Hujan tiba-tiba mengguyur,
padahal sebelumnya langit masih terlihat terang. Dokter Rijal yang baru saja
keluar dari Rumah Sakit bergaya Romawi itu terpaksa kembali masuk ke bangsal.
Noda tanah membulat di ujung celana panjangnya. Sepatu hitam pantopel itu pun
menjadi kusam akibat debu yang basah. Ia duduk-duduk di bangku panjang,
menetakkan kacamatanya, menyapu debu-debu cair di lengannya. Di sampingnya
duduk anak kecil yang matanya sayup. Mata berwarna madu yang cemas nan
memesona. Namun, entah mengapa anak itu bergeser menjauh, kakinya ia seret
pelan semakin mendekat dan menggandeng tangan ibunya.
“Ibu, anak ibu sakit apa?” Rijal
bertanya dengan terbata-bata. Suaranya sedikit ia keraskan untuk menandingi
bunyi hujan.
Sang ibu tak menoleh, iya tetap
serius dengan majalahnya. Tapi sang anak-lah, yang tiba-tiba menyambut. “Muka bapak
begitu pucat, Pak dokter kurang sehat”. Suara pelan, nyaris tak terdengar tertutupi
gurau hujan.
“oh.. iya, tadi malam saya telat
tidur, kamu tahu, teori Lacan menganggu saya semalam”.
“ah, dokter tampaknya terlalu
banyak pikiran.”
“Mungkin begitu nak, beberapa
hari ini ada masalah di rumah. Siapa namamu nak, siapa yang sakit, kamu atau
ibumu?”
Anak itu tak sempat menjawab, ia
tiba-tiba ditarik oleh ibunya, bergerak menjauh. Tapi, ada yang tertunda
diantara mereka, gerakan berlawanan namun tak putus oleh tatapan. Tatapan yang
sebenarnya tak diinginkan oleh anak itu.
Rijal membolak-balik
kesadarannya. Ia terpincut oleh tatapan cemas anak itu. Jiwa penasarannya
sebagai dokter mencuat, kenapa anak sekecil ini bisa begitu murung bak profesor
tua? Kenapa ia yang selama ini dekat dengan anak-anak, tiba-tiba dihujam
tatapan sinis? Sejak itu, ia mulai merasa ada yang berbeda. Ia merasa berada di
alam lain. Terperangkap dalam labirin dengan tabir suram.
**
Ia mengingat istrinya yang sepekan
ini murung dan menjauh. Padahal, sebelum kejadian itu, ia sempat makan bersama
dan berdansa dengan istrinya. Setiap malam ia pulang ke rumah, ia mendapatkan
istrinya yang bernama Hana itu bersandar lemas menatap televisi. Atau dengan
kening berkerut melihat foto-foto kenangan. Pernah ia mengintip istrinya yang
tanpa busana menyanyi miris di dapur, menumis kangkung kesukaannya. Ia tak
mengerti apa yang terjadi, di tengah kesedihannya, Hana tak mau sepatah kata
mengajaknya berbincang. Dengan terpaksa Rijal hanya menggiringi Hana tiap malam
ke kamar tidur, menikmati mata istrinya yang dengan pelan-pelan meredup.
Seminggu lalu, di petang yang
hangat, mereka mengunjungi sebuah pesta seorang sejawat dokter yang baru saja
mendapat beasiswa ke luar negeri. Rijal dengan angkuh menggandeng lengan Hana.
Hana yang melangkah bak Ratu Khaterina yang Agung, yang dengan sengaja
menyentak-nyentakkan sepatu merahnya. Mereka pun mendapat sambutan hangat dari
kawan-kawan dokter.
“Hana, kamu cantik sekali, Rijal
beruntung mendapatkan kamu!” bisik Rita, Dokter Spesialis Anak, teman kuliah Rijal.
