Apakah pagi
merepresentasi hari? Apakah sinar lembut mentari menandakan suatu peristiwa
unik yang tiba pada lokasi yang sama? Hari berganti hari, fenomena yang berulang
dan mekanistik ini apakah mengisi pandangan kita akan pertumbuhan dan
perubahan? Barangkali demikian, ketika kita memandangnya secara terbuka,
melapangkan ruang hati seraya merayakan hidup! Saya tak mengerti tentang
ketakterdugaan yang menyapa kita dari hari ke hari. Seperti pagi yang
selalu sama, tapi pandangan kita lah yang berbeda.
Itulah
yang membuat kita terus merenung selaksa gunung, sementara pikiran dan tubuh
bergerak seperti ombak. Sebab hidup ini penuh dengan misteri dan
ketakterdugaan. Misteri lantaran keterbatasan kita untuk memastikan masa depan,
petaka ataukah berkah, kita hanya menduga berdasarkan rasionalitas atau kadang
mistik yang bersandar pada finalitas. Dari sesuatu yang absolut itu kita
bergantung dan menemukan jalan. Tapi, apakah jalan itu menafikan varian-varian
bentuk yang tidak bersandar pada finalitas? Dalam artian bersifat majemuk dan
menghargai bejibun pendapat yang bergumul dalam arena publik.
Kita hanya mampu menelisik fenomena-fenomena sekilas dan kecil, lalu mencoba untuk memecahkan masalah yang sepele-sepele. Sementara hal-hal skala besar coba kita cerna lewat teori-teori normatif/moral/etika/atau pun substansi aksiomatik. Ketika hal itu kita jabarkan ke dalam ruang dan waktu, kita pun selalu terbentur oleh suatu yang bersifat metarasional, irasional, dan emosional. Rasionalitas kita pun selalu dibajak oleh hasrat dan keinginan atas sesuatu. Rasionalitas hanya menunjukkan pada kita teknik dan metode, sementara kenapa kita memilih tujuan dan arah ini dan bukan arah itu bukan lagi pada tataran rasio.
Kita hanya mampu menelisik fenomena-fenomena sekilas dan kecil, lalu mencoba untuk memecahkan masalah yang sepele-sepele. Sementara hal-hal skala besar coba kita cerna lewat teori-teori normatif/moral/etika/atau pun substansi aksiomatik. Ketika hal itu kita jabarkan ke dalam ruang dan waktu, kita pun selalu terbentur oleh suatu yang bersifat metarasional, irasional, dan emosional. Rasionalitas kita pun selalu dibajak oleh hasrat dan keinginan atas sesuatu. Rasionalitas hanya menunjukkan pada kita teknik dan metode, sementara kenapa kita memilih tujuan dan arah ini dan bukan arah itu bukan lagi pada tataran rasio.
Karl R Popper
Pernyataan-pernyataan ini masih butuh banyak tandingan argumentasi untuk mematangkan sebuah cara. Atau yang biasa disebut oleh penganut teori Hegel sebagai dialektika. Dimana terdapat diskursus-diskursus atau oposisi-oposisi dari setiap materi. Sementara dari sudut lain ini barangkali dimaksud untuk mencapai apa yang disebut meminimalisir keburukan dan penderitaan melalui metode falsifikasi. Kita menguji setiap argumen atau kita pada ruang publik untuk mengetahui tingkat kelemahan dan kesalahan. Sementara untuk tataran politik, bagaimana setiap kebijakan itu bisa mengurangi penderitaan lebih banyak dibanding meningkatkan kebahagiaan sebagian kecil orang.
Sementara dalam narasi-narasi besar kita selalu diperhadapkan pada dilema. Ketika kita menguatkan posisi pada demokrasi liberal, kita pun selalu terjerumus pada kondisi pencaplokan para ultraliberal yang dengan atas nama kebebasan dengan semena-mena merebut kebebasan rakyat kecil. Ketika kita mendewakan individu, atas nama individu itu kita dibenturkan pada sikap atomistik yang menafikan yang lain, yang merendahkan sejawat yang diklaim tak beruntung atau tak pintar menjalankan hidup.
Pernyataan-pernyataan ini masih butuh banyak tandingan argumentasi untuk mematangkan sebuah cara. Atau yang biasa disebut oleh penganut teori Hegel sebagai dialektika. Dimana terdapat diskursus-diskursus atau oposisi-oposisi dari setiap materi. Sementara dari sudut lain ini barangkali dimaksud untuk mencapai apa yang disebut meminimalisir keburukan dan penderitaan melalui metode falsifikasi. Kita menguji setiap argumen atau kita pada ruang publik untuk mengetahui tingkat kelemahan dan kesalahan. Sementara untuk tataran politik, bagaimana setiap kebijakan itu bisa mengurangi penderitaan lebih banyak dibanding meningkatkan kebahagiaan sebagian kecil orang.
