semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Lubang Angin..


Mungkin karena pengaruh lingkungan akademis yang cukup dinamis, lungkang yang kebanjiran air ilmu, berkawan sama orang-orang yang haus ilmu, aku mulai keranjingan baca buku-buku berbau ilmiah. Hipotesa-hipotesa kadang berseliweran dalam kepala, mengetuk-ketuk dan rasa haus ini makin menjerat, membuatku kelelahan dalam mengejar matahari bernama ilmu. Mencarinya membuatku kian larut, tenggelam dalam kesunyian dan kesendirian. Aku berbicara pada diri sendiri, menilai sesuatu tanpa pernah mengungkapkannya, menganalisis masalah yang hanya mengawang-awang di batok kepala. Ilmu itu kian melebar, mengepak-kepakkan sayapnya, hendak terbang dan menjauh dari sangkarnya.

Rasa gelisah menimbulkan kegetiran yang dalam. Ketekunan yang terabaikan, membuatku jauh dari lingkaran realitas. Mimpi-mimpi yang lahir dari perenungan akan kualitas, minat, lingkungan, dan pengaruh intensitas keseharian, membuatku bimbang akan masa depan. Mimpi yang akhirnya membawaku ke titik bifurifikasi, pilihan yang cukup menyulitkan. Lingkungan luar dan dalam pun aku kalaborasi, karena ku tak mampu untuk mengambil keputusan dengan lugas. Sintetis dari jiwa yang seimbang, ilmiah, sastra, kanan-kiri, atas-bawah, menyatu padu dalam ramuan hati dan otak.

Entah karena apa, ilmu-ilmu itu tak dapat aku organisir untuk dipelajari. Aku belum mampu mengkoordinir apa-apa saja yang menjadi prioritas dalam menelaah ilmu. Untuk saat ini begitu banyak pilihan, dan semuanya sepertinya sreg untuk di dalami. Namun masalahnya kalau begitu, tak akan ada yang fokus. Mulai dari materi kuliah yang sudah bejibun banyaknya, masuk lagi ke dunia penulisan secara umum yang tak terkira pula jenisnya, informasi umum yang tercetak di koran-koran juga butuh perhatian.

Aktivitas himpunan berupa perkaderan juga menjadi tanggung jawab, termasuk peningkatan budaya tulis lewat media Pesiar (Pers Mahasiswa Perikanan) dan identitas yang tak boleh dilupakan. Pembentukan LINEA (Lembaga Penelitia dan Ilmu Pengetahuan) juga tak dapat ditinggalkan begitu saja. Tugas-tugas ini harus dikontrol setiap saat, dengan jarak waktu yang dekat, setipis silet. Menurutku ini saja belum cukup untuk meningkatkan kapasitas berlebih, butuh lebih banyak keahlian lain, termasuk keahlian mengutarakan pendapat yang masih menjadi batu sandunganku hingga saat ini, ketegasan dalam mengorganisir kelompok, serta kealian profesi perikanan yang minim. Tapi, ini pula yang menjadi motivasi saya untuk terus berjuang melawan waktu, aku terus berusaha untuk mengatur waktu agar semuanya dapat jatah. Aku pun senantiasa belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan kini usaha itu sedikit membuahkan hasil. Mudah-mudahan semester ini hasil akademikku lumayan baik disertai aktivitas luar yang juga dapat berjalan lancar.

Mungkin aku ini sudah ditakdirkan untuk memahami semuanya secara holistik, sistemik, kompleks. Ruginya aku tak terlalu fokus pada bagian-bagian tertentu, menggali salah satu bakat untuk menjadi kendaraan menuju singgasana kesuksesan. Tak apa-apalah, mungkin itu sudah anugerah, makanya aku tak pernah menyesal akan semua tindakan yang kulakukan, karena itu semua akan menjadi bahan, ulasan, untuk dijadikan ramuan sistemik, teori holistik.