Hanya hanya tersenyum,
memperlihatkan barisan giginya yang kecil dan jarang. Senyuman yang jujur
dengan mata terang memantul cahaya. Hana memesona teman-teman Rijal, dan
menjadi buah bibir pembicaraan kala itu. Ia dengan polos menceritakan kisah
perjalanannya berdua dengan rijal ke beberapa kota. Tentang tasnya yang terlupa
di dalam bus dan memaksa rijal mengejarnya berlari dan berteriak-teriak di
antara orang banyak. Tentang anak anjing yang ia selamatkan dari comberan,
tentang makanan yang pedasnya minta ampun dan membuatnya minum terlalu banyak,
sehingga semalaman ia tak bisa tidur karena selalu menahan kencing.
Dokter-dokter dibuatnya tertawa, anggur dan remah roti pun menemani pesta
mereka di sebuah restoran pinggir jalan itu.
“kamu tahu kenapa Rijal sering
terlambat ke rumah sakit?” para dokter ramai-ramai menjawab tidak tahu. “Karena
kami lagi menunggu kedatangan tamu, dan ia selalu menjenguknya pada subuh hari,”
paparnya tanpa malu. Rijal-lah yang justru tersipu-sipu. Istrinya membuka
rahasia dapur. tapi, kali itu ia memaafkan Hana yang ditatapnya memang tanpa
noda. Ia pun menimpali, “Kadang kalau sudah dijenguk, ia selalu minta tambah,”
kelakarnya. Restoran kembali lagi merona.
Rijal pelan-pelan menjauh, ia
mendapat telepon dari seorang kawan. Tanpa sengaja ia melenggang di pinggir
jalan. Dari jauh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju menujunya. Dan ia
tidak menoleh.
**
Rijal melihat anak itu lagi di
rumah sakit, dan menguntitnya. Anak yang berumur delapan tahun itu duduk
sendiri di bangku putih, ibunya terlihat sibuk mengurus surat administrasi.
anak yang belum diketahui namanya itu sedang asyik memainkan orang-orangan
berupa tentara dan sosok spidermen. Menghentak-hentakkan, melayang-layangkan
spidermen, berimajinasi bersama tokoh idolanya itu melompat-lompat di antara
gedung-gedung pencakar langit. Rijal pun mendekatinya dan kembali menanyakan
namanya.
“Nama saya Harun” jawabnya ketus.
Ia melanjutkan permainannya. Namun seketika diam dan menoleh ke arah yang jauh.
“Nak, saya tak mau mengganggu mu,
tapi sebagai ‘dokter anak’ saya punya kewajiban untuk mengetahui keadaanmu.
Kamu sakit apa nak?”
“Saya sehat Dok, ibu yang sakit. Kata
dokter ibu mengalami gejala tipes. Ibu juga beberapa hari ini sulit tidur”.
“Kalau ayah mu, kemana Run?” Rijal
bertanya sambil membungkuk.
“Ayah sudah tidak bersama kami,
enam bulan lalu ibu berpisah dengan ayah. Dulu mereka sering bertengkar. Tapi
saya sayang sama ayah,” ucap Harun bernada sedih, namun masih terkesan datar.
Harun anak yang pendiam dan jarang berkomunikasi dengan orang tuanya. Ibu dan
bapaknya pun demikian. mereka mengira anaknya baik-baik saja. mereka senang
dengan ketenangan anaknya, yang sebenarnya diliputi kemuraman dan gelisah.
Harun pun menikmati kesendiriannya, dengan ditemani mainan, ia pun dengan bebas
berimajinasi tentang perang, tentang penyerbuan, penyergapan, tentang
orang-orang yang mati terperangkap dalam kamar gelap. Harun menciptakan
dunianya sendiri, dunia yang ia jenguk setiap saat, ketika dirinya terbenam
dalam kecemasan menatap sekelilingnya penuh dengan orang-orang yang
kebingungan. Orang yang tak tahu hendak kemana.
Rijal bertekad untuk
menyelamatkan anak itu dari kesedihannya. Esoknya ia menemui Harun di sekolahnya,
sebuah sekolah dasar milik yayasan swasta. Dari pintu ia melihat Harun asyik
sendiri, sementara teman-temannya ribut dan saling berceloteh. Harun dengan
jumawa menepi di pinggir jendela, ia menggores-goreskan penanya pada selembar
kertas gambar. Ia menggambarkan adegan pertarungan antara Jerman dan Rusia
waktu perang dunia kedua. Di secarik kertasnya itu, terlihat mayat
bergelimpangan, disamping tank-tank yang masih mengeluarkan peluru.
Rijal masih mencari-cari, apa
yang tersembunyi dalam benak anak murung itu. Mungkinkah pertengkaran orang
tuanya menyebabkan dunianya terampas dan beralih ke dunia antah berantah? Iya
ingin mengajak anak itu berkeliling, menuju water park atau taman kota. Ia
ingin mendengarkan banyak hal dari mulut Harun, anak yang memiliki bakat
terpendam itu. Anak yang cemas dan menyembunyikan sesuatu.
Rijal berhasil mengajaknya jalan.
Mereka berdua berjalan-jalan pelan, harun terlihat dewasa, menyembunyikan
jemarinya ke dalam kantong celana merahnya. Mata mereka pun terlihat tunduk
memandangi bebatuan di hadapan mereka.
“Kamu punya cita-cita Run?” tanya
Rijal.
“cita-cita, saya tak percaya sama
cita-cita dok.”
“Kenapa?” tanya Rijal heran.
“Banyak orang yang mengejar
impiannya dan merelakan kebahagiaannya. Menganggap capaian cita-cita itu
sebagai puncak kebahagiaan, padahal, begitu banyak yang telah ia korbankan”.
“Jadi, kamu tak punya cita-cita
seperti teman-teman mu itu?”
“tidak dok, saya hanya mau
merebut kebahagiaanku yang terhempas. Tapi, saya belum tahu apa kebahagiaan
itu? Saya merasa bahagia itu ketika kita bisa bersama orang yang kita cintai,”
ujar anak itu lugas.
Mendengar kata Harun, Rijal
teringat istrinya di rumah. Dua hari ini ia tak pulang ke rumah. Ia ingin
menyapa istrinya, ia ingin mengembalikan kehidupannya seperti dulu. Tapi, ia
merasa ada jurang membatasi mereka.
Meski sudah berupaya
membahagiakan anak itu dengan mengajaknya berkeliling, Harun masih saja
terlihat cemas. Hingga malam itu, Rijal bahkan berada disamping ranjang
tidurnya. Harun pun menggigil entah kenapa. Ia tak bisa tidur, bulu kuduknya
tegar dan darahnya mengalir kencang. ia ketakutan melihat Rijal yang tiba-tiba
ada di sampingnya.
“Apakah kamu mau saya ceritakan
sesuatu?” harun tak menggubris. “Seorang nenek merasa kesepian di hari tuanya,
ia tak tahu harus mengerjakan apa agar hidupnya bermakna. Lalu ia melihat pohon
yang dibawahnya orang biasa nongkrong. Nenek itu lalu mulai memunguti sampah
itu satu persatu, dan ternyata merasa mendapatkan bahagia di situ. Tiap harilah
nenek itu menyapu seorang diri, memunguti sampah. Dengan begitu, ia merasa
telah menyumbangkan sesuatu untuk dunia ini. Tak lama kemudian, sampah
berjatuhan dan nenek itu tak lagi terlihat disana. Orang bertanya-tanya, kemana
nenek itu, padahal, nenek itu telah terbang ke syurga, mendapatkan pohonnya
disana, lantas dengan senang hati memunguti lagi sampah-sampah pepohonan
syurga”.
“Cerita klise, tapi tak apalah
dok. Kamu sudah membuatku tenang, tadi saya tak bisa tidur, sekarang mataku
sudah hampir tertutup, tapi saya ingin menceritakan rahasiaku..” ucap Harun
lirih. Rijal menoleh dan melihatnya lekat-lekat.
