1 minggu yang lalu
Ironi Negeri Bahari dan Peranan Universitas
Belakangan ini media diramaikan dengan isu ketahanan dan krisis pangan yang merupakan ekses globalisasi dan pemanasan global. Permasalahan pangan ini pun berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia yang dihubungkan dengan asupan gizinya. Terkhusus untuk asupan protein yang bersumber dari ikan dan sumberdaya laut. Namun Dari segi jumlah, data statistiknya daya tangkap ikan menunjukkan penurunan. Hampir semua jenis tangkapan kurang dari 50 persen.
Kini untuk memenuhi kebutuhan pangan ikan dengan kandungan protein tinggi dan lemak tak jenuhnya lebih mengarah ke aktivitas budidaya. Untuk tataran dunia, pada 1980 hanya sembilan persen ikan yang kita makan berasal dari pertambakan, dibanding pada hari ini yang mencapai 43 persen. Padahal aktivitas budidaya perikanan punya ekses negatif dibanding tangkapan liar lepas laut, yaitu polusi pesisir dan penyebaran penyakit pada populasi liar.
Penyebab utamanya adalah kerakusan manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya laut dengan istilah overfishing. Ikan tak mudah lagi diperoleh, ikan bukan lagi menjadi sumberdaya tak terbatas seperti pemahaman nelayan dulu. Ia adalah mahluk yang untuk memperolehnya butuh perencanaan matang disertai teknologi tinggi. Karena sumberdaya itu ketakutan dan bersembunyi dalam kedalaman laut. Bermigrasi ke tempat jauh dan meninggalkan habitat lamanya. Habitat yang sudah seringkali diamuk, dibius oleh pottasium sianida, dihancurleburkan oleh bom ikan, atau alat tangkap modern yang tak kepalangtanggung menguras seisi laut tanpa seleksi. Buntutnya, benih ikan, dan mahluk lain yang tak diinginkan, seperti kura-kura, ubur-ubur, ikan buntal, dan jenis ikan nonkomersial ikut terjaring. Tentunya ini akan merusak ekosistem biota laut serta regenerasi ikan yang diinginkan. Alat tangkap yang dikenal menimbulkan efek tersebut adalah Pukat Harimau atau Trawl.
Indonesia mengalami surplus ekspor di bidang perikanan pada tahun 1970-an. Setelah itu, pemerintah bersama masyarakat hidup dalam uforia eksploitasi. Meski pada kenyataannya, penangkapan ikan di laut Indonesia baru mencapai 56 persen dari potensi lestarinya. Terlebih di Kawasan Timur Indonesia, baru bisa dipicu hingga 20 persen akibat keterbatasan alat tangkap. Dan setelah euforia, itu dari tahun ketahun daya tangkap nelayan Indonesia pun semakin menciut.
Justru perairan Indonesia ramai-ramai dijarah oleh armada global. Tercatat bahwa pencurian ikan atau illegal fishing begitu dahsyat mendera perairan Indonesia. Tarafnya sudah sangat mengkhawatirkan karena telah mencapai 4 milyar dollar AS (sekitar Rp 30 trilyun) setiap tahunnya. Padahal ekspor ikan Indonesia hanya 2 milyar AS pertahun.
Telah banyak ditemukan kapal asing yang tertangkap basah menjarah di perairan Indonesia. Seperti kapal yang diduga berasal Thailand, namun berbendera Indonesia. Mereka pun melakukan perusakan biota laut karena menggunakan alat tangkap ilegal yaitu trawl. Di samping meresahkan nelayan lokal karena merusak rumpon warga, khususnya nelayan Pekalongan pada tahun 2000 lalu, akibat terkena imbas trawl ini. Parahnya, kapal asing ini dapat memperoleh 50 ton hingga 200 ton sekali beroperasi. Hal ini dikarenakan kapal tersebut dilengkapi fasilitas radar yang dapat mendeteksi daerah tangkapan ikan serta penggunaan alat tangkap modern. Beda halnya dengan jumlah tangkapan kebanyakan nelayan Indonesia yang cendrung rendah, karena masih menggunakan alat tangkap tradisional.
Jumlah kapal asing pun tak kepalangtanggung, hasil inspektasi Bakorkamla Desember 2000 berhasil menangkap 56 kapal asing asal Thailand di perairan Sabang Aceh. Sedangkan Taiwan, jumlah kapalnya yang teridentifikasi beroperasi di perairan Indonesia lebih dari 100 buah. Data litbang Pertahanan Indonesia disebutkan bahwa 85 persen kapal-kapal yang beroperasi dan 50 persen pelayaran antar pulau di perairan Indonesia mengunakan modal asing.
Hal utama yang memicu aksi kerakusan kapal-kapal asing itu terekam National Geografic edisi Spesial Detak Bumi. Disebutkan sebanyak 30 milyar dollar AS dikucurkan untuk memantapkan industri perikanan setiap tahunnya. Dimana Jepang berada pada tingkat subsidi tertinggi, yaitu 5 juta Dolar AS, menyusul India dengan 4,5 juta $ AS, China 2,7 juta $ AS, dan Brasil 2,1 juta $ AS. Sejak kebijakan subsidi penangkapan ikan pada 1950-an, lebih banyak perahu berlayar dan lebih banyak ikan di pelabuhan. Dan akibat kebijakan itu, semakin mengarah ke keruntuhan sumberdaya dan industri perikanan sendiri, karena kini tampaknya terlalu banyak kapal yang memburu sedikit ikan.
