Fakta
Konsentrasi Gas Rumah kaca (GRK)
pada saat ini telah meningkat dengan sangat cepat sebagai dampak dari aktivitas
manusia. Peningkatan konsentrasi GRK ini terutama disebabkan oleh penggunaan
bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan.
Sektor kehutanan dianggap sebagai
salah satu penyumbang emisi yang cukup signifikan mencapai 18 % - 20 % total
emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sebagai dampak penebangan, konversi
lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas lainnya. Ekosistem hutan mengandung
kurang lebih 60% karbon yang ada di ekosistem daratan. Hutan menyimpan karbon melalui pertumbuhan
pohon dan peningkatan karbon di dalam tanah.
Hutan dalam konteks perubahan
iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source
(pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan
aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi
GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,
pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat
illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan.
Sekitar 60 % dari emisi gas rumah
kaca Indonesia berasal dari sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change, Forestry
(Natcom, 1999). Terdapat publikasi ilmiah internasional yang menyatakan bahwa
kebakaran hutan dan ladang lambut di Indonesia pada tahun 1997 menyumbang 13 –
40 % emisi karbon tahunan dunia (Page, dkk, 2002). Bahkan Indonesia ditempatkan
sebagai kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia, setelah USA
dan China.
Sampai sejauh ini, baik UNFCCC
atau Protokol Kyoto tidak memberi insentif untuk menangani deforestasi. Hutan
tanaman, baik melalui aforestasi maupun reforestrasi, merupakan inisiatif yang
telah diberikan insentif dalam protokol Kyoto. Namun upaya menanam untuk
menyimpan karbon membutuhkan waktu yang lama, dan terlalu lambat apabila
dilanjutkan dengan laju deforestrasi. Oleh karena itu pengurangan laju deforestasi
adalah cara efektif untuk mengurangi hilangnya cadangan carbon dari ekosistem
hutan.
Kondisi di atas yang mendorong
inisiatif untuk membuat mekanisme insentif bagi negara berkembang agar dapat
menahan laju deforestasi. Costa Rica dan Papua New Guinea (PNG) adalah dua
negara yang memulai inisiatif ini, sehingga muncullah REDD (Reducing Emission
from Deforestration and Degradation).
REDD telah mulai dibahas sejak
tahun 2005 dalam pertemuan internasional para pihak (Confrence on Parties)
ke-11 di Montreal Canada. Pembahasan dilanjutkan dalam COP 12 di Nairobi, dan
menjadi salah satu agenda utama dari COP 13 di Bali pada bulan Desember 2007.
Indonesia memutuskan untuk
mengikuti langkah Costa Rica dan PNG dalam memanfaatkan skema REDD sebagai
insentif bagi Indonesia untuk menahan laju deforestasi yang akan dinegosiasikan
dalam COP-13 tersebut. Akan tetapi, sebelum diputuskan untuk menyepakati dan
melaksanakan, Indonesia harus memiliki posisi yang kuat sebagai bahan
negosiasi. Sebagaimana posisi negara maju dalam mekanisme kompensasi
pengurangan emisi yang pada dasarnya adalah “right to pollute”, Indonesia dan
negara yang memiliki sumberdaya hutan yang besar lainnya harus mempunyai posisi
“right to miligate”.
Posisi ini akan memberikan posisi
tawar yang kuat bagi indonesia dan negara-negara sejenis lainnya dalam
negosiasi paling tidak dalam 2 hal, yaitu :
1.
Untuk tidak menjadi obyek pelimpahan tanggung
jawab pengurangan emisi yang mayoritas dilakukan oleh negara maju.
2.
Untuk tidak “menjual” atau “menggadaikan” SDH
dengan murah dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi
GRK.
Masalah
1 Prinsip – Prinsip Dasar
a. Pada
dasarnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah upaya untuk memberikan
jaminan bagi keberlangsungan umat manusia. Oleh karenanya skema dan mekanisme
yang akan dilakukan harus menjadikan manusia sebagai pertimbangan utama
(antropocentric) dan bukan karena alasan penyelamatan alam, tindakan-tindakan
yang dilakukan justru merugikan manusia pada negara berkembang dan negara
miskin.
Dalam
hubungannya dengan pengurangan emisi GRK, sektor kehutanan mempunyai peran yang
tidak dapat dipisahkan yaitu penyimpanan karbon (carbon storange) dan
penyerapan karbon (carbon sequestration) baik yang berasal dari stok sumberdaya
hutan (SDH) yang ada maupun upaya-upaya rehabilitasi lahan dan penghutanan
kembali (reforestation). Oleh karenanya menjadi suatu keniscayaan bahwa skema
dan mekanisme “kompensasi pengurangan emisi” apapun namanya harus mampu
mencakup 2 peran strategis tersebut dalam bentuk pemberian kompensasi terhadap
pengurangan pelepasan karbon (reduction of carbon release), penyimpanan karbon
(carbon storage) dan penyerapan karbon (carbon sequestration).