Sementara dalam narasi-narasi besar kita selalu diperhadapkan pada dilema. Ketika kita menguatkan posisi pada demokrasi liberal, kita pun selalu terjerumus pada kondisi pencaplokan para ultraliberal yang dengan atas nama kebebasan dengan semena-mena merebut kebebasan rakyat kecil. Ketika kita mendewakan individu, atas nama individu itu kita dibenturkan pada sikap atomistik yang menafikan yang lain, yang merendahkan sejawat yang diklaim tak beruntung atau tak pintar menjalankan hidup.
Pada narasi
lain, kita sering diminta sepakat pada kolektivisme. Namun, atas dasar
solidaritas kolektif ini kita memberangus hak-hak individu kita, minimal untuk
berjuang dan berpendapat lain. atas nama sebuah bangsa, sebuah agama, sebuah
cita-cita sosialisme dan komunisme, kita pun dianggap hanya kumpulan statistik
manusia yang sama/homogen. Kita dituntut untuk patuh pada doktrin, yang
ujub-ujub hanyalah fantasi, imajinasi atau berasal dari yang absolut/teokrasi. Sehingga
kita diarahkan, diatur untuk sadar terhadap sesama. Bagi yang tidak mau turut,
akan ditindak, diberangus, dijitak. Media dikontrol, ruang publik diawasi,
sementara agen-agen birokrat dengan semena-mena menikmati previlese,
jalur-jalur distribusi terhambat lantaran korupsi, tabungan negara pun kolaps
lantaran tidak jelasnya pengeluaran disertai pemborosan untuk pembiayaan warga,
macetnya ekonomi karena kurangnya inisiatif dan kreatifitas warga dan lantaran
pengekangan atas kebebasan.
Sehingga, perlu suatu mekanisme atau sistem yang
betul-betul bisa mengontrol kekuasaan negara dan menetapkan batas-batas
terhadap kebebasan para pengusaha besar, tidak memutlakkan pada
developmentalisme pasar yang menganjurkan privatisasi. Ketika pasar tanpa
regulasi, di situlah kebebasan itu akan meminum racunnya sendiri. Kita pun
menghendaki para pemilik kekayaan itu rela mengeluarkan pajak pendapatannya
melebih persenan pajak bagi rakyat banyak. Sehingga buah perjuangan mereka juga
bisa dinikmati oleh kelas sosial yang di bawah. ini bertujuan untuk
menstabilkan gejolak sosial, mencegah kecemburuan sosial. Sementara pada narasi
lainnya, ketika ada harapan ketika semangat kolektivisme dan solidaritas itu
juga menempatkan individu sebagai entitas unik dan penting. Individu punya hak
meningkatkan potensi dan kesejahteraannya. Sementara musuh sosialisme tidak
diarahkan pada kelompok kelas sosial tertentu, tapi pada tindakan atau cara
mereka menyikapi kaum miskin dan duafa (yang dimiskinkan). Di sinilah
dibutuhkan kepemimpinan kuat untuk mengatur para pengusaha besar ini untuk
turut bersama-sama memperhatikan nasib rakyat kecil. Selain itu, keterbukaan
informasi, perbedaan pendapat dibuka dalam perdebatan ruang publik, serta
memberi kesempatan para wirausahawan sosial (LSM/NGO) untuk memajukan komunitas
atau kerabatnya.
Menurut Karl R Popper, filsuf aliran
rasionalisme kritis mengungkapkan bahwa sebenarnya yang diarahkan adalah cara
berpikir masyarakat atas kesadaran sosial. Walau pun metodenya sudah tepat,
semisal reformasi birokrasi, reformasi konstitusi kalau tanpa disertai
perubahan minat para pelaksana dan warga, upaya yang dicita-citakan itu takkan
tercapai, ini bisa diamati di Indonesia, dimana aturan-aturan itu dengan
gampang dibeli, dimanipulasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Selain itu,
ada harapan agar perjuangan para penegak keadilan saat ini tidak tergelincir
pada pesona informasi. Serbuan informasi saat ini membuat kita bingung dan
menjebak kita pada kesan seolah-olah. Informasi tentang penegakan korupsi
dengan mudah berganti dengan informasi terorisme, lalu tentang kasus asusila. Namun
semua itu hanyalah permukaan saja dan sekadar pencitraan dan permainan makna. Kita
diajak untuk terpesona namun secara tidak langsung membuat kita lupa akan
persoalan-persoalan inti. Sehingga, jalan satu-satunya untuk mengatasi hal ini
yaitu dengan jalan setia pada peristiwa. Kita harus setia pada peristiwa yang
menjadi fokus gerakan kita. Agar persoalan yang kita tangani itu dapat
betul-betul tuntas, tidak sekada seolah-olah tuntas. Perjuangan kita pun akan
menjadi simbol bahwa penegakan keadilan di negeri kita ini betul-betul perlu
dan harus. Ketika kita dengan mudah terombang-ambing wacana, dengan mudah pula
kita diperalat dan dihasut, sementara hak kita dengan terus menerus diobrak
abrik.
Rabu, 5
Desember 2012
Antang
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Nice article
Posting Komentar