Indonesia adalah negara yang berada di sekitar Samudra Hindia, dimana armada global semakin menggurita mengeksploitasi samudra tersebut. Meski masih diakui sebagai negeri bahari, tapi jumlah tangkapannya berbeda jauh dengan negara lain, macam Peru. Indonesia sekitar 4,4 juta ton pertahun (data 2004), sedangakan Peru 9,5 juta ton pertahun. Padahal Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu 81 ribu kilometer, mempunyai sekitar 17 ribu pulaunya dan luas perairan sekitar 5,8 juta km2 (dari perhitungan secara kartografis).
Pemerintah Tak Memandang Laut
Kenapa kapal asing ini bebas berlenggak-lenggok di perairan Indonesia? Padahal pondasi yuridis batas-batas perairan Indonesia sudah jelas, sesuai dengan isi “Deklarasi Djuanda” yang diratifikasi pada 13 Desember 1957, antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia. Apalagi Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. sehingga luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara.
Meski begitu, Indonesia dengan tanggungjawab sebesar itu justru menjauh dari laut. Pemerintah selama ini masih memandang potensi bahari dengan sebelah mata dan lebih memprioritaskan darat (baca:agraris dan pembangunan). Laut menjadi anak tiri pemerintah, sehingga laut pun bebas dijarah oleh kapal asing lantaran kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengawasan laut.
Hingga kini jumlah personil angkatan laut tak sebanding dengan angkatan darat. Padahal Indonesia mestinya fokus ke laut dengan melihat potensi Indonesia Untuk laut sangat besar. Belum lagi penyakit akut angkatan laut kita pun belum sembuh-sembuh, yaitu prilaku curang dalam menangani setiap penangkapan kapal yang bermasalah. Angkatan laut kita terkadang justru terlibat aktif dalam melegalkan aktivitas mereka. Untuk itu perlu ketegasan pemerintah dalam mengantisipasi hal ini.
Peranan Universitas
Telah diketahui bahwa salah satu kendala yang meliputi dunia perikanan kelautan adalah minimnya sumber daya manusia yang handal, sehingga proses eksploitasi dan konservasi perikanan berjalan lamban. Universitas pada dasarnya adalah lembaga yang menjunjung tinggi tridarma universitas, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Masyarakat pun sangat menuntut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan di universitas untuk segera mencarikan solusi terhadap segala permasalahan lewat riset-riset kontemporer.
Pada wilayah riset, universitas telah melakukan hal konstruktif, seperti penelitian tentang budidaya rumput laut dan udang yang kini sementara dikembangkan masyarakat Sulawesi Selatan. Masyarakat ketiban rezeki dengan budidaya tersebut karena terjadinya lonjakan harga di pasar dunia untuk komoditas rumput laut. Universitas Hasanuddin sendiri kebanjiran proyek terhadap dua komoditas budidaya air tersebut, sebut saja mendapat asupan dana dari Bank Dunia lewat program I-MHERE. Unhas pun mulai menggadang kerjasama dengan pemerintahan Jepang dalam hal penyediaan alat tangkap Set Net di pesisir Kabupaten Bone. Hasil riset yang paling berhasil diterlurkan pula oleh dosen Unhas Dr Ir Yushinta Fujaya MSi, yaitu riset ekstrak bayam untuk pakan kepiting lunak tanpa proses mutilasi yang disebut vitomolt dan telah mendapatkan hak paten dari Sentra HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).
Meski begitu, universitas terkesan hanya fokus pada pengajaran, mahasiswa pada dasarnya tak terlalu mendalami persoalan masyarakat perikanan. Mahasiswa, sejak awal perkuliahan tidak diperkenalkan terhadap masalah kelautan negeri ini. Sehingga tujuan pengajaran bukannya untuk menyelesaikan persoalan, tapi sekadar pemuasan rasional individual semata atau untuk mencari nilai. Dengan demikian permasalahan perikanan hingga kini tak dapat selesai-selesai, padahal universitas adalah pabrik solusi atas masalah yang terjadi tersebut.
Di samping itu, belum adanya inisiatif dari pihak universitas dalam hal melatih kritisme dan kreativitas mahasiswa dalam hal pemecahan masalah dunia perikanan. Mahasiswa hanya disibukkan dengan materi dan tugas kuliah yang sifatnya menerima mentah-mentah ilmu dari dosen. Tidak dibuatkan iklim dimana mahasiswa mampu melatih dirinya sendiri untuk mengobservasi masalah perikanan kemudian dengan cermat mencari solusinya. Hal ini tentunya berguna setelah ia tamat studi untuk memecahkan masalah yang lebih besar yang sangat banyak jumlahnya di kehidupan nyata.
Indikator kelemahan itu tampak dengan minimnya komunikasi antara mahasiswa dengan pembantu dekan III bidang Kemahasiswaan, mandeknya lembaga mahasiswa, selain itu tak tumbuhnya lembaga independen yang benar-benar melatih kreativitas mahasiswa dalam bidang ilmunya. Dampaknya, hingga kini tidak nampak hasil kreativitas yang dibuat oleh mahasiswa, seperti karya tulis mahasiswa atau produk penelitian ala mahasiswa. Belum lagi kurangnya minat mahasiswa membahas isu-isu sosial masyarakat nelayan, bagaimana mungkin mahasiswa mampu mengadvokasi masalah nelayan kalau diskusi saja jarang. Tentunya ini mempunyai benang merah terhadap persoalan perikanan, terkhusus penanganan kapal asing tadi. Jika saja dunia universitas dengan segala elemen terkait punya perhatian lebih terhadap permasalahan perikanan, pastinya satu kendala pun berkurang, yaitu persoalan sumberdaya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Idham Malik
Mahasiswa Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin Angk. 2004
0 komentar:
Posting Komentar