Alangkah tak
berdayanya saya seharian ini. Badan pegal kelelahan tidur. Pagi bangun setengah
sadar merasakan nyeri pada pangkal gusi. Saya mengira-ngira kalau gigi dewasa
saya hendak brojol, menggeliat muncul di permukaan merah, menjadi patok pada
deretan gigi yang turut merenggang.
Ah.. saya tak
nyaman betul hari ini, bahkan sendok makan pun susah saya suapkan ke dalam
mulut. Ketika ingin membuka mulut lebar-lebar, terasa sakit luar biasa. Ini
juga yang membuat sikat gigi kesulitan menyikat bagian dalam, tapi saya paksa
karena ini untuk kebersihan dan mendukung proses penyembuhan.
Pagi tadi agak
mendingan, bubur barobbo semalam masih ada sisa. Perut pun terganjal cairan
emulsi bubur yang tak perlu dikunyah lama. Selanjutnya saya memilih berbaring
dan tidur hingga tengah hari. Pukul dua saya terbangun, kondisi ruang identitas
sudah sepi. Mereka pada ke maros untuk latihan mengambil gambar (foto), saya
mengira mereka pulang siang hari, tapi belum pulang-pulang. Motor saya dipinjam
pula sama Esa.
Jadilah saya berdua
dengan Ahmad Yani yang sibuk bermain game, sementara saya menyibukkan diri
membaca koran kompas. Tapi, jarum jam terus berdetak, yang justru beriringan
dengan rasa lapar dan sedikit mual. Aduh.. tak ada orang yang bisa membeli
makanan. Saya mencoba menelpon Dian, tapi saya tak tega menyuruhnya jauh-jauh
menuju kampus hanya sekadar membawa makanan. Jadilah saya menjadi tukang
tunggu, dimana yang ditunggu sendiri tak jelas kapan tibanya.
Namun, ada yang
lebih kalut dari rasa lapar dan gusi bengkak, yaitu tentang rencana dan kerja.
Seminggu ini saya tampak berleha-leha, menutupi kegelisahan dengan memilih
menjadi pembaca tanggung. Saya mengakui bahwa membaca buku yang general dan
bukan menyangkut bahan kajian tak akan menyelesaikan persoalan. Segala rencana
tadi harus segera dipikirkan, tapi kapan?
Saya coba
mengurainya satu persatu..
Pertama.. SCF, selama ini ritme kerja SCF sangat santai,
nah saking santainya saya justru merasa terlena. Saya menikmati kelonggaran
itu, dengan datang ke kantor pada siang hari, di kantor pun waktu terserap
dalam dunia facebook dan beragam informasi serabutan. Meski kadang dalam sehari
itu terdapat pekerjaan kantor, tapi dengan mudah diselesaikan atau dapat
dicicil penyelesainnya.
Tapi ada hal besar
yang tak selesai, yaitu rencana kerja tentang masa depan share learning di SCF.
Pemikiran tentang ini terhambat begitu saja, melempem seperti kripik yang lama
terkena angin. Saya melihat tidak adanya arahan yang jelas dan sulitnya
memantau respon dari senior-senior. sehingga dari ke hari kita hanya
mengerjakan sesuatu yang rutin, yaitu laporan-laporan kegiatan yang saya olah
dalam bentuk tulisan feature. Tapi, setelah tenggelam, saya rasa ini masih
kurang, saya harus mengeksplore diri saya lebih jauh lagi. Sebab umur produktif
sedang dalam masa jaya-jayanya. Moso tidak dimanfaatkan dengan baik.
Kedua, business
plan majalah Investasi KTI belum kelar-kelar. Memang saya tidak serius karena
hanya membuatnya dalam sehari, namun seminggu berlalu tanpa ada perubahan. Kak
Rahmad, ketua Investasi tak lama lagi datang ke Makassar dan pasti akan menagih
janji saya. Kalau ini gagal, maka hancurlah reputasi saya sebagai mantan
wartawan. Saya mengakui saya kurang bersemangat, tapi kalau dibiarkan akan
berbahaya karena akan mengancam produktivitas dan kepercayaan orang terhadap
saya. Waktu saya pun menjadi hantu, karena ia ada namun tak dapat dikelola
dengan optimal.
Ketiga, belum
adanya karya baru yang saya telurkan dalam dua bulan ini. Mestinya waktu yang
banyak itu akan bisa dimanfaatkan untuk membaca buku-buku terkait lalu
menuliskannya dalam bentuk laporan ilmiah, sehingga bisa diterbitkan di
jurnal-jurnal. Saya telah menempuh dan bersentuhan dengan banyak cabang ilmu,
namun tidak berhasil saya dalami betul. Jadinya tak ada yang dapat menjadi
pegangan bahwa saya dapat menjadi ahli dalam bidang-bidang tersebut. Ini
mungkin yang disebut disorientasi, tapi tidak parah-parah amat. Sebab
belakangan ini saya punya minat lebih pada kajian sosial dan budaya, buku-buku
yang saya baca pun berkenaan dengan bidang itu. Mungkin karena orientasi yang
begitu banyak ditambah dengan ilmu yang kian lama kian terasa kurang, makanya
perencanaan jangka panjang dan jangka pendek tidak tertata dengan bagus.
Dari refleksi ini
saya berharap tumbuh semangat, semangatlah yang saya butuhkan saat ini. Untuk
kembali menata dan mengarsipkan daftar kebutuhan akan cita-cita saya. Yup..
dari sini saya pun sadar bahwa realitas yang muncul di hadapan kita adalah
realitas hasil persepsi awal kita. Kita sendirilah yang membentuk realitas itu.
Justru akan rancu jadinya jikalau saya malah mengeluh-ngeluh terhadap keadaan,
padahal di masa kuliah dulu saya dapat menanggapi dan menyelesaikan setiap
persoalan dengan rancak, baik itu mengenai kuliah maupun organisasi.
Tanpa terasa hari
sudah sore, anak ident pada berdatangan, tapi esa yang saya minta tolong beli
mie pangsit belum datang. Untung ada Dani yang bersedia membelikan mie
pangsit.. hehe..
Sunday, 3 Marc 2013
0 komentar:
Posting Komentar