“Sejak dulu saya sering melihat
orang-orang yang kebingungan, orang sebenarnya sudah mati dan tidak tahu mau ke
mana. Itu membuatku takut.. Bahkan ketika saya hendak tidur mahluk-mahluk itu
masih saja bergentayangan dan muncul di hadapanku. Inilah rahasiaku.. dan Cuma
dokter yang tahu..” ucap harun setengah berbisik. Ia lalu membaringkan lagi
kepalanya. “Dok, saya ingin dokter selalu di sini, saya mulai tenang dengan kehadiran
dokter,” ucapnya, ia pun mulai tertidur. Dokter hanya termangu heran.
Dokter tertegun. “Kasihan anak
ini. Sayang, saya tidak bisa menyelematkannya, anak ini menderita neorosis
berat, skizoprenia,” gumamnya.
Anak ini sering melihat orang
mati? Mana mungkin orang mati hidup lagi? tapi, ia juga bimbang dengan pokok
pikiran seperti ini. Dua dunia melintasi satu waktu yang sama. Kadang, untuk
memahami hal ini harus melampaui rasionalitas dan empirik. Tapi.. tunggu dulu..
kini dunia sedang dibingungkan juga dengan penemuan-penemuan ilmiah, yang
semakin mendekatkan kita pada kutub mistik sekaligus natural.
Peter higgs sudah meramalkan itu
tahun 1960-an, ia menganggap bahwa di alam semesta ini ada medan yang melintas
dan menembus seluruh ruang angkasa, gaya dan seluruh eksistensi kita berasal
dari aktivitas medan gaib ini. Medan Giggs mendukung anggapan bahwa angkasa
yang kosong mengandung benih-benih eksistensi kita. Angkasa yang dibentuk oleh
dentuman besar yang menyebabkan semesta mengembang dahsyat, kemudian kehampaan
diisi dengan materi dan radiasi yang membentuk alam sekarang ini.
Membayangkan itu Dr. Rijal jadi
merinding. Mungkinkah keberadaan kita ada sejak jaman lalu? seperti bintang
yang kita saat ini yang sebenarnya telah meletus 2,5 milyar tahun yang lalu.
Dan apakah tetap ada setelah mati?
Apakah orang mati dan hidup bisa
berpapasan dalam dunia yang sama? Apa yang memisahkan mereka, mungkinkah
partikel-partikel yang berbeda? Atau lebih kecil dari partikel dalam atom, yang
terbagi atas neutron, proton, elektron, hingga terpecah dalam enam quark.
Dimanakah eksistensi kita pada ruang-ruang kosong diantara positron dan neutron
serta elektron yang kerjanya hanya berputar-putar saja?
Pikiran-pikiran itu membuat Rijal bergeming,
ia meradang dengan ketakjuban-ketakjuban ilmiah yang memang selama ini
ditekuninya sebagai seorang dokter.
Lebih jauh lagi, Ia pun mulai tak
mengerti apa sebenarnya itu hidup? Apakah hidup itu ketika kita dapat bangun
pagi lantas bergumam apa yang akan saya lakukan hari ini? apakah hidup itu
ketika kita dapat melintasi zaman dengan jejak-jejak di peradaban? Ataukah
hidup itu sekadar daging membungkus tulang, lalu dihinggapi ‘ruh’ yang membuat
kita mampu berpikir dan bergerak? Atau kah hidup itu adalah gabungan dari
berbagai macam fungsi organ-organ tubuh kita, yang berkelindan dan saling
mengisi. Ketika organ satu sakit maka sakitlah organ yang lain. Dan ketika
organ-organ ini (pernafasan, pencernaan, sirkulasi, sekresi) tak berfungsi lagi
maka melengganglah kita tanpa organ yang bisa disentuh lagi? Lantas, kenapa
anak itu bisa melihat ‘tubuh’ yang bergerak, dengan organ-organ yang sama pula.
Mungkinkah ruh itu hanya cerminan citra mata kita sahaja? Rijal mulai terjebak
oleh keliaran pikirannya sendiri.
“Ya, anak ini menderita penyakit
yang pernah diderita oleh Jhon Nash, ia hanya melihat dan berdialog ciptaannya
sendiri”. Ucap Rijal yakin.
**
Pagi hari Harun terbangun, dan
Dr. Rijal masih di sampingnya.
