Wacana
penebangan liar (illegal logging) di Indonesia tak terpisahkan dari jejaring
perdagangan global. Permintaan kayu berkualitas dari Indonesia bak air deras
dari negara-negara maju, hingga mendorong para pemilik ijin pemanfaatan hutan
dan industri untuk berlomba mengikis hutan. Walhasil, sejak dikeluarkannya
Undang-Undang Dasar Kehutanan tahun 1960-an yang menyatakan kekuasaan negara
atas seluruh jengkal hutan, hutan Indonesia yang luasnya sebesar 133,57 hektar
dalam 50 tahun terakhir telah berkurang separuhnya.
Sisi
lain, isu global warming yang dimulai dari Protokol Kyoto tentang perubahan
iklim, telah menyadarkan warga dunia akan pentingnya menjaga lingkungan, dalam
hal ini kelestarian hutan. Efek dari gelombang isu itu salah satunya
mempengaruhi format perdagangan kayu di dunia, salah satunya dengan
diperkenalkannya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia.
Komitmen Indonesia atas penumpasan perdagangan kayu
liar serta pemanfaatan hutan secara berkelanjutan mengharuskan Departemen
Kehutanan menerapkan Tata Kelola Kehutanan (Forest
Governance), penegakan hukum (Law
Enforcement) dan
promosi perdagangan kayu legal (Promoting
Legality Timber). Hal ini berlanjut dengan dikembangkannya Sistem
Jaminan Legalitas Kayu (The
Indonesian Timber Legality Assurance System – Indo-TLAS) yang disusun berdasarkan prinsip governance, credibility, and
representativeness. Indo-TLAS lalu diterjemahkan
menjadi Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK), yang dikembangkan melalui
serangkaian konsultasi terbuka antara pemangku kebijakan (stakeholder) untuk memastikan keseimbangan antara pemerintah,
industri dan masyarakat sipil. Proses ini bersifat transparan dan akuntabel
untuk membangun kepercayaan masyarakat
internasional yang
diikuti dengan peningkatan investasi pada sektor kehutanan.
SVLK merupakan sistem penjaminan
ketaatan pemegang izin/hak pengelolaan hutan dalam pemenuhan kewajibannya pada
aktivitas penebangan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran hasil
hutan kayu sebagai landasan keberhasilan pengelolaan hutan lestari. SVLK didasarkan pada pendekatan sertifikasi, meliputi penilaian
kinerja (sertifikasi) PHPL dan verifikasi legalitas kayu. Sistem ini
diperkirakan dapat menurunkan laju deforestrasi dan penebangan liar.
Dari catatan
Kementrian Perdagangan RI, ekspor kayu dan barang dari kayu Indonesia mengalami
penurunan pada tahun 2009, lalu mengalami peningkatan lagi pada 2010. Penurunan
terjadi akibat berkurangnya permintaan pasar dunia terhadap kayu Indonesia.
Penurunan itu selain karena krisis ekonomi global, juga disinyalir karena
tuduhan bahwa kayu Indonesia menggunakan kayu ilegal. Sementara kenaikan pada
2010 karena situasi keuangan global makin membaik. Isu ini pun memaksa pemerintah
dan para pengusaha untuk menerapkan sistem legalitas kayu atau membuktikan
bahwa kayu yang ditawarkan merupakan kayu legal.
Negara
tujuan ekspor kayu-kayu Indonesia yang telah menetapkan aturan tentang
penerimaan kayu legal, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Ekspor
produk kayu terbesar adalah negara Uni eropa sebanyak 33 %, kedua adalah Jepang
sebanyak 23 %, disusul Amerika sebesar 18 %.
Pada 4 Mei
2011, Menteri Kehutanan RI dan Uni Eropa melalui Komisioner Perdagangan Uni
Eropa menerbitkan pernyataan bersama sebagai komitmen penerapan awal FLEGT-VPA
(Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement)
Indonesia – Uni Eropa. Juni 2009, Kemenhut menerbitkan Peraturan Menteri
Kehutanan mengenai Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produk Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kesepakatan FLEGT – VPA
Indonesia – Uni Eropa merupakan bentuk pengakuan Uni Eropa terhadap SVLK
Indonesia. Uni Eropa akan menjamin akses yang bebas dan tak terbatas bagi
seluruh produk kayu berlisensi FLEGT yang datang dari Indonesia.
Standar dan
kriteria penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lesatari dan verifikasi
legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak ini awalnya diatur
melalui Permenhut P.38/Menhut-II/2009. Kemudian pada 2011 dilakukan perubahan
atas Permenhut tersebut, dalam Permenhut P.68/Menhut –II/2011. Sementara
Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.26/Menhut-II/2005 memuat Pedoman
Pemanfaatan Hutan Hak, atau hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani
hak yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang lazim disebut
hutan rakyat.
Sejak
tahun 2011 hingga pertengahan 2012 ini, SVLK mulai di kenal di Sulawesi. Tiga
industri di Sulsel dan sebuah Asosiasi Pengelola kayu Rakyat di Bulukumba,
serta sebuah Koperasi hutan Jati Muna (KHJM) Sultra sementara ini
dalam pendampingan menuju sertifikasi dan dalam pendampingan Sulawesi
Community Foundation (SCF). Jika mereka sudah disertifikasi, maka sudah ada
jaminan bahwa kayu-kayu yang diperjualbelikan merupakan kayu legal dan tidak
diperoleh dari kawasan hutan negara. Selain itu, petani kayu akan lebih paham
nilai kayunya, sehingga tidak mudah dipermainkan lagi oleh pedagang. Kayu yang
ia tebang dapat langsung ia jual ke asosiasi dan koperasi yang anggotanya juga
merupakan para petani itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar