Peradaban seperti jembatan merah,
yang awet melewati rasa sakit. Jembatan yang menghubungkan Dutch Quarter serta
kraton Surabaya pada sisi barat dan Pecinan-Kampung Melayu-Kampung Arab pada
sisi timur ini menjadi saksi bisu perjuangan. Tentang darah yang tercecer di
jalan-jalan, mata yang terbuka dengan jiwa yang melayang. Beribu pemuda
tergeletak meregang nyawa, yang sebelumnya sempat memekikkan kata “merdeka”
pada bedil pasukan sekutu yang diboncengi belanda.
Jembatan itu membuka tabir
ingatan pada momen 30 oktober 1945, sekitar 20.30, mobil Buick yang ditumpangi
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby luluh lantak oleh serangan milisi Indonesia.
Mallaby tewas oleh peluru pistol seorang pemuda tak dikenal dan memicu amarah inggris
yang selanjutnya mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 pada pihak Indonesia
untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI
dan administrasi NICA.
Apa yang bercokol di benak pemuda
Indonesia? muda-mudi Jawa timur dengan darah panas bergelora, yang sudah bosan
diinjak-injak martabatnya. Tentulah ini sebuah penghinaan dan perendahan
martabat. Satu kata bergumam, lawan, merdeka atau mati. Ribuan milisi indonesia
kemudian jadi korban sekaligus menjadi pahlawan, yang kemudian generasi
berikutnya mengabadikan hari itu sebagai hari pahlawan. Hari ketika pemuda dan
rakyat indonesia tidak takut pada yang asing, yang dominan, dan yang menjajah.
Jembatan merah saat ini mungkin
sudah cantik, sudah indah, dengan cat yang rapi. Tapi apakah kenangan tentang
jembatan merah yang menyaksikan nyawa pimpinan besar sekutu terlepas dari
jasadnya ini masih terbayang dalam sanubari generasi pemuda dan pemudi kini? Sebab,
yang pantang menyerah, yang selengean saat itu adalah ribuan pemuda, yang
datang dari kampung-kampung, dusun-dusun dengan berjalan kaki demi memperjuangkan
kemerdekaan dan menegakkan proklamasi yang telah dilontorkan generasi tua,
Soekarno – Hatta.
Kini, di bulan november, orang
kembali sibuk mencari pahlawan. Lalu menunjuk dan mengangkat pahlawan. Namun,
pahlawan sendiri sudah kabur maknanya, apakah yang disebut pahlawan itu, dimana
koruptor dan penguasa bengis juga bisa dikategorikan sebagai pahlawan. Ataukah pahlawan
hanyalah gelar yang disemak pada pundak mereka yang membangun negeri dengan
darah rakyatnya sendiri? Ada satu pepatah, negeri yang mencari pahlawan adalah
negeri yang gusar.
22 November 2012
Bulan pahlawan
0 komentar:
Posting Komentar