6 hari yang lalu
Putri Tidur
Rimbun ilalang bertautan, serbuk-serbuk mikro bertaburan pada padang savana. Aromanya menyengat, menusuk hidung, membuat pikiran melayang, terbang jauh melintasi ambang batas, di atas tujuh mil perdetik. Dahsyat, pikirku. Tangan kurentangkan, meraba udara yang juga kian menantang. Aku pikir, angin ini muncul dari perbedaan tekanan pada kosmos semesta. Suhu saling tabrak, dingin, panas, hangat menyatu, berakumulasi, hingga tercipta tekanan udara, maka jadilah muson, sang penakluk ilalang. Angin ini lalu membawa kawan, kawan itu adalah air. Air yang berbulir-bulir. Berupa titik-titik bermassa. Kalau begitu aku tambah riang. Bukan hanya dingin, tapi juga merinding. Apalagi saat kedua tangan melingkar di selangkangan. Tangan itu lalu kupegang, erat-erat. Dagunya melengket pada bahuku. Mata kami meredup lalu lenyap pada rimbun ilalang. Tak ada saksi, yang jadi saksi adalah burung-burung yang melayang-layang jauh mata memandang. Kicauannya merdu campur desir batang-batang rumput pakan rusa dan kerbau belang.
Bangun-bangunlah kawan. Lepaslah mimpi-mimpi itu. Sebenarnya aku tak mau bangun, aku maunya berlama-lama. Terus merasakan nikmatnya surga dunia. Tapi apa daya aku hanya berada dalam sangkar, penjara ku selama ini, kesendirian dan kesunyian. Dalam sebuah ruang bertaburan poster, poster wanita telanjang, berbikini ria. Rasa nikmat itu kurasakan sendiri, meski ada raung-raung radio kesayangan. Melantunkan lagu-lagu cinta dan rindu. Sebuah komputer pun terus hidup, tak pernah mati meski tak lagi kusentuh, kurabah. Benda itu kugeranyangi saat mata melek, bangun dari tidur lelap dengan sejuta mimpi-mimpi yang telah terlupa. Ia adalah sahabat, melebihi mahluk yang bernyawa dan bernafas. Ia bahkan menjadi jantung yang terus berdenyut dalam ruang sumpek itu. Satu hal yang tak dapat dilupakan orang, bau rokok yang menyengat, asap mengepul berkumpul lalu menyebar pada semua sudut. Tak ada orang yang kubiarkan masuk pada pada ruanganku itu. Kutulis pada pintu depan, “Don’t enter. You Know”. Dalam secarik kertas berwarna biru.
Tak ada yang tahu apa yang aku kerjakan dalam ruangan itu. Orang tuaku pun aku larang masuk. Setiap aku dipanggilnya, makan atau apalah. Mereka hanya mengetuk-ngetuk pintu saja. Tak berani mereka memegang gagang pintu. Mereka pun sering jengkel setiap asap yang kukepulkan itu lolos dari jaring-jaring pentilasi penghubung kamarku dengan ruang tengah rumah. “Shin, tolong… kali ini aja, rokoknya dimatikan dong,” pinta mama dari balik pintu. Kalau suara mama sudah melengking, rokok itu baru kumatikan. Aku paling takut kalau mama marah-marah. Jika mukanya cemberut, masam. Aku langsung tertunduk, takut menatap matanya yang membelalak itu.
Took, …took “Nak, minum kopi dulu, bangun pagilah hari ini,” ungkap mama tiap pagi.
“Letakkan saja kopinya ma.., entar saya ambil,” balasku sembari menguap, meregangkan lengan dengan menjepit jemari kedua tangan ke atas.
Habis minum kopi, badan kutegakkan, membuka gorden menatap mentari pagi yang sudah berada sejajar mata. Sinarnya menyengat, masuk dan terpendar dari sela-sela kaca nakon. Cahaya itu masuk ke dalam pori-pori mungilku memberi sedikit energi, energi surya penambah vitamin D. Energi itu aku simpan baik-baik karena jarang kugunakan. Ia menjadi cadangan berupa energi potensial saja. Kalau beraktivitas, macam mengetik, berfikir akan kuubah sedikit menjadi energi gerak. Energiku pun kian bertambah saat kopi buatan mama kujemput dan kuseruput pelan-pelan. Cahaya itu masuk ke mata memberi warna, retina menangkapnya lalu mengembalikan hingga membentuk pesona. Mentari juga menghapus embun, menebar kehangatan. Menyelimuti tubuh, sampai bulu-bulu kuduk itu meredup, layu oleh electron-elektron surya.
