Pada bulan
ramadhan tahun ini, komunitas mammiri table cukup intens mendiskusikan
tema-tema ke-Islaman, mulai dari ekologi islam, ekonomi islam, pemikiran islam,
filsafat islam, hingga budaya islam yang lebih difokuskan pada aspek literasi. Nah,
pada salah satu kesempatan, kami mengundang Sulham Yusuf untuk mengisi
perbincangan dengan tema perkembangan literasi khususnya di Sulsel, tepatnya di
Kabupaten Bantaeng. Sulham dianggap cukup paham mengenai literasi sebab beliau
memang berkecimpung dalam dunia perbukuan. Sejak lama beliau merintis toko buku
Papirus dan paradigma, toko buku ini tidak sekadar menjual buku, tapi juga
membuat kegiatan-kegiatan diskusi dan menjadi tempat nongkrong aktivis-aktivis
dari beragam universitas. Saat ini Sulham fokus pada pengembangan literasi dan
budaya di Bantaeng, dengan menggiatkan diskusi-diskusi buku, perpustakaan
sekolah, serta menerbitkan buku. Komunitas yang beliau bina bernama “Butta
Ilmu”.
Diskusi
dipimpin oleh Rahmat Zainal, mahasiswa Universitas Islam Negeri Makassar.
Rahmat membuka dengan ungkapan bahwa literasi yang ingin kita bangun adalah
literasi yang berkaitan pada yang bersifat advokatif. Ia mencurigai bahwa
literasi yang terbangun saat ini bersifat kamuflase dan terkadang saru.
Literasi melahirkan peradaban, namun menurut Rahmat peradaban saat ini hanyalah
bersifat simtomatik atau sekadar mengangkat permukaan dan tidak menyentuh
kedalaman. Sehingga tidak menyisahkan ruang refleksi pada kita untuk menggali
makna yang dikorek dari keseharian. Nah, literasi yang mengadvokasi ini tampak
pada perjuangan Sulham sebagai penggiat literasi di beberapa daerah ini.
Tradisi dan gerakan
Sulham
membagi kategori dalam menggiatkan literasi untuk kemajuan peradaban. Pertama
ia berbicara tradisi dan kedua ia berbicara gerakan. Kedua hal itu merupakan
aspek-aspek praktis dari literasi, yang dapat dikonversi ke sejarah masa silam
baik itu peradaban muslim ataupun nonmuslim. Pembahasan ini rencananya akan
dikonkretkan dalam bentuk buku, sulham sudah menyiapkan hal itu dimana bukunya
berjudul, “Buku, Ilmu dan Peradaban”. Ia memaparkan kaitan antara buku, ilmu
dan peradaban. Pada peradaban mana pun di dunia ini, tak dapat dipisahkan dari
lterasi (buku), anasir-anasir itu selalu ada.
Saya memulai dulu aspek paling
mendasar, yaitu apa itu literasi? Saya sering memplesetkan bahwa kita bisa
salah mengartikan literasi ini menjadi lemotarasi. Lemotarasi juga dibutuhkan
dalam kehidupan dalam hal menunjang aspek jasmani kita. Sementara literasi
lebih mengurus aspek-aspek yang berbau kerohanian. Literasi sering dimaknai
secara sederhana sebagai keberaksaraan, tidak lagi dimaknai sebagai
konvensional seperti baca tulis, tapi cakupannya sudah meluas pada pergerakan
dan kemajuan peradaban.
Bagaimana literasi menjadi
sesuatu yang amat penting dalam masyarakat, kemudian memancing kita menjadi
sebuah gerakan sosial? Saya memulai bicara sebagai tahapan dengan memetakan
persoalan. Kita masing-masing bertanya, pada level tahapan mana yang sudah kita
tapaki?
Tradisi literasi dibagi menjadi tiga
tahapan, pertama adalah pemberantasan buta aksara. Ketika sebuah kelompok
ataupun bangsa membangun komitmen kebangsaannya untuk tidak buta huruf. Sehingga
menimbulkan gerakan-gerakan pada skala individual, kelompok atau berbangsa untuk
menuntaskan kebutahurufan dan kebutatulisan.
Lalu meningkat pada gelombang ke
dua, yaitu ketika orang membaca dan menulis lantaran kepentingan atau kebutuhan
profesionalitasnya. Misalnya mahasiswa, kenapa membaca buku dan menulis makalah
lebih karena adanya tugas-tugas kemahasiswaannya.
Pada gelombang berikutnya telah
melewati batasan-batasan profesionalitas, tapi lebih mengarah pada proses
memaknai dan menjawab kebutuhan-kebutuhan rohani kita. Sehingga sebuah
karya/tulisan biasa disebut sebagai ‘anak kandung rohani’. Nah, sekarang mari
kita bidik masyarakat, kelompok, dan diri kita sendiri, sudah berada pada
tahapan manakah kita?
