Hari ini tampak begitu aneh,
dimulai dari rasa nyeri pada gusi hingga rasa rindu pada kata. Saya betul-betul
kangen pada dinding-dinding yang membisu, pada suara computer yang menderu. Selintas
kenangan akan emosi yang meruap sayup-sayup ketika tangan berdetak pada tuts,
selayaknya para musisi piano yang menari-nari di atas bilah. Emosi yang terpancar
begitu saja menembus tabir-tabir realitas. Meski begitu, saya pun mulai gagu
dalam menerjemahkan realitas dalam diri saya. Ah..
Apakah ini yang disebut cemas,
yang dalam bahasa jerman/Heidegger disebut Angs? Cemas yang mengembalikan diri kita pada fakta
dunia. Dimana kita bisa menentukan pilihan dari cabang-cabang realitas. Dalam penentuan
itu kita pun memandang masa depan dengan lugas, disertai kreativitas bayangan. Kita
berharap akan sesuatu yang baru tercipta dari pilihan logis kita, berdasar dari
data, dan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.
Mulanya kita kebingungan, sebab
percabangan realitas itu kadang terlihat kabur. Kita tak bisa menatap apa yang
terjadi di masa depan, walau fenomena-fenomena batu loncatnya telah kita
teguhkan. Nah, apakah yang membuatnya kabur? Mungkin dalam bahasa agama itulah
yang disebut dosa. Sebab kita tak selalu yakin terhadap prinsip-prinsip
kebenaran yang kita pegang. Kita selalu merasa ragu pada keadaan yang sudah
terang benderang di hadapan kita. Logika-logika ini sepertinya rancu, dan
memang rancu adalah ketidakkonsistenan itu sendiri. Rancu adalah gejala chaos
yang tidak bisa kita prediksi akan menuju kemana. Rancu pun seperti para ahli
tenis meja yang tiba-tiba bermain dengan pemula, yang pola permainannya sulit
ditebak.
Apa yang ingin kita gali dari
tulisan ini. Pada dasarnya kita hanya menggali kegelisahan. Menumpahkan sampah-sampah
agar kita bisa hidup normal kembali. Dalam pandangan psikologis massa, Frans
Fanon pernah menyatakan bahwa manusia selalu punya cara untuk menghalau debur
hasrat seks dan kekerasannya. Dengan cara yang biasanya dilapisi selaput
intelektual, manusia mengelola hasratnya dengan bermain-main filsafat,
bermain-main sastra. Hasrat itupun tiba-tiba berganti nama menjadi
ilmupengetahuan ataupun agama. Itulah sebabnya banyak cendekiawan/intelektual
yang tergila-gila dengan teori yang pada dasarnya bengis, seperti teori
revolusi. Sebab dalam teori itu terkandung cita-cita kehidupan bersama yang
harmonis, dimana manusia tampak begitu bebas menentukan arah hidup. Manusia tak
lagi terkungkung oleh keterbatasan sumber-sumber pencaharian. Yup, revolusi
menjanjikan hadirnya komunitas bersama. Ini semacam kerinduan terhadap
komunitas tradisional yang telah merayap di hadapan individulisme kapitalis.
Dalam dunia kapitalis, rasa pada
komunitas sudah demikian buyar. Unsur-unsur pertemanan seringkali dinilai dari
kepemilikan akan materi. Tapi, saya belum yakin betul, sebab ini hanyalah
kegelisahan para intelektual-intelektual barat, yang dalam dunianya memang
sudah demikian individualis. Sementara kita yang berada di belahan dunia lain,
yang tak selalu menjadi bahan pertimbangan, mesti kadang diperbincangkan juga
karena kemewahan sumberdaya alamnya, tak selalu merasa sendirian. Kita, apalagi
kelas ekonomi menengah selalu saja menemukan momen-momen indah dalam komunitas.
Seperti perkumpulan alumni kampus, perkumpulan alumni organisasi atau pun
teman-teman se kantor.
Pergaulan ini justru diperkuat
dengan kemampuan para kontestannya melakoni hidup. Minimal mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Kesibukan bekerja dan obsesi akan hidup bebas dan
nyaman tak membuat mereka melupakan sisi-sisi kemanusiaan, seperti bergaul,
berbincang pada ruang-ruang public, ataupun makan bersama dengan sikap rela
berkorban demi teman yang belum dapat kerja. Justru, pada komunitas kampus yang
sudah mapan, mereka yang sudah bekerja dengan giat mengimformasikan
peluang-peluang kerja bagi teman-teman mereka yang belum bekerja.
