Saya mulai yakin bahwa titik
pangkal solusi beragam persoalan bisa berawal dari kepemimpinan. Pernyataan ini
mungkin sudah basi, kita sudah berapa kali membaca bahwa penyelesaian persoalan
kompleks kemasyarakatan mesti digiring oleh pemimpin yang merakyat, pemimpin
yang dapat menyambung lidah rakyat. Yang tidak menjual diri untuk mengangkat
diri sendiri, atau berleha-leha di hadapan rakyat untuk pamer kekuatan dan
pengaruh. Pemimpin tidak identik lagi dengan ajang gensi-gensi-an, siapa yang
paling kuat dan paling pintar, apalagi dengan gaya militer. Itu akan menakuti
rakyat. Pemimpin tak lain adalah siapa yang paling mengerti kemauan rakyat,
dengan cara-cara yang merakyat.
Kita tahu bahwa pemimpin itu
harus turun ke bawah, melihat dan merasakan penderitaan rakyat, lalu mengordinir
dan mengajak mereka untuk ikut membangun. Pemimpin bukan lagi sosok hero sang
penyelamat, tapi dia adalah semacam partner dan sahabat, tempat masyarakat
berkeluh kesah mengutarakan masalah, pemimpin hadir di zamannya untuk
memecahkan masalah zaman itu juga. Ia memanfaatkan modal sosial, berunding
bersama dengan semangat kemanusiaan (humanitarian), tidak lagi dengan
jargon-jargon militer dan nasionalisme sempit, yang kadang menapikan
pihak-pihak lain.
Pemimpin hadir untuk melayani, ia
bekerja dengan ketulusan dan kecerdikan. Bagaimana mengambil hati rakyat lalu
mengajak mereka turut nimbrung untuk menyelesaikan persoalan bersama. Ia mesti
hadir dalam bentuk deliberatif, dengan mendengar perundingan-perundingan, tidak
dengan langkah paksa dan kasar. Dan pemimpin jenis ini dapat lahir dalam
suasana demokratis, pun dapat muncul setelah ia membuktikan dirinya bisa
menyelesaikan problem-problem sebelumnya. masyarakat sebenarnya sadar bahwa
tipikal pemimpin deliberatif lah yang bisa menyelesaikan beragam persoalan di
masyarakat. Sebab ia tidak bergantung pada uang dan juga pada sistem birokrat
yang patriarkal, yang otoriter.
Pemimpin jenis ini hadir dalam
sosok Jokowi, yang dengan legowo meninggalkan meja kantor untuk turun ke bawah
berbincang-bincang dengan masyarakat. Sebab jokowi ingin membaca aspirasi
publik dari sumbernya langsung. Ia menggelar puluhan forum dengar pendapat
sebelum mengambil keputusan publik. Proses menimbang-nimbang bersama masyarakat
dalam teori politik dikenal sebagai “deliberasi publik” (Budi Hardiman, Opini
Kompas, 10 Oktober 2012).
Institusi demokrasi negara ini
telah menyediakan beragam forum diskusi publik, namun selalu saja digunakan
hanya untuk menampilkan citra penguasa. Hal ini justru akan menumpulkan
inisatif lantaran hanya ditimbuni prosedur formal dan kaku. Masalah muncul
bukan karena tidak adanya ruang publik, tapi karena ruang ini tidak berfungsi
sebagaimana adanya. Sensitivitas lembaga aspirasi publik sangat minim, dan
mereka yang terlibat dalamnya hanya mementingkan diri sendiri, untuk memperkaya
dan mengenyangkan perut. Sehingga, yang dibutuhkan adalah bagaimana menyambung
saluran komunikasi ini atau melahirkan pejabat yang dengan tulus berkomunikasi
dengan warga untuk sama—sama menyelesaiakan persoalan.
Justru, yang bermaian di wilayah
publik ini didominasi oleh kuasa birokrasi dan pasar. Kedua pihak itu
bekerjasama untuk menggembosi ruang publik untuk kepentingan masing-masing. Ini
tak lain, menurut Habermas akan membunuh partisipasi warga dalam pembangunan
kota, selain itu mengakibatkan kemiskinan dan marjinalisasi. Ini bisa dilihat
dari banyaknya mall, gerai-gerai padat modal yang menggeser usaha kecil
menengah. Menurut Habermas dari Hardiman, ini bisa dibendung melalui produk
hukum yang dihasilkan dari proses deliberasi bersama masyarakat. Tentu, untuk
menjamin hal itu, harus juga didukung oleh model kepemimpinan deliberatif, yang
mengerti dan paham kemauan rakyat, dan bisa mengajak rakyat berpartisipasi.
Kebijakan-kebijakan publik saat
ini pun untuk mengetahui tingkat efektifitasnya harus terlebih dahulu diukur
dan diuji melalui forum-forum publik, selain DPR. Sehingga kebijakan –
kebijakan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Menurut Hardiman, ini akan
bermuara pada sosialisme demokratis yang tidak lain berupa organisasi diri
warga. Perlu ditambahkan juga, bahwa ini tidak lepas dari kemampuan mengelola
solidaritas publik, bukan sistem (interaksi sosial) yang selama ini dijalankan
dengan kode uang dan bagi-bagi kekuasaan. Yang justru menimbulkan pertengkaran
antar institusi. Nah, kepemimpinan deliberasi publik ini akan membuat para
warga lebih peduli terhadap kotanya dengan rasa keterikatan dan kepemilikan
yang kuat.
Diinspirasi dari Opini F Rudi Hardiman tentang Deliberasi Publik,
terbit di Harian Kompas, Rabu, 10 Oktober 2012.
0 komentar:
Posting Komentar