Sastra mungkin serupa mantra, ia
membius dan membuai kita. Ia mengajak kita ke alam jiwa yang lapang. Merasakan
carut-marut, centang perenang, dan barangkali kegelisahan. Ia selalu
mengembalikan kita pada getar, pada yang hidup.
Nah,
pada Selasa, tanggal 17 Juli 2012 lalu, mammiritable sesumbar membahas kritik
sastra melalui kacamata Rahmat Zainal (25), seorang mahasiswa filsafat
Universitas Islam Negeri (UIN Alauddin) Makassar. Rahmat cukup akrab dengan
karya-karya sastra, termasuk dengan para teoritikus sastra, mulai dari paham
humanisme liberal, struturalis, hermeneutik, maupun teori kritis.
Malam
itu, di meja lingkar, dengan tangan-tangan kami yang terlipat, dengan kening
yang sedikit berkerut, Rahmat dengan pelan memaparkan apa dibalik sastra itu,
dan ada apa dengan para pembacanya. Ia mengajak kita untuk terlebih dahulu
memegang keyakinan, bahwa “seorang pembaca harus memahami lebih baik
dibandingkan penulis”. Kenapa demikian?
Seorang
pembaca punya pengalaman dan penghayatan berbeda dengan penulis yang berkisah
lewat karakter tokoh dan setting ceritanya. Sehingga pembaca punya beragam
perspektif untuk melihat sejauh mana kedalaman sastra itu, membayangkan
pristiwa, sebab-musabab, dan aktualitas kejiwaannya. Pun demikian, penghayatan
pembaca tak luput dari kualitas karya sastra, dalam menggali diri pembaca,
sehingga karya yang dinilai berhasil adalah karya yang mampu menembus zaman
(ruang dan waktu).
Membaca
sastra jika dikaitkan dengan teori dan tradisinya, ada tiga bangsa yang saling
berkelindan dan bertukar dalam membincangkan sastra, yaitu Inggris, Prancis dan
Jerman. “Ketiga negara ini seperti celotehan Marx, sebagai trinitas teori
dengan warnanya masing-masing. Namun, rahmat tidak menggali lebih dalam ketiga
negara ini. Setahu saya, Inggris kental akan tradisi humanisme liberalnya, dan
sangat dekat dengan sejarahnya yang panjang akan empirisme, eksperimentasi dan
atomisme logisnya. Jerman, mendekati sebagai mata air curah ideologi, di negara
bermunculan para tokoh-tokoh kritis, kita mungkin kenal dengan aliran Frankfurt
yang selalu ingin kembali pada idealisme Kant dengan kritisisme-nya. Sementara
di Prancis sangat identik dengan teori dekonstruksi, destrukturalisme dan postmodernisme.
Meninjau Kritik Sastra
Kritik
sastra, jika ditinjau secara kritik terjebak dalam lingkaran dilema. Banyak
pertanyaan mendasar yang jawabannya masih simpang siur dan memicu perdebatan.
Seperti, yang mana disebut sastra dan mana yang bukan sastra? Apakah
otobiografi, confension Santo Agustin, maupun buku filsafat sebagai pelipur
lara dari filsuf Stoa, bisa dikategorikan dalam sastra? Apakah essai Mandibira dari Prancis ataupun
essai Pascal masuk dalam sastra?
Pertanyaan-pertanyaan
ini mungkin sudah dianggap final bagi sebagaian teoritikus sastra. Ketika
mereka memilih satu bentuk ortodoksi pemikiran dan menyerahkan diri sepenuhnya
pada otoritas tertentu. Menurut Rahmat, batas sebuah dunia penafsiran (sastra)
adalah kegelapan. Kita akan memasuki gerbang dilema, Sebab ketika kita
membangun (konstruk) sebuah makna, berarti akan menghancurkan konstruk makna
sebelumnya. Di sini kita pun memahami akan batas cakrawala sastra, dimana para
teoritikus selalu terbentur pada dinding yang tak pernah disentuhnya. Bagaimana
mengkategorikan emosi dalam sastra? Bagaimana menyusun model epistemik sebuah
kegelisahan? Itulah sebabnya sastra tetap mempesona, lantaran selubung misteri
dan energi gelap yang melingkarinya.
Bagaimana pula
dengan sebuah makna itu diacu, adakah hubungan akrab antara manusia dengan
sejarah relasi itu, yang sekonyong-konyong menghasilkan makna? Dalam rentetan
sejarah itu, bagaimana relasi dibangun dan menyebar dalam bentuk kategori,
intuitif atau jenis yang lain? Kadang, kita menerima begitu saja sejarah
pemikiran itu, tanpa tedeng aling-aling, dan memang, instalasi sosial dan
wacana sulit dibendung oleh pemikiran kita yang terbatas.