Aku suka mentari. Pelita yang melempar zarah, memberi tanaman carbon, unsur-unsur kehidupan. Hingga pohon, ilalang, rimbun belukar menemukan irama untuk berfotosintesis, lalu terlepaslah oksigen, zat penggiat mahkluk.
Mentari sudah meninggi, namun aku masih berdiam diri. Belum mandi dan gosok gigi. Tapi mentari memberiku semangat kali ini. Untuk melanjutkan kisah, kisah seorang pujangga yang sedang mencari inspirasi, kisah tentang pemuda yang limbung oleh aroma cinta, kisah tentang prajurit yang kesepian diantara riuh mesin dan senapan, kisah tentang ilmuan yang terus bereksperimen meracik ramuan gila karena mereka adalah para pejuang-pejuang gila. Terutama kisah penantian seorang gadis yang ditinggal pergi pemuda. Gadis itu berlesung pipi, menambah rona mukanya yang memang manis.
Cerita-cerita itu masih ada dalam kotak kaca, kotak berwarna biru menyala-nyala, menyilaukan mata. Benda itu baru saja ku kerak-kerak, kurambah dengan belati mungil peninggalan kakekku. Segelnya belum terbuka. Karena segel itu adalah insipirasi untuk memulai pagi. Pagi yang kuisi dengan cerita-cerita. Belum kubuka karena kuncinya masih kucari. Kucari-cari di bawah kolong memoriku. Memori yang luas bagai belantara yang rimbun oleh semak dan belukar. Aku tak tahu dimana kunci itu, mungkinkah tenggelam dalam lumpur neuron, terjepit di antara batang-batang akson ataukah melengket pada jaringan hypothalamus bersama kelenjar-kelenjar pituitari.
Ah.. pusing, pagi ini aku mulai saja dengan menyalakan komputer. Barangkali dengan menyentuh tuts monitor, inspirasi itu lansung datang walaupun tak diundang. “On…, tindis on,” kataku mengkatalis intuisi agar kunci itu cepat-cepat aku temukan. Turbulensi itu berputar membentuk tabula. Biarkanlah aku memulai hari ini dengan sedikit bisu. Karena memang aku orangnya asosial. Tak pernah lagi kuberinteraksi dengan dunia luar. Alam di luar kamarku yang penuh poster-poster itu. Mungkin, aku ini penderita sindrom diseksekutif, penderita kelainan otak pada bagian medulla prontal. Penyakit yang tak dapat menghubung-hubungkan, menganalisa lewat nalar hingga tak gaul dan tak peka terhadap penomena sosial. Mungkin pula aku ini penderita delusi, pelupa abadi. Ku pikir aku tak pernah mengalami kelainan otak, baik pada bagian temporal atau prontal lobe. Yang pasti…. Aku barangkali hanya manusia kesepian saja. Kalau begitu aku hanya ingin bersua dengan dunia maya, alam imajiner. Kalau perlu kuciptakan saja mahluk imajiner itu agar aku tak kesepian lagi di sini. Mahluk itu akan ku beri nama Vita.
Aku masih bingung, bagaimana karakter mahkluk imajiner ku nanti. Apakah akan mirip dengan paras seseorang. Paras yang teduh, dekat, menawarkan kedamaian. Ketika memandangnya jarum jam berhenti berdetak, sunyi, samar. Yang terdengar jelas hanya nyanyian alam berupa hembusan angin, gerik dedaunan yang melayang ditiup angin, kicauan burung-burung, serta decak bulir-bulir air yang menetes dalam kamar mandi sebelah kamar. Semuanya pelan…. Mengalir indah, mengikuti alur menuju muara hati. Plot-plot indah tercipta membawa pada suasana hening. Ringkasnya semua aktivitas terhenti. Laju jantung pun berkurang, sepuluh detik perdetaknya. Aku pun merasakan aliran darahku sendiri. Mengalirnya sangat lancar. Begitu sehat.
