bahasa Jawa disebut pintu, seperti istilah Lawang Sewu. Kata Lawang sendiri sebenarnya identik dengan nada Makassar, seperti Nawang, atau sebutan logat Makassar, lawan jadi Lawang.
 
Dari sekian suku-suku itu, mula-mula saya menanyakan tentang suku Makassar. Sebab, setahuku, Orang Makassar terbilang berpengaruh juga di Alor Pantar, mungkin saja juga punya pengaruh di Baranusa. Sehari sebelumnya saya sempat diskusi dengan Bapak Kadir Mahmud, salah seorang dewat adat Baranusa. Katanya orang-orang Makassar di Baranusa dulu itu adalah pendekar. Bahkan salah satu keturunannya, yaitu Sekretaris Dewan Adat yang cukup dihormati, Samsudin La’ara, itu juga ada Makassar dalam darahnya.
 
Haji Lawang menyebutkan nama-nama Makassar yang ia tahu, katanya ada beberapa marga Makassar, yaitu Daeng Karimung, Daeng Makka, Daeng Ukka, Daeng Sakka, dan Daeng Baddo. Sedangkan La’ara dan Laudu itu dari Bonerate, mungkin dari salah satu pulau di Selayar, Takabonerate. Ia pun bilang kalau nenek perempuannya juga berdarah Bugis, yang berasal dari keturunan Labaroci asal Wajo di Alor Kecil. "Di sana ada Umra Dg Lanusu, ada rumah Makassar, kemudi kapal yang ditumpangi Labaroci tahun 1668 itu masih terpasang di dekat tangga rumah panggung. Di sana masih tersimpan badik," kata Haji Lawang.
Tentang pendekar, Haji Lawang mengakui, khususnya salah satu yang dia kenal baik, yaitu Daeng Karimung. “Dulu saya sering main ke rumahnya yang berbentuk rumah panggung. Ayah saya juga belajar dari Daeng Karimung,” ujarnya. Waktu saya kecil, di tahun 70-an dia sudah tidak berdaya, jika hendak bangun dari tempat tidur dia harus memegang tali. Tapi, di tahun 30-an dia memiliki banyak murid.
“Dari sekian banyak muridnya itu, ada satu yang dia larang untuk bertarung, namanya Bilang Bao,” kata Haji Lawang. Pukulan muridnya itu sangat berbahaya, terlalu kuat dan dapat membuat mati orang lain. Muridnya yang lain, bernama Sombo Alor, jika ia pasang perutnya untuk dipukul, dapat menahan hingga demikian banyak orang. Sedangkan Kasam Sira, jangan harap menang jika lawan salah jurus, tangannya bisa masuk.
 
Saya menanyakan, apakah Daeng Karimung tadi memang berasal dari Baranusa ataukah ia adalah pendatang? Haji Lawang menjawab, ia orang Makassar belakangan, Baranusa sendiri sebelumnya telah pindah dua kali, kampung pertama di Pulau Qura, kampung kedua yaitu Piringsina, saat ini masih didiami, lalu terakhir di Kawasan teluk yang bernama Baranusa saat ini. Daeng Karimung datang ke Baranusa karena lari dari kampungnya setelah adanya perkara di sana. Daeng Karimung juga memiliki anak, yang dengar-dengar juga telah mewarisi ilmu silat ayahnya, saat ini dia bermukim di Rote.
 
Sedangkan terdapat pula seorang pendekar dari Sumbawa yang ia kenal, namanya Askari bin Syamsuri. Dia datang ke Baranusa bukan karena berkasus, tapi datang untuk mengebom ikan. Lantaran itu tangannya putus, dan akhirnya menetap di Baranusa. Askari jago silat, tapi sayang tangan buntung. Tapi, dia suka bercanda dengan tenaga dalamnya. Suatu ketika, dia duduk di bawah sebuah pohon di pinggir bukit menghadap ke pantai. Dilihatnya perahu layar yang dikendalikan oleh orang Binongko, dia gerakkan tangannya sedikit, layar perahu itu pun putus.
 
Di Baranusa dulu, memang diajarkan ilmu silat dan tenaga dalam berbasis Islam. Contohnya Silat Tauhid Indonesia. “Mereka memukul di tempat kosong, tubuhnya bakal terpantul ke belakang,” ujar Haji Lawang. Katanya terdapat jurus Hamini, dengan sebutan jurus Alif, Ba, Ta, Nun, dan Lam Alif. “Jurus Alif dan Lam Alif dilarang menyerang sesama muslim, karena dapat menyebabkan kematian. Lam Alif bisa menghancurkan buah pelir,” tambahnya. Sedangkan jurus Mim dan Haa, itu dapat membuat orang berputar-putar tak henti.
 
Tentang kemampuan silat orang Makassar, dia punya pengalaman tersendiri. Sewaktu muda, Haji Lawang pernah bekerja sebagai nelayan di bagang tancap di Timor Timur. Seorang teman sesama nelayan bernama Daeng Jarung yang asal Maros dengan mudahnya membuat cincin dari kawat tembak ikan, hanya ia gelung dengan menggunakan tangannya. “Saya coba memiringkan kawat itu, tapi tidak bisa. Saya berfikir, kalau teman saya pasti punya ilmu,” kata Haji Lawang. Lalu, Haji Lawang memohon ke Daeng Jarung untuk diajar pencat silat, tapi Daeng Jarung tak menggubris. Lalu Haji Lawang mengeluarkan jurus di depan Daeng Jarung, eh tiba-tiba nelayan itu terpancing dan berdiri menanggapi. “Oe Cambang, kau buat apa itu?” kata Daeng Jarung ditirukan oleh Haji Lawang.
 