Prinsip dasar ini akan memberikan
solusi yang kuat bagi negara “penyedia jasa” sekaligus menjawab pertanyaan “apa
yang diperdagangkan” dalam mekanisme kompensasi pengurangan emisi. Bahwa jika
negara maju ingin mendapatkan “right to pollute” dalam bentuk sertifikat
pengurangan emisi (certifified Emission Reduction/CER) maka yang harus
dilakukan adalah memberikan kompensasi terhadap satu paket fungsi SDH, yaitu
penyimpanan karbon dan penambahan serapan karbon.
Mekanisme REDD cenderung tidak
menggunakan konsep dasar ini. Mekanisme REDD cenderung hanya memberikan
kompensasi terhadap pelepasan karbon yang tercegah (carbon release avoided) yang didasarkan pada kondisi baseline trend
tingkat deforestasi dan degradasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa REDD tidak
memberikan reward terhadap SDH mencakup luasan dan fungsinya secara keseluruhan,
akan tetapi hanya memberikan reward pada “sebagian kecil” stok dan fungsi SDH,
yaitu pada kawasan yang “tidak jadi terdeforestasi dan terdegradasi” atau
“selisih antara kondisi baseline tingkat deforestasi dan degradasi (DD) yang
diperkirakan dengan tingkat DD yang masih terjadi.
Cakupan
Berdasarkan pada premis 1 (b),
mekanisme kompensasi pengurangan emisi harus mencakup seluruh kawasan
sumberdaya hutan (SDH) baik pada kawasan hutan negara maupun kawasan di luar
hutan negara dan semua bentuk pengelolaan SDH baik yang berbasis negara,
swasta, maupun masyarakat.
Kecenderungan yang ada, REDD
hanya akan diterapkan pada sebagian kawasan hutan, yaitu hutan produksi,
kawasan konservasi/lindung, hutan gambut, HTI dan sawit. Artinya, REDD hanya
akan memberikan kompensasi pada kawasan hutan alam yang tidak jadi
terdeforestasi dan terdegradasi akibat aktivitas pada kelima kawasan hutan
tersebut, baik melalui penebangan, konversi, maupun penggunaan lainnya.
Dengan kecenderungan tersebut,
upaya pemulihan kawasan terdeforestasi dan terdegradasi serta upaya pelestarian
yang dilakukan oleh kelompok pengguna hutan melalui berbagai skema Community
Based Forest Management (CBFM) seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan
adat, dan hutan rakyat yang nyata-nyata terbukti lebih berkelanjutan namun
nampak tidak diapresiasi. Meskipun tersebar, upaya-upaya kontributif dari
kelompok pengguna hutan ini merupakan pionir dan champion dalam upaya mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Tidak terapresiasinya model-model
pengelolaan skala rakyat ini menunjukkan penghianatan terhadap perjuangan
penyelamatan hutan dan manfaatnya. Yang lebih nampak di dalam skema REDD yang
sedang dibangun justru upaya meminggirkan masyarakat yang hidup dan bergantung
pada sumberdaya hutan. Ini menunjukkan kecenderungan kemunculan kembali paham
ekofasisme yang telah terbukti gagal dalam menyelamatkan keberadaan sumberdaya
hutan dan manfaatnya.
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa mekanisme kompensasi REDD merupakan mekanisme yang tidak adil dikarenakan
kompensasi REDD hanya diberikan pada sebagian kawasan hutan, sementara basis
kinerja pengurangan emisi akan diukur pada tingkat nasional. Atau dengan kata
lain apabila basis kinerja pengurangan emisi diukur pada tingkat nasional, maka
kompensasi juga harus diberikan pada seluruh kawasan SDH tingkat nasional,
termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung yang masih baik, dan CBFM yang
dikelola masyarakat dengan lestari, termasuk hutan rakyat, dan hutan desa.
Dasar Penilaian
Nilai dibentuk berdasar pada 2
komponen yaitu kuantitas (volume) dan harga satuan. Sehubungan dengan hal
tersebut, berdasar pada premis 1 (b), terdapat 2 hal yang harus diperhatikan
dalam penentuan nilai kompensasi pengurangan emisi. Kedua hal tersebut adalah :
a.