Namun, memang tak dapat
dipungkiri bahwa di pinggir-pinggir kita masih banyak terdapat kaum lemah dan
papa, yang dalam kategorinya termasuk mustadafin, mereka yang sengaja
terpinggirkan. Mereka inilah yang masih kesulitan makan, masih kesulitan
membeli pakaian, dan tentu masih kesulitan mengutarakan pendapat. Belum lagi
berbicara masa depan anak-anak mereka, yang betul-betul seperti menatap lubang
hitam. Sehingga, wajarlah kalau golongan ini begitu mendambakan kehidupan yang
lebih baik, meski pun diperoleh dengan tebasan perut dan genangan darah.
Tapi, saya belum yakin, sebab
kebebasan dan revolusi tak lahir di tangan para proletar, ia selalu lahir di
tangan borjuasi yang berpihak. Ia mesti diorganisasi oleh para cendekiawan yang
mengusung ide-ide sosialisme. Dengan mengampanyekan bentuk-bentuk penjajahan
baru, seperti penghisapan para pemilik modal terhadap tenaga-tenaga buruh,
sehingga buruh pun tanpa mereka sadari mengalami alienasi. Mereka merasa tidak
menjadi dirinya, tapi hanya menjadi atom-atom pemutar mesin. Kelompok buruh ini
harus segera diperhatikan hajat hidupnya. Sebab mereka berjumlah cukup banyak
dan hanya menikmati 1 persen dari pembagian pendapatan nasional, atau dengan
metode perhitungan indeks gini : 0,41. Ketika kelompok ini sengaja dibiarkan
begitu saja, tanpa ada jaminan-jaminan hidup layak, maka tunggulah letusan
anarki, ketika kondisi Negara goyah akibat politik atau pun pergantian
kekuasaan.
anehnya juga, indeks rasa bahagia kelompok kecil yang tinggal di pedesaan pun cukup tinggi. mereka masih merasa nyaman dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. senyum dan sapa mereka tebar, walau pendapatan mereka hanya Rp. 300.000 perbulan. saya mulai curiga, mungkinkah keindahan alam sangat mempengaruhi mental damai para warga cilik kita? tapi tunggu dulu, kenapa dahulu pernah terjadi pertempuran besar-besaran antar orang kecil dan para tentara belanda. bisa jadi karena para nenek kita itu telah memperoleh penderitaan demikian dahsyat, seperti kerja rodi yang menimbulkan kelaparan dan kematian ribuan orang. pun para jagoan dari kalangan ningrat berhasil di patahkan perjuangannya, juga pergolakan dari golongan petani yang menolak membayar pajak. sebab pajaknya bukan main kepalang tingginya. itu tentu mencekik leher rakyat.. lantas, apakah kondisi sekarang sudah betul-betul mencekik leher, sehingga memicu revolusi? entahlah..
Hingga saat ini saya masih
menggali pengetahuan seputar ‘kanan dan
kiri’ ini, dimana dimensi kemanusiaan dua kutub yang bersaing ini. Sebab
kanan pun mengaku telah melakukan perubahan besar dalam sejarah, dimana tingkat
kehidupan para pemenang ekonomi di barat sudah demikian maju. Orang-orang tidak
lagi kelaparan, dan percikan ekonomi betul – betul turun. Tapi itu lagi-lagi di
barat. Bagaimana dengan di timur (khususnya di Indonesia), percikan itu malah
larinya selalu ke atas. Dan memang selalu seperti itu. Pada masa
kerajaan-kerajaan pun percikan selalu ke atas, dimana raja selalu menikmati
previlese yang diperolehnya dari pajak para petani.
terkait dengan itu, bagaimana kah solusinya. ini pun menjadi perdebatan seumur hidup untuk memikirkan jalan keluar bagi penderitaan-penderitaan demikian banyak orang. tapi anehnya, dari penderitaan itu justru mengalir dollar-dollar bantuan, namun hanya dinikmati oleh kalangan-kalangan tertentu saja. entahlah.. tidak semua juga seperti itu, dalam dunia ini tetap ada kelompok yang punya niat baik dan menjalankan niat baiknya itu dan membuahkan perubahan. meski harus disadari bahwa di dunia ini, apalagi dalam dunia manusia, tidak ada yang betul-betul murni.
0 komentar:
Posting Komentar