“Kapan ya.. aku akan memulai,” pikirku dalam lamunan. Sejak saat itu aku mulai memikirkan pelbagai paras yang enak dikenang, untuk dicocok-cocokkan dengan karakter yang kuinginkan. Apakah model Oriental, Asia, Jiran, bule atau pribumi saja. Aku tak mau yang terlalu berbelit-belit. Yang ku mau saat ini adalah paras yang menawan yang membuat hatiku lega. Saat pagi menjelang, yang kupikir hanya berspekulasi, eksperimen wajah. Mencoba menghayalkan wajah-wajah yang pernah tampak di depan mata. Hal itu kucoba pula dengan mencari pola-pola desain wajah pada program komputer. Dengan metode acak berbagai wajah muncul, ada yang hitam, kuning, terang, gelap, ada pula yang sawo matang. Setelah itu aku lalu tertidur dan kucoba lagi menghayalkannya dalam mimpi. Keesokan harinya aku sudah mendapat wajah yang pas. Wajah yang diketemukan dari sebuah perenungan. “Ia” adalah sebuah probabilitas sempurna, satu banding berpuluh ribu. Ia sederhana saja, kalau tak salah ia bukan oriental, tidak sipit, tidak pirang, tidak sawo matang, tidak terang, tapi hitam manis, pribumi, wajah bulat, bola mata seperti rembulan di kala purnama, kalau dalam gelap wajahnya menjadi pelita, terutama saat bulir-bulir keringatnya membasahi lekuk parasnya yang bermuara pada lesung kedua pipinya.
Untuk ukuran tubuh, kusamaratakan dengan ukuranku, 165 cm. Rambutnya kalau bisa sebahu. Busananya berwarna putih dengan renda bergaris biru gaya abad 19 (payet), seperti yang dikenakan Rosa dalam drama Titanic. Ia akan ku panggil jika aku bosan memencet-mencet tuts monitor, capai mengutak-atik program data dase, atau habis tidur siang. Ia akan aku suruh pijat bahuku, lenganku dan jemariku. Vita sengaja kucipta sebagai wanita imajiner yang periang agar aku tak keterusan bete, ia menjadi oase tempat ku singgah setelah menyusuri padang gersang. Dengan begitu semangatku akan kembali pulih setelah jatuh hingga titik nadir. Ia akan menemaniku mencari inspirasi agar hidup ini lebih damai. Kalau malam ia akan menemaniku menatap rembulan, lewat kaca nakon.
Aku sudah sangat jarang membaca buku. Sejak setahun lalu aku sering membeli buku. Mulai dari buku sastra, ilmiah, sosial, dan agama. Namun, akhir bulan lalu aku sudah jarang menyentuh buku-buku itu. Aku lebih sering mengetik, menumpahkan isi pikiran dan isi hati. Dan kali ini aku kembali mencoba memilah-milah buku untuk aku baca ulang. Barangkali dengan begitu, aku menemukan inspirasi baru. Lagi pula kali ini aku tak kesepian, telah ada wanita yang menemani, meski ia hanya imajiner semata. Buku yang kubaca saat ini adalah buku karya Dercarventes yang berkisah tentang seorang ksatria konyol bernisial Don Quixote. Kesatria ini hari-harinya menunggangi kuda bernama Rozinante. Ia pun menyukai seorang wanita petani yang terus dikejar-kejarnya. Wanita itu berada di ujung pulau. Ia mesti menempuh puluhan kilo dan melawan puluhan rintangan yang menghadangnya di jalanan.
Di tengah jalan aku melumat isi buku itu, pikiranku melayang-layang. Nalarku kacau dan tak dapat kembali ke alam nyata. Jiwaku yang satu itu terbang menuju singgasana dewa tempat Shinta kekasih Rama ditawan oleh Rahwana. Tapi saat ku bertandang mereka tak ada di sana. Yang ada adalah seorang gadis berambut lurus yang hanya sebahu, mukanya cerah dan sedang menjahit renda busananya yang berwarna biru. Kaki kuendap-endapkan, sembuni di balik pohon perdu. Mataku terus mengamati geriknya. “ Ia Vita, mahluk imajinerku ,” sahutku pelan-pelan.
Tak berselang lama aku mulai memberanikan diri. Kudekati ia dari belakang, kutatap punggungnya yang membungkuk, setelah cukup dekat aku tangkap bahunya.
“kamu Vita khan, mahluk hayalanku. Buat apa kamu di sini,” tanyaku penasaran.
“Ah.. tidak kak, aku hanya ingin bersantai saja. Aku ingin seperti cherly, tokoh film kartun yang dapat pergi ke mana saja. Ke negeri orang untuk bersenang-senang dan mencari kawan. Berkawan dengan binatang dan mahluk-mahluk asing. Aku pun tak mau seperti manusia buatan Frankenstein. Mahluk kesepian yang hanya menjadi bahan eksperimen dan setelah itu dilupakan. Aku ingin berontak kak.. aku muak,” jawabnya meski dengan nada pelan.
“Apakah aku kasar terhadapmu, sehingga kamu ingin berontak dan marah terhadapku”.