Kuantitas
(volume) pencegahan emisi yang diperhitungkan harus mencakup kondisi aktual
(existing) dan penambahan (additional) fungsi. Kuantitas aktual diperhitungkan
dari perkalian total luas SDH Indonesia dengan volume karbon yang disimpan
(carbon storage) dan volume serapan karbon (carbon sequestration) dari
masing-masing kelompok SDH. Sebagai ilustrasi, apabila di Indonesia masih
terdapat hutan alam tropis dalam kondisi baik seluas 80 juta hektar, maka
kuantitas yang diperhitungkan sebagai fungsi SDH tersebut dalam pencegahan
emisi adalah :
Volume karbon
tersimpan = 80 juta ha x 200 ton/ha/th = 16 milyar ton/th5
Volume karbon
terserap = 80 juta ha x 19 ton/ha/th = 1,52 milyar ton/th5
Total Carbon
Sink = 16 milyar ton/th + 1,52 milyar ton/th = 17,52 milyar ton/th
Angka 17,52 milyar ton/th itulah
yang seharusnya digunakan sebagai basis penilaian fungsi hutan alam Indonesia
dalam pencegahan emisi, ditambah dengan fungsi tipe hutan lainnya yang dapat
diperhitungkan dengan metode yang sama.
Angka tersebut masih harus
ditambah lagi dengan kuantitas penambahan (additional) melalui upaya
reforestrasi. Perhitungan kuantitas penambahan ini dapat dilakukan dengan
metode yang sama pada luasan, jenis, dan umur tegakan.
Sementara itu kecenderungan
mekanisme dalam REDD, penghitungan kuantitas hanya didasarkan pada selisih
baseline yang digunakan sebagai acuan perhitungan dengan tingkat deforestrasi
yang masih terjadi (hanya menghitung carbon release avoided).
Sebagai
ilustrasi, misalkan digunakan baseline bahwa tingkat deforestasi di Indonesia
adalah 1,8 juta ha/th, seandainya deforestasi yang masih terjadi adalah sebesar
0,8 juta ha dalam priode satu tahun, maka basis kuantitas untuk penentuan
kompensasi yang akan diterima hanya selisihnya, sebesar 1 juta ha, sehingga kompensasi
yang akan diberikan melalui mekanisme REDD adalah :
Volume Karbon Sink = 1 juta ha/th x 200 ton/ha/th = 200 juta ton/th
Angka tersebut sangat jauh
berbeda dengan fungsi total SDH Indonesia dalam pencegahan emisi.
Dari
sini, nampaklah bahwa REDD hanya memberikan kompensasi pada sebagian kecil
fungsi SDH Indonesia dengan tuntunan kepada Indonesia untuk menjaga SDH secara
keseluruhan karena ukuran kinerja REDD dilakukan dalam skala nasional.
b. Harga
satuan harus ditetapkan minimum sebanding dengan biaya marjinal (marginal cost)
perbaikan teknologi industri di negara-negara maju membutuhkan tambahan biaya
sebesar US$30 untuk menurunkan emisi GRK sebesar 1 ton. Sebagai ilustrasi,
seandainya industri-industri di negara maju membutuhkan tambahan biaya sebesar
US$ 30 untuk menurunkan emisi GRK sebesar 1 ton, maka minimal harga US$ 30
itulah yang harus digunakan dalam penghitungan nilai kompensasi. Pendekatan
yang demikian akan menggambarkan bentuk hak dan tanggungjawab yang sama antara
negara maju dan negara berkembang dalam upaya pengurangan emisi GRK.
Kecenderungan dalam mekanisme
REDD, harga satuan ditaksir dengan pendekatan pajak lingkungan (enviromental
tax) dengan kisaran US$ 10 – 20 /ton karbon, Lin dan Hope (2002) menggunakan
angka US$ 17/ton karbon yang juga masih didasarkan pada enviromental tax.
1.
Mekanisme
Distribusi
Dalam hubungannya dengan
mekanisme kompensasi dan distribusinya, terdapat beberapa hal yang dapat
digunakan sebagai landasan berfikir bahwa :
a.
Emission
reduction compensation mechanism, haruslah merupakan mekanisme yng sederhana
sehingga tidak mengulang Aforestation/reforestation clean development mechanism
(A/R CDM) yang dalam perjalanannya, pelaksanaan kegiatan A/R CDM kurang begitu
berhasil lantaran rumitnya mekanisme.
b.
Dalam
mekanisme kompensasi, harus dipastikan bahwa nilai presentasi kompensasi yang
diterima oleh suatu negara haruslah lebih besar dari nilai presentase proses.