Ini kita bisa lihat dan
perbandingkan, kemajuan sebuah bangsa, kelompok atau tingginya dimensi
kerohanian seseorang dari produk-produk ini. Dengan memakai model ini tentu bisa
diarahkan secara strategis, mungkinkah terjadi perubahan kalau tahapan literasi
kita masih pada tahap pertama atau kedua? Sulham masih sangat percaya kalau
peradaban-peradaban besar selalu dimulai ketika tradisi literasi itu sudah
berada pada tahapan ketiga.
Kita tinjau ke belakang, baik itu
peradaban muslim atau non muslim selalu ada kesadaran bahwa gerakan literasi merupakan
mozaik dari kerja-kerja kerohanian. Peradaban apapun yang lahir selalu dimulai
dengan diskusi intelektual. Perbincangan yang berlangsung begitu intens
kemudian dituliskan dan direproduksi kembali dalam bentuk artikel, pamflet,
manipesto, buku yang menjadi panduan peradaban. Kita mungkin mengenal beberapa buku
yang merubah dunia, seperti Das Kapital, Alquran, dan Injil. Buku yang Anda
baca tentu mempengaruhi pikiran Anda. Sulham amat percaya bahwa pada tahapan
ketigalah kita bisa berbincang tentang perubahan. Kalau mahasiswa berkarya
masih atas keperluan tugas (profesional), perubahan nonsens terjadi.
Poin berikutnya menyangkut aspek
gerakan, bagaimana gerakan literasi berkembang? Tahapan pertama dari gerakan
literasi bisa kita lihat pada institusi yang kita klaim sebagai gerakan literasi,
seperti perpustakaan. Fungsi paling dasar dari perpustakaan yaitu meminjam dan
mengembalikan buku. Aktifitas institusionalnya masih seperti itu dan bersifat
sangat konvensional. Yang kita harapkan sebenarnya adalah ketika institusi
literasi ini dapat meningkatkan fungsinya atau mengambil peran dalam
menggiatkan diskursus wacana, memperbanyak aktivitas intelektual seperti
launching buku, bedah buku sehingga menyadarkan para pembaca dan warga mengenai
kondisi dan perubahan sosial yang akan terjadi.
Poin yang ketiga yaitu bagaimana
gerakan literasi ini dicoba disandingkan dengan icon budaya pop. Misalnya
nonton bareng, bergerak dalam komunitas pejalan kaki, penggila harry potter,
komunitas yang tidak punya hubungan langsung dengan dunia baca tulis. Nah di
situ kita mencoba menumpangkan kepentingan literasi kita ke dalam
komunitas-komunitas itu. Icon-icon budaya pop inilah yang menjadi ujung tombak
gerakan literasi yang paling mutakhir. Ini bertolak belakang dengan anggapan
sebelumnya bahwa budaya pop itu selalu berarti tindakan sepele.
Seperti menciptakan diskusi
terbatas pada secuil minat kita pada sesuatu hobi dan aktivitas. Misalnya bola,
Sulham termasuk pecinta liga Inggris sehingga dia mencontohkan komunitas
pecinta liga inggris. Menurutnya, kita bisa memanfaatkan fanatisme penggila
bola ini untuk membuat ajang kumpul-kumpul, misalnya nontong bareng. Kemudian
setelah itu kita sengaja memancing diskusi yang agak dalam. Misalnya tentang
sejarah bola, makna yang terkandung dari setiap formasi, hingga gerakan sosial
yang terbangun dari sekadar mencintai bola. “Kita coba bangun diskursusnya,
disitu bisa diskusi tentang anarkisme, ketaatan, fanatik. mereka kan tidak
punya bahan. Sehingga memancing mereka untuk membaca,” ujar Sulham. Sulham pun
meyakini bahwa tahapan – tahapan menggunakan budaya pop sebagai pintu masuk
budaya dan gerakan literasi jika bertemu di titik puncak masing-masing akan
terjadi perubahan sosial. Pada puncak budaya dan gerakan literasi ini peradaban
akan lahir dengan sendirinya.
.......
Memasuki sesi tanya jawab, Rahmat
memberi respon dengan memaparkan sejarah literasi itu sendiri. Menurutnya
literasi awalnya atau sebelum merebaknya teknologi percetakan ala Guttenberg
dimulai dari aktivitas menyalin. Hasil salinan ini sampai sekarang masih
tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan pribadi para kolektor ulung. Lantas,
kenapa masih tersimpan hingga saat ini? apakah terdapat memori yang memuat
dinamika sosial di dalamnya? Yang kemudian menjadi collectable memmory? Nah
inilah yang menyebabkan perkembangan perawatan, arsipatoris, filology, yang
kemudian kadang juga difungsikan sebagai ajang perebutan makna oleh sebuah
rezim sehingga terjadi monopoli tafsir? Lalu dengan perkembangan teknologi
cetak makna atau tafsir menjadi tersebar. Pada awalnya literasi merupakan tipikal
kerja halus, ketika teknologi berkembang tiba-tiba literasi menjadi semacam
pekerjaan kasar. Bagaimana Kak Sulham melihat hal ini?
