Alfius (40),
guru untuk anak-anak Desa Lawe. Kalau di Belitung ada Ibu Muslimah tokoh
pendidikan Laskar Pelangi, maka di Lawe ada Alfius. Saat ini ia diangkat
sebagai Kepala Sekolah dengan status guru honor untuk sekolah Dasar Bala
Keselamatan, sekaligus kader pendidikan program PNPM Peduli untuk layanan
Hak-hak dasar.
Pada tahun
2003 Alfius kembali ke Lawe. Saat itu ia cuti kerja di sebuah perusahaan
pengeboran minyak di Samarinda untuk melihat keluarga dan kampung halamannya di Lawe, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Orang tua mulai sakit-sakitan dan menganjurkan untuk menikah, ia pun menikahi
gadis Lawe bernama Serli. Sejak itu ia tidak kembali ke perusahaan dan mungkin
selamanya akan menetap di Lawe. Salah satu alasan yang memperkuat tekadnya
bertahan di Lawe yaitu melihat mirisnya kondisi pendidikan ‘anak bangsa’, yang
setelah 67 tahun Indonesia merdeka, masih ada anak yang tidak sekolah.
Menurutnya, kita ini kembali ke belakang, kondisi sebelum merdeka.
“Saya
menyaksikan sekolah itu hanya menjadi sarang rumput dan kandang kuda,”
lirihnya. Selama dua tahun, pada 2001 – 2003, pendidikan di Lawe mandek,
sebanyak tiga generasi otomatis tidak menikmati pendidikan. “Saya berfikir,
kalau saya punya anak, sekolahnya nanti dimana?” Pertanyaan inilah yang menjadi
dasar perjuangan Alfius dalam memperjuangkan pendidikan di Lawe. ia kemudian
menawarkan diri ke Dinas Pendidikan Kab. Sigi untuk mengabdi sebagai guru di
sekolah Bala Keselamatan.
Tahun 2004,
Alfius mulai membenahi sekolah. Ruangan dipenuhi rumput dan kotoran kuda. Dengan sigap ia mengumpulkan anak-anak se desa
yang putus sekolah untuk membantu membersihkan sekolah. “Saat itu tak ada kapur
sebiji pun, saya tugaskan anak-anak untuk mengumpulkan kapur satu orang sebiji.
Untuk papan tulis kami cat mengunakan karbon dari baterai yang dipecahkan,”
kenang Alfius. Saat itu masih ada dua buah bangku, tiga meja, dengan murid awal
30 orang, sehingga sebagian murid belajar dengan berdiri. Kemudian ia berembuk
dengan warga untuk penyediaan bangku sekolah. Disepakati satu kepala keluarga
satu bangku.
Masalah lain
adalah buku, Alfius berangkat seorang diri untuk meminta permohonan pengadaan
buku ke Dinas Pendidikan. ia pun membawa pulang segepok ‘ole-ole’ buku untuk
anak-anak Lawe. Di dinas pendidikan Alfius kaget, ternyata di Dinas Pendidikan
masih ada laporan bulanan sekolah yang terus dilaporkan oleh Kepala Sekolah
(sebuah sekolah di Pipikoro). “saya turun balik ke Dinas Pendidikan untuk
mengambil daftar hadir dan mencocokkan nama yang ada di daftar hadir milik
kepala sekolah, ternyata namanya tidak cocok. Kesempatan berikutnya saya ajak
kepala desa untuk meyakinkan Dinas. Akhirnya kepala sekolah itu diskorsing enam
bulan, lalu diturunkan statusnya menjadi guru bantu di daerah lain,” celoteh
Alfius.
Sekolah yang
dipimpin Alfius bertahan hingga hari ini, sekarang memiliki murid sebanyak 89
orang. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan, tapi pihak yayasan
sepertinya tutup mata terhadap keadaan sekolah ini. Alfius pernah menanyakan
honornya pada pihak yayasan. “Kata pengurus yayasan, honor yang Rp. 90 ribu
perbulan itu hanya boleh diambil di Palu. Saya bilang, ambil saja honor itu,
biar saya saja yang urus sekolah di Lawe,” cetus Alfius. Bagaimana tidak, honor
sebegitu kecil, perjalanan ke palu saja membutuhkan ongkos lebih dari seratus
ribu rupiah. “tiap tahun yayasan ambil foto, tapi tetap tidak ada bantuan.
Sepertinya surga ada di telinga saja”.
Berulang kali
ia mendatangi DPRD Komisi C (bagian anggaran) di Kota Palu untuk memperjuangkan
nasib sekolahnya. Ia memperlihatkan foto-foto sekolah, lalu mengusulkan untuk
pendirian bangunan baru. Puji tuhan, Alfius memperoleh dana pembangunan sekolah
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar RP. 127 juta. “Saya
tak segan-segan mendatangi anggota dewan, karena saya tahu janji-janji mereka,”
ujar Alfius. Saat itu, yang dianggarkan adalah rehabilitasi. Tapi ia menjelaskan
kalau sekolah ini tidak ada pondasinya karena beralaskan tanah. Sehingga
diizinkan untuk membuat bangunan baru. Kini, sekolah itu sementara dibangun,
sekarang sudah tampak pondasi semennya. Saya tidak membayangkan, bagaimana pasir
dan semen itu bisa didatangkan ke Desa lawe, negeri di pinggir awan ini.
Kini Alfius
ditemani Warens Cristopher mengajar di sekolah. Warens adalah mantan muridnya
yang sudah tamat sekolah menengah atas. Mereka berdua rencananya akan
melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dengan mengambil sekolah jarak jauh. Sejak
sekolah ini dipimpin Alfius, murid-murid sekolah ini dari tahun ke tahun lulus
seratus persen, walau pelaksanaan ujiannya di daerah lain, yaitu di Onu. Dan
seorang muridnya yang bernama Adrianto (13 tahun, sekarang sudah tamat SD)
pernah menyabet juara satu lomba matematika se Pipikoro.
Sejak lima bulan lalu, Alfius
turut mengabdikan diri sebagai kader pendidikan di program PNPM Peduli. Ia
mengajar anak yang putus sekolah dan lebih banyak orang dewasa mengenai
pengetahuan dasar, yaitu membaca, menulis dan menghitung. Kini ia memiliki
murid informal sebanyak 18 orang. alfius mendatangi rumah murid-muridnya,
dengan pola jemput bola. Misalnya ada ibu rumah tangga memasak di dapur, ia
mengajari ibu itu hitung-menghitung sesuai bahan dapur yang ada. “untuk orang
dewasa, kami menerapkan sistem pembelajaran melalui diskusi. Mereka bukan lagi
anak-anak yang harus dipaksa, kita memasuki mereka saat ada waktu luang serta
menghargai diri mereka,” tambah Alfius.
Alfius
bertubuh kecil, tapi sesungguhnya ia orang besar, tersembunyi di pinggir-pinggir
gunung, “Saya akan mengabdikan diri untuk pendidikan Lawe hingga liang lahat!”
gemanya garang.
Tulisan ini hasil Peliputan untuk program PNPM Peduli,
Sulawesi Community Foundation (SCF)
0 komentar:
Posting Komentar