Pemaknaan
sastra bersifat tekstual, ia hidup di dalam teks dan kemungkinan berbeda dalam
arena dunia nyata. Contoh pada tetralogi buruh Pramoedya Antanta Toer yang
sepertinya menjungkirbalikkan kenyataan di dunia luar. Pram tidak merujuk pada
peristiwa sejarah apa pun, sebab sejarah tak lain adalah peristiwa politik.
Novel Arok – Dedes dan Mangir-nya, ia konstruksi dan tidak berakar pada sejarah
yang dikenal umum, sehingga melahirkan pemaknaan-pemaknaan baru. Mungkin Pram
benar, dan bisa juga salah. Ditengah hamparan defenisi dan realitas, kita
dituntut untuk menggunakan kacamata yang benar, dan sekali-kali melirik
pandangan dan aliran lain sebagai tambahan pemahaman, tanpa terjebak pada
dimensi relativitas.
Apakah
sastra adalah bentukan imajinasi? Rahmat menggiringnya pada perbedaan dunia
angan-angan dan dunia hayal. Dunia hayal berarti hanya menggambarkan
batas-batas dunia dan kenyataan di dalamnya, sedangkan angan-angan melampaui
gambaran, sebab telah menciptakan lingkungan baru. Sastra pun tidak perlu
melepas realitas sosialnya, seperti terekam dalam karya Umar kayam (Priyayi),
kayam menggambarkan bagaimana para kelas priyayi baru menertawai kelas priyayi
lama pada masyarakat pasca kolonial. Di novel itu, terjadi pembusukan struktur
sosial lama, sementara para generasi baru yang terdidik mulai mendapatkan
tempat di dunia sosial. Merujuk pada Karl Marx maupun Max Weber, pertarungan
wacana itu tak lain merupakan pertarungan atau perjuangan kelas dan status. Kelas
merujuk pada group ekonomi, sementara status merujuk pada lifestyle atau
perjuangan prestise. Umar kayam memperlihatkan bagaimana sebuah karya
memperjuangkan perebutan makna.
Contoh
lain adalah kisah sebuah cafe di Amerika, yang digambarkan dari jam ke jam,
pagi hingga siang hari. Di situ muncul deskripsi peristiwa, dialog, dan
suasana. Sastra di sini bisa jadi berupaya menggambarkan bagaimana masyarakat
Amerika menggambarkan dunianya.
Cerita
Pramoedya, Umar Kayam maupun kisah cafe Amerika ini merupakan cuplikan dari
“sastra sebagai kritik”. Sastra berupaya menggali dan mengkritik konteks zaman
itu, menawarkan sebuah nuansa baru atau versi yang tidak awam. “sastra sebagai
kritik” berbeda dengan kritik sastra sendiri, dimana kritik sastra selalu berangkat
dari bagaimana memilah-milah suatu karya, berusaha mengamputasinya, atau
istilahnya ‘menganalisis’.
Kritik
sastra dapat berarti sebagai dorongan untuk men-saintifik-kan sastra. Ini sama
saja memasuki lorong dilema, bagaimana seorang kritikus memangkas-mangkas makna
yang sudah disusun? Ketika karya sudah sampai di tangan kritikus, karya pun
seketika menjadi seonggok mayat, yang siap diamputasi dan diurai anatominya.
Padahal, karya sastra bukanlah badan biologi, sebab ia mengandung spritualitas,
moralitas dan etika. Ketika terlepas dari tubuhnya, apa yang akan terjadi?
Bagaimana pula kaidah sastra indah dan benar itu sendiri (indeks sui), dimana
kebenaran selalu ada dalam dirinya.
Sementara
sastra berbeda dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya sains selalu bersifat
keluar, itulah sebabnya tidak memperbolehkan beragam penafsiran. Ilmu sudah
sedemikian rupa dikandang-kandangkan, sehingga ‘literatur is not
saintific’. Melirik karya Salman Rusdi,
Satanic Verses, menurut Rahmat, penolakan terhadap karya Salman dianggap reaksi
berlebihan. Sebab, Salman telah menyelenggarakan dan membuahkan kreativitasnya.
Sastra justru menstimulan sebuah kenyataan dengan kreativitas-kreativitas.
Sastra membahasakan kenyataan dengan imajinasi terbuka. Tentu, imajinasi ini
sulit kita penjarakan dengan kategori-kategori agama ataupun aliran
pengetahuan.
Sastra dan kepengarangannya
Problem sastra
tidak hanya pada khasanahnya, tapi juga pada relasi kepengarangannya. Sebab dunia
karangan dan kepengarangannya adalah dua hal yang berbeda. Tentang hal ini,
memang makna dikonstruk oleh hasil pikiran pengarang. Tapi, ketika pengarang
sudah meninggal, makna menjadi otonom. Menyangkut itu, bisakah makna menjadi
otonom ketika sebuah karya diinterpretasi oleh pembaca dengan dimensi pengalaman
yang berbeda?
Perdebatan
pada wilayah ini cukup alot, namun tak dapat dipungkiri bahwa pembaca kadang
sewenang-wenang terhadap pengarang karya sastra, sebab kita menghancurkan
sebuah dunia yang dibangunnya. Meski demikian, karya sastra selalu memberi
ruang untuk berdiri sendiri dan membuka ruang untuk kita renungi. Sastra dalam
dunianya sendiri, tidak bisa dipisahkan dengan korelasi habitus pengarang.
Sastra selalu melibatkan pengarang dengan pembaca dan dalam karya sastra ada
autonom makna.
Labensraum (Ruang Hidup)
Sastra pun
pada akhirnya mengundang pembaca untuk melibatkan pengalaman sosialnya sendiri
dan mengambil tempat di dalamnya. Sastra layaknya metafora yang berusaha
membuka ruang hidup selebar-lebarnya. Sebab manusia tidak bisa dibatasi dalam
ruang lingkup yang sempit. Manusia pun selalu mengembangkan dunianya sendiri
(Labensraum). Labensraum dipopulerkan oleh Adolf Hitler yang waktu perang dunia
II mengusahakan bagaimana orang Jerman dapat memuaskan ruang-ruang hidupnya
(ruang politik). Ada pun istilah Roupraum, yaitu dunia dimana manusia mampu
bertahan. Juga foxraum atau ruang kebangsaan. Ketika itu Jerman berupaya
menyatukan semua potensi bangsa dengan bayang-bayang kebesaran Jerman Raya.
Sastra
memainkan labensraum kita, dengan pontang panting pada wilayah etis maupun
politis. Kadang berawal dari etika tiba-tiba berakhir dendam. Sastra bisa
menjadi medan perjuangan ideologi, sehingga menjadi teman ataukah musuh sebuah
bangsa. Di Jerman, banyak pula sastrawan yang menyerang praktek-praktek
fasisme, disamping banyak juga sastrawan mendukung labensraum warga jerman.
Dari situ sastra dapat memperlihatkan proses sejarah yang terjadi. Sebuah
bangsa biasanya dapat dicirikan dengan kritik perkembangan sosialnya.
Tambahan-tambahan
Dalam
karya sastra, fakta dan bukan fakta menjadi sedemikian kabur. Jika kita merujuk
kembali, fakta adalah apa yang digambarkan oleh imajinasi (imago fikta).
Sehingga fakta dan fiksi pada dasarnya adalah dua saudara kembar (tali pusar
yang sama). Akal budi selalu mengelak, dimana fungsi fakta. Fakta disusun
berdasarkan fiksionalisasi kesadaran. Ada yang sektensial dan fiktorial
(kata-kata dan yang tergambar). Ketika menggambarkan jam segini berdasarkan
kronologis waktu. Fakta dan fiksi hadir dan masuk ke dalam pristiwa.
Tentang
hipersemiotik (pertanyaan seorang peserta mammiritable), tanda kadang bisa
melampaui segalanya. Tanda menjadi begitu liar sedangkan fakta dan fiksi pun
digambarkan sebagai sesuatu yang ideal. Kenapa terlahir teori sastra, ini tidak
lepas dari pengambilan jarak dari fakta.
Penutup
Sastra
mengandung metafora dan dialektika simbolik tapi bukan dialektika struktural.
Metafora intrisiknya bersifat memutar dan mengelak (siklus). Ia merefleksikan
perubahan sosial selalu berawal dari pinggir dalam rangka perebutan makna. Lahir
dari konteks tertentu, tapi tidak tertutup konteks saat itu dan tidak terpatahkan
oleh zaman apa pun. Ia menyentuh emosional, dan berupaya membabaskan
pengarangnya dari nervousitas kejiwaan.
Karya sastra adalah soal penemuan
diri kita. Penyamaan resonansi atau frekuensi. Karya sastra menimbulkan
perasaan misteri sehingga melahirkan inisiasi. Tepatnya, Sastra menyisakan
begitu banyak tanda tanya..
0 komentar:
Posting Komentar