Sulham menanggapi bahwa literasi
menjadi pekerjaan kasar karena telah direkayasa sedemikian rupa dan itu
hanyalah sebuah artikulasi saja. Literasi merupakan pekerjaan rohani yang
ketika direkayasa menjadi tampak kasar, tapi bagaimana kita bisa menggesernya
menjadi lebih halus lagi. Sekarang medium sudah berubah, yang dulunya kertas
atau buku, sekarang kita sudah bisa menikmati membaca di layar kaca, yaitu
lewat media internet, laptop, ipod, dan adanya jejaring sosial seperti
facebook. Sulham ingin mencoba membuktikan kerja kerohanian ini masuk ke kerja
kasar kemudian bertransformasi lagi menjadi kerja halus.
Di ‘Butta Ilmu’ beliau
menerbitkan buku, “cinta dan kemanusiaan”. Buku ini adalah kumpulan tulisan
seorang anak muda di Bantaeng yang juga menjadi anggota komunitas Butta Ilmu.
Tulisan-tulisan anak muda ini awalnya tak begitu dilirik oleh para pengguna fb,
dan hanya menjadi angin lalu saja. kemudian Sulham berinisiatif untuk mengedit
dan menerbitkan kumpulan tulisan tersebut. Saat itulah produk rohani itu
ditransformasi atau ditingkatkan nilainya sehingga bisa dikonsumsi dengan
elegan oleh masyarakat. “Apa yang kita katakan sebagai sebuah sampah, kemudian
terjadi pendangkalan pada media maya, ketika kita olah dan diangkat dengan pendekatan
budaya pop dengan menjadikannya sebuah buku, lalu kita rayakan (launching),
alhamdulillah kami rasakan atmosfir masyarakat bantaeng untuk minta dibukukan
tulisannya,” ucap Sulham.
Perjuangan menerbitkan buku itu
membuahkan hasil, sejak saat itu banyak anak muda yang minta karyanya
diterbitkan. Ini akhirnya menjadi semacam bola salju yang membesar dan berefek
ganda. Pemuda bantaeng mulai menata
kata, dengan harap-harap cemas supaya ada yang memerhatikan anak rohaninya. “Anak
ini tiga tahun dia menulis dan tidak ada yang memperhatikan, kemudian menjadi
buku. Bupati datang juga dan membeli 37 eksemplar. Kerja-kerja kultural ketika disajikan
dengan kerja struktural bisa mendapatkan pola yang sama. Sama dengan di desa,
mendorong perpustakaan desa, desa labo menjadi juara dua perpustakaan se
sulsel,” tambah Sulham.
Pada ramadhan kemarin Sulham
ditelpon oleh karang taruna untuk mendiskusikan lomba menulis. Ia mencoba agar
para pemuda Bantaeng tertarik untuk menggeluti dunia menulis, hasil lomba
itulah yang akan dia terbitkan lagi. Sama halnya ketika dia mengisi pelatihan
menulis di sebuah pesantren, hasil tulisan para siswa itu kemudian diterbitkan.
“buku tersebut selalu saya tenteng-tenteng ketika mengisi pelatihan menulis di
tempat lain,” ujar Sulham. Cuma rekayasa semacam ini agak sulit ditetapkan masa
depannya atau dikuantifikasi, sebab berbicara peradaban adalah berbicara
generasi. Bagaimana mungkin anak-anak mengikuti kita kalau di rumah tidak ada
perpustakaan?
Nah generasi kita mungkin
mediumnya sudah berbeda. Tapi sudah lah, sekarang dalam pelatihan membaca dan
menulis kita tidak perlu lagi mengarahkan pada membaca buku, tapi membaca apa
saja dengan medium apa saja. Sulham sangat berharap dengan langkah-langkah
‘Butta Ilmu’, peradaban di Bantaeng bisa meningkat entah beberapa tahun ke
depan.
Ke depannya, Sulham berobsesi
untuk mengimplementasikan gagasan geoliterasi pada daerah Takalar, Jeneponto,
Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. Dan beliau memulainya di Bantaeng. Sudah tiga
tahun beliau di sana, awalnya ‘Butta Ilmu memilik tagline “hadir untuk
pencerahan” dan sekarang sudah berubah, “bantaeng menuju masyarakat literasi”.
Dan saya bersama teman-teman sudah menyusun roadmapnya selama dua tahun, dan
tiap tahun kami evaluasi.
0 komentar:
Posting Komentar