6 hari yang lalu
Berpikir tentang Pikiran
Tak salah kan kalau kembali lagi ke pikiran. Tak tahu karena kini aku gandrung terhadap pikiran. Sebenarnya awalnya aku sedikit kebingungan, dengan latar pikiranku yang mengkhawatirkan. Aku kadang pelupa. Sulit berbicara dan menganalisis masalah. Mungkinkah ada masalah pada lobus di otakku. Pada bagian neural, glial, atau korteks, tempat informasi berdekam. Aku mengorek-korek informasi mengenai pikiran dari berbagai sumber. Salah satunya dari buku karya Princhof Capra yang berjudul jaringan yang hilang ”The Hidden Conection”. Buku yang cukup rumit itu membuatku kewalahan mencerna ragam bahasanya. Aku hanya memaknainya sepotong-sepotong.
Pikiran adalah hasil interaksi kognitif otak. Pikiran tak dapat hadir tanpa keberadaan otak. Ia adalah proses yang mengalir atas dasar struktur. Struktur-struktur materi yang tiap hari bertambah, tumbuh dan berganti membuat proses itu dari hari-ke hari kian kompleks. Hasil akumulasi interaksi materi membentuk pola jaringan, lalu pikiran melakukan proses perenungan untuk menemukan makna. Nah makna inilah hasil pemikiran atau biasa disebut konsep. Konsep pun sebenarnya adalah akumulasi perenungan yang mendalam dengan mengaitkan berbagai komponen. Minimal dua atau tiga komponen dasar. Struktur menerima informasi terus menerus dari luar sistem, bagian-bagiannya terintegrasi, menjaga keutuhan sistem. Sistem yang menyeluruh, bersifat holistik. Ia mempertahankan peranan bagian-bagian. Dan bagian-bagian pula tak bermakna tanpa berinteraksi untuk menjadi keseluruhan. Bagian akan terlihat peranannya jika ia bergabung dengan keseluruhan. Identitas bagian diberikan kebebasan untuk berekspresi, tumbuh dengan karakter masing-masing.
Tugas sistem adalah mengakomodasi keberagaman itu untuk menjadi kekuatan keseluruhan. Otak tak berguna tanpa kehadiran tubuh, tubuh dan otak pula tak berguna kalau kita ini benda mati, tak hidup.
Pikiran dapat pula berkaitan dengan dunia luar. Ia tak hadir apa adanya, butuh kerja keras dan proses panjang. Biasa disebut evolusi. Energi yang diterima dari luar, khususnya nutrisi bagi otak cukup berperan. Nutrisi itu nantinya akan memperlancar aliran darah menuju otak, mengurangi reduksi ingatan akibat kekacauan di otak kita. Memberikan ketenangan batin berupa stimulan untuk hormon untuk meringankan beban otak.
Otak, pusat segala tingkah laku, mulai dari bergerak, perasaan, tindakan, emosi, kecerdasan, regulasi metabolisme tubuh. Ia menjadi pusat kontrol. Kesadaran adalah tingkat tertinggi dari proses kognitif pikiran. Ia lahir dari sebuah proses yang kompleks, pertarungan di dunia bawah sadar.
Dunia bawah sadar, surga pikiran. Segala informasi terekam dengan baik dan tersembunyi dalam laci-laci memori. Informasi itu mendekam dengan lugu seperti membeku dalam balok-balok es sistem syaraf yang rumit. Informasi yang kadaluarsa, sudah lama berselang biasa terungkap lagi. Ia memberikan kejutan, biasanya teringat dalam mimpi-mimpi yang tak pasti dan dipenuhi kemungkinan-kemungkinan. Mimpi yang memberi inspirasi atau kesempatan untuk bernostalgia kembali ke masa silam. Mengingat hal-hal usang namun kadang penting dan tentunya mempunyai peranan dalam membentuk diri kita yang sekarang.
Jika saja, kita dapat mengoptimalkan kekuatan bawah sadar. Mungkin kita dapat menjadi Einstein-Einstein yang lain, menemukan rahasia alam yang bersembunyi dalam relung-relung hutan, rawa, laut dalam, sungai atau pada kekuatan surya. Manusia yang berupaya untuk merubah keadaan dunia dengan penuh kesadaran. Kesadaran biologis, ilahi sekaligus sosial. Dunia modern in banyak sekali manusia berotak cemerlang dan mungkin mampu mengorek kekuatan bawah sadarnya, namun sayang kesadarannya masih terberi, terjual oleh uang segepok. Menjual nuraninya sekaligus memberi kesempatan pada setan menguasai hati murninya.
Belum lama ini aku membaca artikel yang cukup berkesan. Yaitu hubungan pikiran dan bahasa. Katanya bahasa itu hasil interpretasi pikiran. Dalam menghadapi realitas manusia menciptakan dunia tanda, simbol untuk menamai benda-benda. Bahasa yang diproduksi dalam otak yang berkembang pesat sejak awal kehidupan seorang manusia. Ragam bahasa lisan yang terdengar sumir di telinga, susunan huruf dengan dialek khusus terekam dengan segera dalam memori. Semakin banyak informasi berbentuk bahasa terekam, semakin hebat manusia merangkai. Menyusun-nyusun peristiwa sekaligus mengenal benda-benda. Seiring dengan waktu, manusia mengembangkan pikirannya lewat analisa kata perkata. Tapi ini sekali lagi didukung pula oleh situasi penerimaan, prilaku yang diberikan, serta nutrisi yang diberikan.
