1 minggu yang lalu
Tirto Adi Suryo, Pemula Pers Nasional
“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Paramudya Ananta Toer
Petikan di atas adalah sebuah kata bijak yang terkandung dalam Bumi Manusia, buku pertama dalam Tetralogi Pulau Buruh Pramudya. Berisi kisah bumiputera bernama Raden Mas Minke, tokoh dinamo pers pergerakan nasional di masa awal politik Etik kolonial. Organisasi Syarekat Priyayi ia bentuk, empat tahun setelah itu Medan Priyayi pun muncul. Koran ini dianggap sebagai koran pertama hasil keringat pribumi, sehingga Hari kelahirannya pada 7 Desember 1907 diperingati sebagai Hari Pers Nasional.
Minke pada kenyataannya bernama Tirto Adi Suryo, lahir di Bojonegoro, Jawa Tengah, pada 1880 dengan nama kecil Djokomono. Ia termasuk golongan bangsawan karena bertautan darah dengan Tirtonoto, bupati Bojonegoro. Dengan demikian, ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah Belanda HBS yang saat itu didominasi golongan Belanda totok dan Indo, tapi pribumi satu ini berhasil tamat dengan predikat lulusan terbaik kedua se Hindia Belanda. Tirto melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun, karena keenakan menulis di koran, pelajaran di sekolahnya menjadi tak terindahkan, sehingga berbuntut Droup Out. Meski gagal menjadi dokter, ia berhasil pada bidang lain, yaitu Jurnalistik.
2 April 1902, Tirto mendapat kehormatan menjadi redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin F. Wiggers. Pada edisi 13 Mei 1902 No. 103, ia mengumumkan kenaikan dirinya menjadi pemimpin redaksi yang dibantu kerabatnya: Tjiong Loen Tat. Kedudukan itu hanya setahun ia duduki, lantaran berselisih dengan F.Wiggers. Setelah itu, secara mandiri ia membuat Soenda Berita, dimana ia berperan sendiri, mulai dari penulisan, layout, keuangan, sekaligus administrasi. Beragam topik ia sajikan dalam media tersebut, seperti ilmu tabib, bekteri, ilmu fotografi, kebersihan makanan, ilmu tentang binatang, dan tumbuhan yang baik untuk pagar. Ia adalah seorang kronikus pristiwa yang juga memiliki kecendrungan seorang alkemis.
Sejak Soenda Berita berdiri, ia membangun relasi hingga ke bupati-bupati Jawa Tengah dan Madura. Hasilnya, ia mendirikan Syarekat Priyayi pada 1904. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang bercorak modern, berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca melayu sebagai bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Namun, karena kebanyakan anggota bermental inlander, sudah merasa mapan memakan gaji Gubermen, sehingga organisasi ini bisa dibilang tak melakukan apa pun. Meski begitu, Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 (dan menjadi harian pada 1910), koran mula-mula pribumi yang membuat Tirto kian menonjol.
Kebijakan redaksi Medan Priyayi adalah membebaskan kepada pembacanya untuk menulis apa saja dan mengajukan hak-haknya yang telah dilanggar. Tirto memberikan komentar dan bantuan hukum terhadap pelanggaran tersebut, sehingga Medan Priyayi betul-betul menjadi wakil publik. Tercatat, Medan Priyayi telah mengurusi 225 warga yang berperkara kepada pemerintah Hindia, dari penjual ikan pindang, sultan jawa dan madura, hingga bekas pejuang Aceh yang dibuang ke Bandung secara tak wajar.
Reportase yang Tirto lakukan sangat mendalam, lantaran kedekatannya dengan sumber informasi yaitu pemerintah kolonial sendiri. Tirto disinyalir mempunyai hubungan khusus dengan Gubernur Jendral Van Heuts saat itu. Dan, sepak terjangnya itu membuat sosok Tirto digolongkan sebagai orang berbahaya bagi pemerintah, lantaran ia telah mengubah cara berkeluh kesah publik dengan cara yang paling modern, yakni lewat koran.
Selain Medan Priyayi, pada kurun yang sama Tirto juga menerbitkan media lain, seperti Soeloeh Keadilan (1907), Poetri Hindia (1909), Soeara BOW, Soeara Spoor, Soeara Pegadaian, dan Sarotomo. Dari koran-koran ini, Tirto pun terjangkiti beragam kasus.
Skandal Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak mendapat dukungan warga adalah kasus pertamanya. Mas Soerodimejo, si jago pertama malah dikenakan hukum kelakar. Dalam advokasinya, Tirto terbakar amarah dan menyebut pejabat tersebut sebaga monyet penetek. Lantaran kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.
Di samping kasus-kasus lain, yang paling berat berkaitan dengan Bupati Rembang. Pada Medan Priyayi edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat bersekutu dengan Raden Notowidjojo untuk menguasai kursi Tuban yang lowong. Bupati Rembang berupaya mengawinkan putranya dengan gadis bupati yang barusan mangkat itu. Hal paling parah, setelah Marko Kartodikromo, murid Tirto memberitakan fenomena foya-foya keberangkatan Gubjend Idenburg saat melayat ke Tuban.
Tirto Akhirnya dibuang ke Ambon setelah kasus pailitnya NV Medan Priyayi tak dapat ia tuntaskan. Tirto disangsi timbunan utang lantaran menyalahgunakan uang yang mestinya digunakan untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah dipakai untuk mencetak Medan Priyayi. Setelah itu, muncul friksi di tubuh Syarekat Dagang Islam (SDI), organisasi yang dibentuknya untuk menyatukan kalangan manusia bebas dan bervisi memajukan perdagangan pribumi. Sekembali dari Ambon, ia menjadi manusia sebatangkara yang tak jelas lagi peruntungannya.
Patut dicatat bahwa lima tahun keberadaan Medan Priyayi adalah tahun-tahun perlawanan Tirto terhadap pemerintah kolonial. Ia tidak melawan dengan metode tradisional menggunakan senjata, tapi dengan tradisi cetak dengan terang-terangan. Daya cetak inilah yang meluruhkan tradisional dan menampilkan modernitas. Setelah Tirto lenyap, tak ada yang menyangka muridnya yang bernama Mas Marko Kartodikromo mewarisi keberaniannya. Pemerintah kolonial pun dibuat kewalahan olehnya.
Idham Malik, mahasiswa Perikanan 2004
diolah dari beragam Sumber
0 komentar:
Posting Komentar