Untuk lebih jelasnya, apabila total nilai kompensasi adalah 100%, maka nilai
presentase yang diterima suatu negara harus lebih besar dari nilai presentase
proses pengolahannya (registrasi, penilaian, konsultan independen, lembaga
penjamin, dsb), dimana berdasarkan pendekatan analisis proses produksi, nilai
presentase proses administrasi perolehan tidak boleh lebih besar dari 30 % dari
nilai kompensasi total.
c. Pemerintah
dalam hal ini sebagai wakil negara haruslah mempunyai posisi yang kuat dan
independen terhadap lembaga internasional manapun. Dalam hal ini pemerintah harus
menempatkan diri sebagai “service provider independen” dalam mekanisme
kompensasi baik dalam perdagangannya maupun distribusi manfaatnya.
d.
Harus
dipastikan bahwa mekanisme distribusi merupakan mekanisme distribusi yang
berkeadilan dalam arti distribusi manfaat sesuai dengan nilai peran (input
share) masing-masing pihak, mulai dari pemerintah pusat, sampai dengan kelompok
masyarakat pengelolaan hutan (forest user group). Oleh karenanya perlu
disiapkan bentuk dan mekanisme kelembagaan yang sesuai, transparan dan
akuntabel.
Dalam mekanisme REDD, keempat
point tersebut belumlah terumuskan secara jelas. Apabila keempat hal tersebut
tidak dirumuskan sejak awal, sebenarnya proses negosiasi mekanisme kompensasi
pengurangan emisi akan “meaningless” dan ada indikasi mekanisme ini hanya akan
menguntungkan bagi banyak pihak-pihak lain, seperti konsultan penilai, lembaga
perantara, pemegang konsesi, dsb, dengan resiko “potensi penurunan” growth Indonesia dimana yang akan
dirugikan adalah masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pernyataan Posisi
Berdasarkan pada kerangka pikir
dan analisis tersebut, maka kami menyatakan posisi sebagai berikut:
a. Mekanisme
kompensasi pengurangan emisi harus menjadikan manusia sebagai pertimbangan
utama, dimana pendekatan dan tindakan yang akan dilakukan harus tidak merugikan
manusia itu sendiri dalam bentuk apapun baik material maupun immaterial.
b. Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki SDH yang besar dan berpotensi untuk
berperan secara signifikan dalam pengurangan emisi dalam rangka mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim harus mempunyai posisi bahwa upaya pencegahan emisi
bagi Indonesia adalah “right to mitigate” dan bukan “responsibilities to
mitigate”. Dengan posisi yang setara ini, diharapkan proses yang terjadi dalam
COP – 13 adalah negosiasi, bukan dominasi negara maju terhadap negara
berkembang.
c. Mekanisme
kompensasi pengurangan emisi, apapun namanya-harus mampu mencakup 2 peran
sektor kehutanan dalam bentuk pemberian kompensasi terhadap pengurangan
pelepasan karbon (carbon realease reduction), penyimpanan karbon (carbon
storage) dan penyerapan karbon (karbon sequestration).
d. Mekanisme
kompensasi pengurangan emisi harus mencakup seluruh kawasan sumberdaya hutan
(SDH) baik pada kawasan hutan negara maupun kawasan di luar hutan negara dan
semua bentuk pengelolaan SDH baik yang berbasis negara, swasta, maupun
masyarakat.
e. Mekanisme
kompensasi pengurangan emisi untuk sektor kehutanan harus diberikan kepada
seluruh upaya mencegah terlepasnya carbon, memelihara stock karbon dan penambahan
penyerapan karbon (reforestasi), bukan hanya selisih antara baseline tingkat
deforestasi dengan deforestasi yang masih terjadi (carbon release avoided).
f.
Kompensasi pengurangan emisi harus dapat menjadi
mekanisme apresiasi dan insentif bagi kelompok pengguna hutan yang telah
mempraktekkan pengelolaan hutan skala rakyat yang berkelanjutan, melalui
berbagai skema seperti Hkm, Hutan desa, hutan adat, hutan rakyat, dan varian
CBFM lainnya.
g. Harga
satuan kompensasi pengurangan emisi setiap satuannya (US$/ton) harus ditetapkan
minimum sebanding dengan biaya marjinal (marginal cost) perbaikan teknologi
industri di negara-negara maju untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 1 ton.
h. Nilai
prosentase kompensasi yang diterima oleh suatu negara haruslah lebih besar dari
nilai prosentase proses. Apabila total nilai kompensasi adalah 100%, maka
nilai-nilai prosentase proses perolehannya (registrasi, penilaian, konsultan
independen, lembaga penjamin, dsb) ditaksir tidak lebih dari 30% dari nilai
kompensasi total.
i.
Mekanisme distribusi merupakan mekanisme
distribusi yang berkeadilan dalam arti distribusi manfaat harus sampai pada
penerima manfaat sesuai dengan nilai peran (input
share) masing-masing pihak, mulai dari pemerintah pusat, sampai dengan
kelompok masyarakat pengelola hutan (forest user group).
0 komentar:
Posting Komentar