Orang asal Sulawesi lain yang ia tahu kiprahnya yaitu Abdurrahim Daeng Matorang. Dia ini datang ke Baranusa untuk menguatkan cabang Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Alor pada tahun 30-an. “Rumahku dulu sewaktu masih di Kampung Lama, Qura adalah sekretariat Ranting PSII,” aku Haji Lawang. Sebenarnya Daeng Matorang asal Luwuk Banggai, dia ditugaskan oleh Tajuddin Noor, pimpinan PSI Makassar untuk ke Alor, setelah permintaan seorang kader asal Dulolong yang nekat ke Makassar minta arahan, yaitu Haji Dasing. Haji Lawang mendengar, dulu Daeng Matorang dengan terang-terangan mengibarkan bendera Indonesia di Baranusa. Karena itu, partai ini selalu menang pemilu sekian puluh tahun silam, sebelum PSII dilebur jadi satu dalam satu payung partai Islam, yaitu PPP (Partai Persatuan dan Pembangunan).
 
Lalu, pada mula-mula Baranusa, masih di kampung lama, Haji Lawang berbicara tentang tokoh Islam Baranusa, namanya Taiawa, dari suku Moluko Tosiwo. Orang ini katanya, jika malam jumat, sholat subuhnya di Mekkah, sholat jumatnya sudah di Baranusa. Suatu ketika di Masjidil Haram, datang seorang Binongko, Sulawesi, membuka songkok saat mengambil air wudhu. Diam-diam orang Baranusa ini mengambil songkoknya masuk ke dalam masjid. Cerita berlanjut, mereka kembali ke tempat masing-masing. Ketika pulang ke Sulawesi, ulama Sulawesi itu kaget, songkoknya tertukar. Ia pun mencari songkoknya hingga ke Baranusa hanya dengan perahu layar. Di lepas laut di belakang Pulau Lapang Batang, ia melihat Cahaya di dalam teluk (saat itu belum ada listrik), maka masuklah ia ke pantai Baranusa. Taiawa sengaja menemuinya di pelabuhan, setelah dia dicari sekian lama. Mereka pun bertemu dengan saling menyapa salam, Ulama Sulawesi bilang, “Saya mencarimu sudah satu bulan”, Taiawa menjawab, “Ya, supaya kamu tahu, bukan kamu saja yang hebat, saya juga”.
 
Haji Lawang dalam perbincangan panjang melebar ke sana kemari pun menyinggung tentang asal usul Baso pada nama raja-raja Baranusa. Menurutnya kata Baso itu adalah gelar dan bukan marga, saat itu Koliamang berkunjung ke Makassar setelah mendapat undangan Open Baar atau semacam pertemuan antar raja-raja. Di sana dia diberi gelar Baso. Saya pun bilang ke Haji Lawang, kalau sebutan baso biasanya ditujukan ke bangsawan di Bugis, Baso artinya anak laki-laki, serapan dari kata Aco, yang juga berarti kelamin laki-laki. Jadilah Koliamang Mawolang berganti nama menjadi Koliamang Baso (1889-1926). Tapi, hal ini perlu diklarifikasi kembali, sebab dua generasi di atasnya juga bernama Baso, yaitu Maja Aku Baso (1872) dan Baso Aku (1814-1972). Sedangkan salah satu marga di Suku Makassar, yaitu Daeng Ukka, juga kerunan-keturunannya menyertakan Baso dan Raja Baso di belakang nama mereka.
 
Saat ini rumah raja Baranusa masih berpenghuni, hanya saja adik keturunan raja terakhir, yaitu Mangkup Baso sedang berada di Kupang, raja terakhir sendiri bernama Abusalim Baso, kakak dari Mangkup Baso, telah meninggal pada 2016. “Yang terbilang cerdas dari mereka yaitu ayah mereka, yaitu Makka Koliamang Baso,” ujar Haji Lawang. Sayangnya, belum ada penjelasan seperti apa kecerdasan Mangka Koliamang Baso itu. Pada masa Makka Koliamang Baso (1926-1979) inilah terjadi peralihan kekuasaan ke tangan belanda, semua status Kerajaan saat itu dihapuskan, termasuk Kerajaan Bunga Bali dan Kerajaan Pandai. Hanya satu kerajaan yang diakui, yaitu Kerajaan Alor di bawah kepemimpinan AB Nampira di Kalabahi, mewarisi kepemimpinan sebelumnya dari Mardjuki Bala Nampira dan Nampira Bukang.
 
Demikian cerita Haji Lawang yang panjang ini, tentang hal-hal yang berkaitan dengan Makassar dan Sulawesi. Tentu, masih banyak cerita-cerita lainnya, seperti sejarah Baranusa itu sendiri, yang masih berhubungan dengan Pandai dan Munaseli, kisah-kisah Baranusa yang bercampur antara sejarah dan legenda, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Baranusa, yang mungkin menentukan sikap dan karakter orang-orang Baranusa itu sendiri, yang dikabarkan berpendirian keras dan punya komitmen kuat pada nilai-nilai kebenaran.
 
Bersambung…
 
 

 





0 komentar:

Cerita Haji Lawang (1), tentang Orang-Orang Sulawesi