Seperti yang dibahasakan di atas, semester VI ini banyak sekali yang butuh perhatianku. Waktu yang dulunya tak terlalu berarti, kini malah menjadi cambuk untuk berbuat lebih. Tak ada kesempatan untuk lari, karena buat apa kita lari dari waktu, karena kehidupan itu sendiri adalah waktu. Tak sanggup rasanya untuk menyia-nyakan waktu, ia telah menjadi belahan jiwaku, kendaraanku untuk merebut impianku itu.
Terus terang saja bahwa aku ingin jadi penulis, penulis apa saja, mulai dari cerpen, essai, berita, novel ataupun tulisan ilmiah. Makanya seluruh tenagaku aku kerahkan untuk mempelajari apa saja untuk mengasah kemampuan menulis. Membaca apa saja untuk menambah imajinasi dan membantu dalam membangun sistematika tulisan yang baik. Karena ku pikir menulis adalah proses, ia tidak bisa jadi begitu saja, tidak given, butuh waktu yang panjang. Dan untuk itulah aku gunakan waktu, memanfaatkannya agar secepat mungkin aku dapat menjadi penulis handal.

Tapi, saat ini keraguan itu kian membesar, membengkak seperti balon udara yang terus diberi angin. Aku makin ragu terhadap kemampuanku, ilmu yang selama ini kupupuk rasanya makin tergerus, terkikis tak tahu perginya kemana. Aku sempat merenung, mencari-cari penyebab raibnya pundi-pundi ilmu yang kutimbun. Berusaha menulusuri alam masa silam, mengkorek-koreknya, mensintesis dengan kejadian masa kini. Namun hasilnya nihil, tak ada bukti bahwa aku pernah kenal dengan sesuatu, otakku barangkali sengaja menyembunyikan hal itu. Karena itu, aku pun terus mencari harta-harta yang tertimbun dalam memoriku itu. Kusadari pula bahwa prosesnya tak berubah, pola juga tetap sama, cuma struktur yang menjadi sumber kebimbangan. Apakah sturktur ini kian mapan, stabil, atau malah chaos, buyar lantaran tak pernah fokus pada titik ilmu.

Sering kali aku bertanya-tanya, membatin dan berkelabat dengan pikiranku. kenapa aku melupakan bagian ini, kenapa hal sepele seperti ini tak dapat aku tuntaskan? Bagaimana proses ini bisa terjadi dan bagaimana keadaannya sekarang? Pertanyaan itu tak dapat kujawab, aku hanya berputar dalam proses pengulangan dan pencarian masa lalu, mengingat-ingat hal-hal yang telah berlalu dan lupa akan kejadian yang terbaru. Hal ini berlangsung dengan kemalasanku menyentuh koran, mendengar berita di media cetak, dan merambah dunia baru.

Benar.. aku hanya berkeliling, mengitari hal-hal yang tak perlu. Aku membela-bela diriku, memanja-manjakannya dengan aktivitas usang, dan tak ingin terlibat dengan kegiatan menjemukan. Buktinya aku tak yakin dengan diriku, apakah bisa menjadi seperti yang kuimpikan? Ini masih tanda tanya besar!!!

Satu lagi yang membuat lubang angin itu terus melebar, ia mulai menyusup dan mengempeskan semangatku. Kemampuan dalam transformasi ilmu yang tak aku punya, aku tak mampu berkata-kata, melontarkan sebait informasi yang mengawang-awang di kepala. Kalau berbicara, aku mirip anak SD yang belajar membaca, tak mampu mengait-ngaitkan informasi dan melakukan pengolahan. Jadinya, aku tahunya mendengar, mendengar saja. Sekadar jadi objekan tempat orang-orang beraktualisasi, menumpahkan ilmunya dengan lirik, dan tekanan yang berbeda. Sampai-sampai kupingku merah, hati gundah gulana, namun mulutku masih tersenyum dan mata tetap menatap.

Puncaknya, aku seperti tak tahu apa-apa, aku bagai anak kecil umur belia yang terus bertanya sama bunda tentang sesuatu di luar dirinya. Tapi, daya tangkapku jauh dibanding anak kecil, kalau adik kecil informasi itu terus ia simpan, kait-kaitkan dan terus berlangsung, kalau aku cuma menangkap dan kemudian lepas lagi.

Awal 2007
Idham



0 komentar:

Lubang Angin..