“Dalam menjalankan tugas, saya biasa
diolok-olok oleh warga sebagai kader pengumpul karra’ (dahak)”.
Bagi Karmila,
42 tahun, memberantas tuberculosis di Karuwisi Utara adalah cita-citanya. Gerakannya
gesit, tutur kata getas, ibu yang tampak jauh lebih muda dari usianya ini
seakan tak habis tenaga untuk menemukan suspek di lorong-lorong Karuwisi. Kini Karmila
telah menemukan 55 suspek penyakit nomor tiga di dunia, setelah penyakit
jantung dan pernafasan akut.
Ia resmi
menjadi kader ‘Aisyiyah sejak ikut training TB di Hotel Bumi Asih pada Desember
2010. Dari situ ia memulai mendekati warga melalui ruang-ruang sosial, seperti
pengajian, arisan dan penyuluhan. Apalagi saat ini Karmila memimpin KGM
(Kelompok Gizi Masyarakat), membuatnya semakin dekat dengan warga. Setiap
sosialisasi KGM, ia selalu gandengkan dengan penyuluhan TB.
Sebelum
mengabdikan diri untuk para penderita TB, Karmila sempat mencoba menjadi kader
HIV AIDS. Tapi niat sucinya tak bertahan lama, cuma tiga bulan ia bertahan dan mengundurkan
diri karena merasa tugas kader HIV sangat berat. Keinginannya untuk selalu
menolong ini sepertinya sudah terpupuk sejak usia muda, pada umur 18 tahun ia
memulai karir sebagai petugas posyandu. “Pernah sekali membantu orang
melahirkan, jadi untuk mengumpulkan dahak saja tak merasa takut dan jijik,”
ujar Ibu yang pernah penghargaan dari Ilham Arif Sirajuddin, Walikota Makassar
sebagai kader terbaik komunitas TB Aisyiyah tahun 2012. Sebelumya, ia pernah
juga dapat hadiah paket panci dari pengurus Aisyiyah sebagai kader berkualitas.
Sepanjang 2011
Karmila menemukan 35 suspek. Tapi Maret lalu Karmila mengejutkan. Sebanyak 20
suspek ia jaring setelah menelusuri lorong RW 1, 7, dan 8, Karuwisi Utara dalam
rentang waktu hanya sepekan. Karmila menyisir pemukiman berdasar dari laporan
keluarga suspek saat penyuluhan. Dalam seminggu itu pernah dalam sehari dapat
enam suspek sekaligus. “Yang kewalahan mengani suspek justru petugas kesehatan
(Puskesmas Ujung Pandang Baru),” celoteh Karmila.
Dalam mencari
suspek, banyak suka duka yang ia peroleh. Pernah suatu ketika ia mendatangi
rumah bapak tua yang sering batuk-batuk. Lama ia berdiri di depan pintu rumah,
tapi tak seperti tak terdengar. Ternyata bapak itu seorang tunarungu, sehingga
Karmila kesulitan cara untuk menyampaikan informasi. “kita menyuruhnya untuk
mengeluarkan dahaknya esok pagi, ia malah mengeluarkan dahak saat itu juga,”
kata Karmila sembari tertawa.
Ada
juga Dg. Mappatompo. Ia sangat rewel dan egois. Karmila Sering katakan bahwa
peralatan makan harus dipisah, karena nanti tertular sama anak dan cucu, tapi
ia selalu protes. Kemudian, anaknya kita ajak jadi PMO (Pengawas Menelan Obat)
untuk menjaga rutinitas pengobatan bapaknya. Sekarang Mappatompo dipisah di
bawah kolong rumah, pengobatan pun mulai lancar setelah sempat terputus.
“Banyak karakter yang kita dapatkan dari para penderita, ada yang suka
marah-marah, ada yang pendiam, ada juga yang cepat akrab,” ungkap wanita
kelahiran Makassar ini.
Sejauh
ini, ada enam pasien yang Karmila pantau proses penyembuhannya. Sudah empat
orang yang sembuh, satu orang pengobatannya terputus lantaran keluar daerah,
tapi sekarang memulai pengobatan lagi. “penderita ini kebanyakan adalah perokok
aktif, suka minuman keras, selain itu kebanyakan mereka orang miskin dan
tinggal di pemukiman padat penduduk,” lanjutnya.
Tentang
pekerjaannya ini, Karmila kadang mendapat sorotan tak sedap dari keluarga. Tapi
sekarang ceritanya sudah lain, pihak keluarga bahkan mendukung setiap langkah Karmila.
Hanya saja, Karmila harus hati-hati dalam menjalankan tugasnya, seperti jika
melakukan wawancara dengan penderita, ia harus menjaga jarak dan harus di luar
rumah agar terkena sirkulasi udara lancar. Dahak-dahak yang dikumpulkan saat
survei pun tak boleh ia simpan di dalam rumah, tapi harus di beranda luar.
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid 'Aisyiyah Care'
0 komentar:
Posting Komentar