“Dokter Tampak bersedih,” seloroh
Harun ketika melihat Dr Rijal membatu di sampingnya.
“tidak harun, saya hanya
kelelahan berfikir.. gimana tidurmu, nyenyak?”
“Alhamdulillah, malam ini tidur
saya sangat nikmat dok. Dokter harus bersemangat juga,” ucap harun tiba-tiba
ceria.
“Hari ini saya libur, gimana Dok
kalau kita jalan-jalan ke taman?”
“siip.. yuk!” seru Rijal.
Mereka berdua bergegas ke taman.
Tampaknya mulai terjalin keakraban diantara keduanya. Harun seperti mendapatkan
sahabat baru berbeda umur, sementara Dr. Rijal seperti menemukan mahluk kecil
yang unik nan lucu. Keunikan inilah yang menggiringnya terus untuk mencari apa
dibalik kegelisahan anak ini? tapi, semalam ia telah membocorkan rahasianya.
Dan pagi ini harun terlihat bahagia..
“Saya mula tahu jalan keluar
untuk mu Dok?” ujar Harun sembari menatap burung-burung yang beterbangan di
atas pohon beringin. “Dokter yang kesepian..” tambah Harun, sedikit meledek.
“Maksud harun jalan keluar
seperti apa?”, saya merasa masalah saya sangat sepele. Cuma pertengkaran kecil
dalam rumah tangga.
“Yap..itulah..” desah Harun. “Dokter
hanya bisa mengajak diskusi istri dokter ketika ia sedang tidur. Itulah jalan
untuk membebaskan dokter,” ujarnya santai. Ia kembali merogoh mainan tentaranya
di dalam kantung celananya. Maian itu ia layang-layangkannya di udara.
Dokter hanya merenung-renung. Ia
belum mengerti apa maksud dari ini semua.
**
Malam hari, ia mengendap-endap
masuk ke rumahnya yang tiga hari ini ditinggalkannya. Ia pun mencium aroma tubuh
istrinya yang berbau santan. Ia memperhatikan perabotan, langit-langit rumah,
serta sofa kesayangannya. Angin semilir, dingin menyentuh kulitnya. Ia menuju
kamar yang terbuka. Istrinya, Hana sudah terlelap di ranjangnya, disampingnya
bertelekan buku yang terbuka. Di kamar itu, cahaya hanyalah temaram muram. Ia
melihat istrinya yang tidur berkeringat, mukanya terpantul keemasan. Ia
mendekat padanya dan mencoba berbisik..
“kamu meninggalkanku begitu cepat..” rintih
Hana mendahului bisik Dr. Rijal. Angin dingin mendesir-desir..
“Hana, saya di sini bersamamu,
dan tak akan meninggalkanmu..” bisiknya lirih..
“Oh, kasihku.. kasihan, kamu
pergi begitu cepat, tak adalagi yang menemaniku di sini..” gumam Hana dalam
lamunan.
Rijal tersentak ke belakang,
bandul bergerak berputar mundur, alam membeku dalam kesunyian. Ia
mengingat-ingat dirinya bak film rusak, yang dengan cepat merasakan kaget waktu
tertabrak mobil. Sore itu.. ya.. petang yang riang itu, sebuah mobil
menabrakku, membuat tulang belakangku retak. Aku menutup mata terakhir kalinya
dan melihat istriku Hana meneteskan air mata pada matanya yang merah bengkak
dalam hiruk pikuk ambulance.
“Saya mau kemana.. saya mau
kemana.. ?” rintih Dr. Rijal. Harun, Hana.. Harun kau melihat atom-ku..
sekarang, saya tak ada lagi..
Tiba-tiba butiran embun
menelannya dalam kabut putih. Ia menghilang. Ia seperti sebutir tetesan hujan
yang jatuh dari awan yang jauh.. dan kini tetesan itu telah menyentuh laut. Tak
lagi ada, tapi mengada dalam samudra luas atau dalam hamparan medan higgs.
Idham Malik
Jln. Dr. Leimana No. 87 Makassar
Kamis, 12 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar