1 minggu yang lalu
“Prittt, Parkir Boss”
Hari ini tersimpan sepotong rasa kesal, yang sempat menyumpal di ubun-ubun. Sayangnya bukan terhadap orang-orang besar yang lumrah nyeleneh, tapi terhadap orang-orang kecil yang biasanya selalu kita bela. Tentu paradoks ini membuat saya marah, lantaran tak tahu marah itu mau dilampiaskan pada siapa, apakah dengan terpaksa pada orang-orang kecil itu? Orang-orang yang mental dan karakternya tercemari oleh keresahan menjalani hidup, yang mungkin sudah kehilangan orientasi akan gemilangnya masa depan..?
Bagaimana tidak, kantong saya yang memang sudah cekak sejak beberapa hari, dipeloroti lagi oleh pungutan-pungutan tukang parkir. Pagi tadi, saya meminggirkan motor di halaman parkir bantimurung, tiba-tiba seorang pemuda menempelkan stiker kecil bernomor yang ditulisi pakai pulpen, dan menyodorkan potongan kecil papan tripleks bernomor. Lalu, dengan tanpa perasaan meminta duit Rp. 5 ribu rupiah. Saya katakan, “mahal sekali boss,” dia tidak menjawab, tapi saya pun tak ingin melanjutkan ekspresi kejengkelan itu. Saya lihat ke sekeliling, banyak pemuda yang nongkrong di sekitaran motor yang terparkir, pikir-pikir, kalau saya protes, bisa jadi malah jongos dan justru masuk perangkap buaya. Benak mendongkol, “begitu mahalnya harga sebuah rasa aman.., hemm, ditempat-tempat umum lain ongkos parkir hanya seribu, kok di sini 5 ribu,..”.
Sorenya saya ke Makassar, tetap dengan kantong yang sudah cekak, malam hari lapar mendera dan mencari santapan murah. Saya singgah di warung coto parekatte dekat pompa bensin pintu I Unhas, maklum, harganya cukup miring, cukup 7 ribu rupiah kita sudah merasa puas. Namun, ketika memberi uang, uang lima ratusnya diganti dengan dua buah gula-gula.. hati lagi-lagi mendongkol, uang kok sekarang dalam bentuk gula-gula, dan saya bukan penggemar gula-gula.. hahaha.. keluar dari warung coto, naik ke atas motor langsung dapat sumpritan, eh, dari tukang parkir yang tidak pake baju parkir. Dia berdiri-berdiri di samping motor dengan entengnya, dia tidak tahu kalo bisa jadi uang dalam kantongnya lebih banyak dibanding uang di kantongku. Tapi, apa mau dikata, saya tidak mau juga dengan jujur meminta-minta untuk tidak dipajak lagi.. terpaksa saya beri uang seribu rupiah..
Saya tak tahu, apakah kejengkelan saya ini berdasar, signifikan dan sesuatu yang penting untuk dipikirkan? Apa gunanya sih memikirkan uang seribu atau dua ribu rupiah, dari pada hati kita mendongkol sedikit-sedikit akibat uang yang sebenarnya sepele itu. Pastinya, kejengkelan itu hadir, mungkin karena hak-hak kita serasa dipotong, termasuk hak terhadap rasa aman itu. Apalagi kalau rasa aman itu sama harganya dengan sebungkus nasi ikan atau seliter bensin.
Beberapa hari lalu, saya singgah pada sebuah travel, teman saya masuk memesan tiket dan saya menunggu di luar di samping motor teman saya itu. Tiga menit kemudian dia keluar, cukup cepat karena dia tak jadi memesan tiket. Tiba-tiba bapak berjaket kuning datang dan dengan wajah tak bersalah meminta ongkos parkir, teman saya yang pengusaha itu dengan entengnya member seribu rupiah. Dalam tiga menit itu, saya pun melihat bapak tukang parkir tak ada di tempat, tapi cukup jauh. Dalam kondisi itu, saya betul-betul tak mengerti,, apakah pungutan itu untuk membayar sebuah rasa aman atau apa? Atau kah sekadar untuk memberi nafkah seorang bapak yang mengerti bahwa dengan bermodal jaket kuning dapat mengisi hidupnya dengan tanpa meneteskan banyak keringat.
Piker-pikir, kalau seperti itu, bukan lagi ketakutan terhadap rasa aman, justru kita malah jengkel terhadap orang yang menawarkan rasa aman itu. Karena kalau ditimbang-timbang, tanpa mereka, kita juga tetap merasa aman dan mungkin lebih merasa aman. Mereka seakan-akan menjadi momok, soalnya timbul perasaan telah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tak ada timbal baliknya. Toh, kalau helm kita hilang atau mungkin motor kita, mereka juga tak dapat berbuat apa-apa.
Saya bingung dengan momok sesepele ini, kalau mau dipikir lebih jauh, ini bukan persoalan person, tapi mungkin sudah masuk dalam ranah sistem sosial. Soalnya, di negeri-negeri maju, sangat jarang ditemukan juru parkir yang otodidak maupun yang professional. Orang-orang yang punya kendaraan dengan sendirinya memarkir kendaraan tanpa ada panduan juru parkir, dan mereka bebas menempatkan kendaraannya di ruang publik, tanpa ada tagihan dari para tukang parkir. Mungkin di sana, sudah sulit ditemukan orang yang mau jadi tukang parkir. Sementara di Makassar atau Indonesia ini, sangat banyak orang yang tidak punya pekerjaan melihat halaman sebuah ruang public menjadi lahan untuk mencari uang. Jadi persoalannya terletak pada peluang pekerjaan dan juga mental para pekerja kita.
Tulisan ini merupakan tulisan refleks, tapi bukan sebuah refleksi seperti yang biasanya. Toh, bagaimana pun kita tak boleh menyumpah-nyumpahi orang-orang kecil, lantaran dengan begitulah mereka memaknai dan berjuang untuk hidup. Mungkin tingkah itu sebagai eksponen dari kebingungannya menemukan bentuk ideal untuk sekadar mengisi perut dan mengepulkan asap rokok.
Setidaknya, kita tahu, bahwa munculnya rasa tidak aman terhadap kendaraan telah membuka sebuah lapangan pekerjaan yang cukup mudah bagi sebagian orang di negeri ini. Toh pemerintah dengan legowo memberikan jatah bagi para tukang parkir untuk memajak para pengguna sepetak tanah di halaman ruang public (warung, kantor, bank, atm).
Walau cuma singgah barang dua menit untuk cek uang di atm.. apalagi kalau uang yang kita tunggu-tunggu itu belum muncul di layar ATM, saat keluar menggas motor tiba-tiba ada sumpritan.. pritt pritt.. bagaimanakah perasaan Anda?
Warkop Mammiri, dini hari
26 September 2011
0 komentar:
Posting Komentar