***
Tapi, pada artikel lain menjelaskan bahwa pikiran terlepas dari tubuh. Mirip-mirip logika rasional Descartes dengan adagium terkenalnya, “Saya berpikir maka saya ada”. Dimana dalam relasi di atas Pendiri mazhab rasionalis ini memisahkan antara “yang berpikir (Res cogitan)” dan “yang bertindak (Res extensa)”. Pikiranlah yang mengendalikan tubuh, atau kata lainnya, proses dan struktur terlepas pada ranah yang berbeda.
Itu dikemukakan oleh Schumacher dalam bukunya yang terkenal bertajuk « Keluar dari Kemelut », katanya, pikiran yang bebas dan hakiki itu hanya milik manusia, karena manusia berada pada tahap tinggi dalam tingkat eksistensi, yaitu mahluk yang sadar akan kesadarannya.
Berbeda dengan hewan yang hanya memiliki kesadaran namun selalu ditentukan oleh lingkungannya, berbeda pula dengan tumbuhan yang hanya hidup saja dan tak sadar akan kehidupannya, berbeda juga dengan obyek materil yang sangat ditentukan oleh hukum alam.
Yah.. manusia memiliki semuanya, ia hidup, sadar, dan sadar akan kesadarannya. Bahkan, kalau ia berkonsentrasi dan berkontemplasi, ia pun dapat melampaui diri materil atau strukturnya. Otak atau struktur tak lagi mempengaruhi makna, karena makna itu telah tenggelam dalam kekosongan atau ketiadaan. Yah.. manusia mampu mengatasi sifat kebendaan, dan naik lebih tinggi menuju cahaya abstrak, dimana pikiran berdiri sendiri, melingkupi semuanya dan mengetahui segalanya. Logikanya, menurut schumacer, pembuat program telah terlepas dari struktur komputernya. Itu hanya dapat terjadi kalau kita memberanikan diri untuk melepas unsur-unsur materi dari pikiran kita, berupaya berpikir untuk tidak berpikir, dalam kekosongan yang subtil..
Sesuatu yang dapat menggambarkan ini yaitu adagium indah Bhodi Gautama : Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong..
***
Tidak apa-apa kan kalau kita sedikit menyinggung soal nalar. Uraian sistematis tentang relung pikiran, atau proses berpikir. Ya nalar sepertinya adalah upaya rasionalisasi sebuah kasus, problema atau obyek. Rasional dan logis adalah syarat awal untuk menjadi ilmiah. Membangun silogisme dengan rangkaian-rangkaian premis.
Bagaimana terbangun sebuah nalar, apakah ia adalah semacam anugerah. Rezeki yang diperoleh setiap orang. Bersifat universal dan kolektif, atau beragam untuk tiap individu. Karena mengamati kehidupan, terutama orang-orang dekat. Capaian nalar setiap orang berbeda-beda. Ada yang cepat menerima, sinyal nalarnya lancar, ada pula yang lambat. Terutama dalam menalari sebuah kasus, tidak semua yang dapat mengetahui persoalan apalagi memecahkan. Kenapa terjadi demikian, padahal telah diklaim bahwa nalar adalah universal.
Nah dari sini kita dapat beranjak, bahwa nalar bersifat universal pada cakupan tertentu. Sekadar menyangkut kehidupan umum, akal budi atau keseharian. Seperti pendefenisian ukuran, bentuk warna, jenis. Sesuatu yang dapat diamati dan dirasakan secara umum sudah cukup membuat semua orang mengerti secara kolektif. Mengenai capaian nalar yang berlanjut. Tingkat yang membutuhkan proses menghubung-hubungkan peristiwa dan konsep. Ini membutuhkan nalar.
Semakin banyak informasi maka akan merangsang nalar untuk merangkai. Menyusun sebuah bangun analisis, kemudian menyintesis untuk menemukan jalan keluar. Tapi bagaimana jika seseorang yang meski telah memiliki banyak informasi, namun entah kerena apa ia tak mampu dengan tajam mengingat informasi yang telah ia tampung. Atau tak dapat menghubung-hubungkan informasi. Apakah nalarnya tak bekerja? Atau ada orang yang dengan cepat menemukan titik masalah dengan mengetahui sedikit informasi, padahal ada pula orang yang sudah menelisik informasi begitu lama, namun tak juga menemukan titik permasalahan. Dimana yag salah. Apakah ini juga anugerah. Apakah ini adalah takdir. Dimana ada yang mampu ada yang kurang mampu. Dan saya pikir saya masuk kategori kedua-duanya, termasuk mampu dan tidak mampu.
Saya kadang prihatin melihat teman yang lamban. Ini pun menjadi titik tolak untuk menilai. Tapi jangan sampai gara-gara penalaran mereka yang kurang kita menjadi sombong dan angkuh. Tentang orang yang memiliki penalaran yang jauh. Ia pastinya memancarkan aura dan membuat orang tekesima. Orang lain pada mendekat, menyapa dan memberi sambutan. Apalagi kalau orang itu ramah, artinya ilmunya betul-betul memberikan kearifan pada dirinya. Bahwa semakin banyak tahu kita akan semakin sadar akan ketakmampuan kita. Memahami kesederhanaan kita akan probabilitas dan berbagai kemungkinan yang tak pasti. Bahwa masih banyak rahasia yang mesti kita ketahui dan gali dan ilmu ini sangat luas dan kita baru mencicipinya sedikit.
Tentang pendefenisian prilaku, mengenai baik atau buruk, benar atau salah. Mungkinkah membutuhkan nalar.
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar