Rabu, 26 September 2012, Sulawesi
Community Foundation (SCF) berinisiatif mengutus dua tenaga pemetaan ke
Pinrang, tepatnya ke lokasi pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Bulu Dewata
di Desa Messewea, Kecamatan Duampanua. seorang bernama Paisal, sekarang
melanjutkan studinya di pascasarjana Kehutanan Unhas, dan seorang lagi bernama
Sahrul yang masih berstatus mahasiswa S1 kehutanan Unhas. Saya menemani dua
mahasiswa itu ke masyarakat penerima ijin yang dikelola Koperasi Bulu Dewata.
Kami tiba sore hari, dengan
disambut hangat oleh Munawir, Kepala Desa Messawea sekaligus ketua kelompok
tani Bulu Dewata. Tak begitu lama kami bersapa-sapa, kami pun memutuskan untuk bertemu
langsung dengan para anggota koperasi untuk membicarakan teknis penandaan tata
batas areal HTR Bulu Dewata esok harinya. Kami menuju balai koperasi yang saat
itu baru dibangun. Setiba di sana, kami berleyeh-leyeh dulu, tim saat itu
berkenalan dengan para anggota koperasi yang hadir, saat itu sekitar tujuh
orang. saya bergeser ke kebun belakang, menyaksikan perkembangan tanaman hasil
induksi hormon pertumbuhan akar, ternyata hasilnya menakjubkan!! Tanaman yang
baru berusia dua setengah bulan pasca pemberian hormon bawang sudah menunjukkan
pertumbuhan pesat. Daun-daunnya lebar, batangnya kelihatan gemuk. Selain itu,
akar-akar tanaman jati lokal itu tampak lebih lebat dibanding bibit jati lokal
tanpa persemaian dan penggunaan hormon. Selain itu, Pak Ismail yang melakoni
persemaian ini juga mencoba penggunaan hormon pertumbuhan (produk yang jual)
pada tanaman lain, yaitu tanaman surut (sejenis tanaman hias berupa pohon
bonsai).
“Sebenarnya sudah harus
dipindahkan ke kebun, karena akar tanaman sudah menumpuk dalam polybag. Selain
itu media tanahnya sudah mengeras sehingga air sudah kesulitan masuk. Jati
sebentar lagi kami pindahkan, tinggal menunggu musim hujan masuk,” kata Ismail
dengan senyum sumringah.
Anggota kelompok tani sudah
berkumpul di bawah atap sekretariat. Pak desa mempersilahkan kami untuk memulai
diskusi. Saya membuka dan memberi pengantar, kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan singkat teknis pemetaan oleh Paisal. “Pada pemetaan esok, kita
menggunakan peta baru yang dikeluarkan oleh BPKH (Balai Penetapan Kawasan
Hutan) tahun 2011, jadi posisinya sedikit bergeser dari peta ijin yang
dikeluarkan oleh Bupati Pinrang,” ujar Paisal yang biasa disapa Ical.
Pernyataan itu mendapat tanggapan
beragam dari anggota koperasi. “Di kawasan pernah terjadi konflik antar warga,
karena saling mengklaim kepemilikan. Saya takut kalau peta BPKH ini mengenai
lahan warga,” ujar Kepala Dusun. Munawir memberikan jalan keluar, “Kemarin kami
sudah melakukan penandaan tata batas pada RKT 1 (Rencana Kerja tahunan),
bagaimana kalau kita lihat RKT 1 dulu, kita lihat pergeseran yang terjadi”.
Ical hanya menjawab bahwa terjadi pergeseran sekitar satu kilometer ke arah
selatan menurut JPS.
Persoalan patok juga menimbulkan
perbincangan alot. Patok yang direkomendasikan ternyata harus berupa balok kayu
yang lebar dan bukan berupa tanaman hidup. Patok ini akan ditulisi titik
kordinat, arah dan daerah batasnya (misalnya arah utara hutan lindung). “kita
susah memasang patok, soalnya patok sangat berat. Bagaimana kalau kita tandai
saja dulu, nanti setelah itu masyarakat yang memasang patoknya,” kata Munawir
mencarikan jalan keluar. Sehingga, waktu itu tim hanya menyiapkan cat dan pilox
untuk menandai titik koordinat yang ditemukan. Kalau memasang patok saat itu
juga pasti akan memakan waktu sangat lama, karena harus membuka jalan hutan
dulu.
Akhirnya, diputuskan untuk
membagi tim dalam dua kelompok, kelompok pertama akan menyusuri titik pertama
memutar ke arah barat menyusuri RKT 1 memotong jalur buffer hutan lindung
hingga bertemu di ujung batas RKT 2 bagian timur. Sementara kelompok kedua
menyusuri titik pertama ke arah timur. Kedua tim harus menemukan titik
koordinat dengan bantuan alat JPS. Titik ini berjumlah puluhan per batas RKT,
sebab ditandai sesuai lekukan dalam peta, semakin banyak lekukan semakin banyak
pula titik koordinat yang akan ditandai.
Malam harinya, kami mendiskusikan
kembali rencana masuk hutan esok. Ical mencoba memasukkan titik koordinat peta
dari BPKH ke JPS, tapi hasilnya mengherankan, sebab letak titik pertama itu
menunjukkan posisi di tengah sungai dan masuk wilayah pemukiman. Ini
menimbulkan pertanyaan serius, “kenapa peta kawasan hutan terbatas justru
berada di sungai yang telah masuk dalam areal pemukiman warga?”
Menanggapi hal ini, Pak Munawir
langsung membandingkan peta BPKH dengan peta yang dikeluarkan oleh Bupati,
serta peta dari BP2HP. Dari beberapa peta yang diamati, peta ijin bupati-lah
yang saat itu memungkinkan untuk ditandai terlebih dahulu, sambil menunggu
konfirmasi dari BPKH, apakah betul titik koordinatnya seperti itu? Selain untuk
membandingkan dengan penandaan koordinat pertama dan kedua. Sehingga, malam itu
ical dan sahrul kembali menentukan titik koordinat ulang pada peta kawasan yang
dikeluarkan bupati.
Masuk Hutan
Kamis, 27 September 2012, pukul
09.00 wita, kami mulai menyusuri hutan dengan menyandarkan titik koordinat pada
peta ijin bupati yang berskala 1 : 20.000. Saya ikut pada rombongan pertama
bersama Ical, Pak Ismail dan seorang anggota koperasi, yang menyusuri RKT I ke
arah barat, memotong jalur ke arah tambang batu, lalu menuju perbatasan hutan
lindung ke arah utara. Sementara RKT 2 dipimpin oleh Sahrul dan ditemani kepala
desa bersama dua anggota koperasi. Waktu itu, saya betul-betul tak siap masuk
hutan, soalnya hanya menggunakan lengan pendek, tidak pakai sepatu dan tanpa
topi. Sehingga duri-duri kadang melukai lengan dan menyayat kaki tanpa
pengaman. Hutan yang kami masuki adalah hutan yang masih sangat perawan, Pak Ismail
lah yang paling depan membuka jalan menggunakan parang.
Ical yang memegang kendali, hanya
butuh waktu singkat untuk menentukan titik patok berikutnya. Kita melangkah
sesuai arahan JPS, hingga menemukan areal koordinat yang boleh dikata tinggal
beberapa puluh meter lagi. JPS juga dapat menentukan jarak ke titik koordinat. Setelah
menemukan titik patok itu, Pak Ismail menandainya menggunakan pilox di pohon
atau batu yang dekat dengan lokasi titik sebenarnya. “pada penentuan titik
sebelumnya, tidak semudah ini, kami harus bolak-balik, karena arah JPS
berubah-ubah, dan tidak ada penentuan jarak. Baterainya juga cepat habis, jadi
kami turun naik ambil baterai,” ujar Ismail.
Hutan kawasan ini banyak
ditumbuhi jenis pohon api-api, semak-semak, sebagian bitti, pohon ara, kelapa,
dan jati lokal. Dalam hutan juga ditemukan tanaman Sukapa, yang biasa digunakan
sebagai bahan pupuk organik. “Tanaman ini dicampur dengan kunyit dan siap
dijadikan pupuk. Sekarang tanaman ini dikelola oleh Perusahaan ‘Super Aci’ dan
biasa mengirim pupuk hingga ke Afrika. Harga perliter pupuk ini hingga 120 ribu
rupiah,” kata Ismail.
Di dalam hutan kami juga
menemukan tanaman Rengas, yang ternyata sangat berbahaya jika mengenai kulit,
sebab menimbulkan efek gatal yang luar biasa dan kulit serasa terbakar. Tanaman
yang bernama lokal “Pilau” ini berada di sampingku dan tak sengaja Pak Ismail
mengamati tanaman setinggi lutut itu. Tanaman ini kata Ismail dulunya dipakai
sebagai senjata perang. Selain itu, di pinggir sungai yang airnya mengering,
ditemukan pohon bayam beserta bibitnya, beberapa tanaman anggrek putih serta
terdapat sisa-sisa penebangan berupa potongan kayu di jalan menuju patok tujuh.
Medan kiat sulit pada pencarian
patok 7 hingga patok 10, sebab harus mendaki dengan elevasi mendekati curam 30
– 20 derajat ke atas tanpa henti. Saat itu ketinggian sekitar 194 meter DPL
(Dari Perumukaan Laut). Untung ada batu-batu yang bisa dijadikan alas untuk
menapak ke atas. Pak Ismail tiba-tiba berinisiatif untuk beristirahat sejenak,
saat itu sudah pukul 12.30, dan sudah waktunya untuk mengisi perut. Mungkin
beliau kelelahan juga. Waktu itu detak jantung sudah kedengaran jelas di
telinga, keringat bercucur deras. Tas yang saya bopong pun basah oleh keringat.
Saat duduk-duduk sembari meneguk air, tiba-tiba pemuda yang saya lupa namanya yang
ikut sama kami itu memanjat pohon kelapa dan menurunkan empat buah. Kami pun
menikmati air kelapa, rasanya sangat nikmat dan dapat menebus kelelahan tengah
hari itu.
Kami semangat lagi setelah
berleyeh-leyeh dan menikmati burasa’ dan
telur rebus. Tujuan kami selanjutnya yaitu mencari titik patok ke 11, dengan
menyusuri batas buffer hutan lindung. Medannya berupa pendakian dan penurunan
hingga melewati semak-semak di pinggir hutan yang di sampingnya sudah merupakan
tebing-tebing curam berbatu. Di patok 13, kami sudah berbatasan dengan HTR 2
yang terletak di bagian atasnya. Suasana tambah tegang ketika hujan turun
setelah patok 13, jalanan pun kian licin. JPS dan kamera sontak dibungkus
plastik.
Menyusur ke bagian tengah lagi
hingga akhirnya menemukan pemukiman di bagian timur, berbatasan dengan HTR 2.
Sebelum menemukan pemukiman, terdapat begitu banyak bibit-bibit jati lokal yang
tumbuh di areal HTR. Bibit di sekitar sinilah anggota koperasi ambil untuk
dijadikan bibit untuk induksi akar.
Setelah menemukan pemukiman itu,
perasaan lega seketika. Waktu menunjukkan pukul 15.00. kami akhirnya bisa
memutar hutan yang luasnya sekitar 26 hektar. Pemukiman yang kami temui adalah
komunitas mantan pekerja tambang batu, namun tambang itu sudah ditutup,
sekarang mereka beralih profesi sebagai petani. kami pun kembali ke sekretariat
koperasi Bulu Dewata dengan berjalan kaki menyusuri jalan desa. di sepanjang
jalan desa inilah banyak ditemukan tumbuhan surut, yang bisa dimanfaatkan
sebagai tanaman hias. Tak lama kemudian, rombongan kelompok dua menjemput kami
menggunakan motor.
Seumur-umur, baru kali itu saya
masuk hutan seharian, dengan medan yang saya anggap cukup berat. Alhamdulillah
bisa selamat keluar hutan dan akhirnya RKT 1 dan sebagian RKT 2 bisa ditandai
titiknya, tinggal warga desa memasang patoknya kelak.
Namun, ternyata penandaan titik
koordinat pada areal pencadangan itu harus diulangi lagi esok harinya. Sebab
peta yang diijinkan untuk digunakan harus berpedoman pada peta BPKH. Sehingga
Ical dan Sahrul harus memetakan kembali RKT 1 sembari mencari patok yang telah
dipasang oleh petugas. Peristiwa simpang siur ini bisa terjadi karena
ketidakjelasan koordinat peta BPKH, sehingga muncul inisatif untuk menggunakan
peta ijin dari bupati saja. Tapi, dengan langkah pemetaan hari itu, warga bisa
mengerti bahwa kita harus taat aturan dengan mengikuti peta dari BPKH dan
baiknya karena sudah ada perbandingan antara peta ijin dengan peta BPKH,
sehingga diketahui posisi permasalahannya.
Jumat pagi saya balik ke
Makassar, Ical dan Sharul yang terus berjuang untuk memetakan areal HTR Bulu
dewata hingga RKT 4, tentu dengan beban yang berkurang, karena telah ada
kepastian.
0 komentar:
Posting Komentar