“Aku tak marah sama kakak. Aku hanya sedih. Sedih menjadi mahluk seperti ini. Sedih karena kita hanya berdua. Aku ingin punya kawan. Aku ingin beraktivitas lebih, bergabung dengan masyarakat luas, aku tak ingin menjadi babu kakak saja yang tugasnya hanya melayani kemauan kakak”.
“Baiknya kakak bunuh saya saja agar kakak juga bergaul dengan manusia lain, manusia seperti kakak. Manusia yang dapat keluar dan berbuat apa saja. Beda dengan saya yang hanya berada dalam benak kakak dan terus terpenjara dalam belantara memori kakak. Aku ingin juga menjelajah, tapi apa daya aku hanya buatan yang tentunya turut sama perintah sang pencipta. Karenanya aku harap matikan saja saya kak.. kumohon,” harapnya dengan nada yang sudah meninggi.
Aku pijat bahunya, aku sapu bulir-bulir air mata di pipinya. “Kalau cemberut gini, kamu tambah cantik deh. Maafkan aku ya.. yang terus menyiksamu. Memaksamu meladeni nafsuku tiap malamnya. Sebelumnya aku tak pernah tahu, setiap aku mau kamu mesti juga mau”. Tangisnya makin keras dan aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya duduk membisu di sampingnya sembari tertunduk merenungi kesalahanku yang sebenarnya tak pernah kuduga-duga. Aku kira jika aku mencipta sesuatu aku bebas memperlakukannya sebagaimana yang aku mau. Namun aku lupa bahwa ia adalah duplikat manusia, ia mempunyai hati dan akal. Ia juga punya keinginan untuk memberontak.
Buku itu terlepas dalam genggamanku, aku pun tersadar. Lirik Mozart kebetulan muncul di balik loundspeaker computer. Liriknya sedikit menenangkan pikiranku. Baying-banyang paras Vita nampak samar di ingatan. Aku coba menelaah percakapan kami barusan. Namun, puzz… semuanya blong. Aku lupa. Aku pun membenahi letak tubuhku. Aku merasa tidurku tadi tak sempuna, lebih baik kutuntaskan saja. Bantal itu kuambil dan kuletakkanlah kepalaku di atasnya.
Dalam tidurku ia tak datang. Namun suaranya kembali terdengar.
“Kak. Kakak yang baik, kakak yang cerdas. Kak aku mohon pamit, maaf kalau aku lepas dari jeratan kakak, tapi aku tahu kakak mampu mencari orang yang lebih sempurna dari saya. Manusia seperti kakak juga. Kalau kakak di kamar terus, mana ada gadis yang mau sama kakak.. Lihatlah penampilan kakak dalam cermin, berantakankan. Rambut kakak sudah panjang, begitu juga kumis dan janggut kakak. Pakaian kakak tak pernah kakak ganti dari hari kehari, bau kakak bukan main busuknya. Kakak tak pernah merawat diri kakak, kakak hanya memperhatikan tulisan kakak, program komputer kakak. Keluarlah kak, mandi dan nikmatilah cahaya di luar kamar sumpek itu. Aku tak mau kakak dianggap tetangga sebagai orang tak waras, miring. Salam kak..”.
Ia lenyap, seperti terhapus dalam memoriku. Aku tak bangun, tapi aku sadar ia sudah pergi. Kusudahi saja tidurku siang ini. “thanks, thanks.. Vita,” gumamku berkali-kali. Aku tak ambil waktu. Gagang pintu aku buka. Langkah kumantapkan untuk melewati batas kamarku. Cepat-cepat aku berbenah. Meski rambutku masih panjang begitu pula dengan kumis dan janggut, aku sudah tak risih karena sudah rapi. Aku keluar menatap mentari sore. Mentari yang selama ini hanya kupandangi di balik kaca nakon itu. Dari kejauhan aku melihat seorang gadis. Wajahnya terasa dekat, wajah bulat, bola mata seperti rembulan di kala purnama. Yang beda hanya busananya, saat ini ia mengenakan kemeja hitam serta bercelana levis berwarna hitam. Rambutnya tak sebahu, tapi terlindungi kain jilbab yang juga berwarna hitam. Ia melintas di sampingku. Matanya mengerling kepadaku, ia tak menyapa, namun hanya senyum. Saat senyum nampaklah lesung pada kedua pipinya.
“Vita…Vita….”. Aku tak bersuara, tapi membisu, namun batinku berteriak, meneriakkan nama mahluk imajinerku itu.
9 Agustus 2006
0 komentar:
Posting Komentar