Metode lain yang digunakan untuk
mengetahui kondisi masyarakat desa yaitu dengan mencari informasi tentang
sejarah desa. Tapi karena terbatasnya waktu, sehingga sesi ini ditanggulangi
dengan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat.
Bacu-bacu mekar dari Desa Harapan
pada tahun 1994. Pemilihan desa pertama diselenggarakan pada 1995 dengan kepala
desa pertama bernama Muh. Tuwo, dilantik pada 9 Januari 1996. Desa ini terdiri
atas tiga dusun, yaitu Ammerrung, Ampiri, dan dusun yang berdiri belakangan
yaitu Dusun Batu Lappa yang dibentuk pada tahun 2000. Muh. Tuwo kemudian digantikan oleh putranya
sendiri yang bernama Anshar pada tahun 2012. Ansar mengalahkan dua saingannya
pada pemilihan kepala desa lalu. Sementara Tuwo kini aktif sebagai koordinator
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Bacu-Bacu. Tuwo juga dikenal sering terlibat
dalam menggalang dukungan politik pada calon-calon pemimpin politik.
Kata Bacu-Bacu berasal dari salah
satu tetua Adat desa ini yang bernama Bacu-Bacu. Ketika masih di wilayah Desa
Harapan, tahun 1950 – 1960, Bacu-Bacu dahulu menjadi tempat bersembunyi atau
markas Pejuang DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). “Pak Kahar Muzakkar
pernah datang di desa ini. dulu penerapan hukum Islam sangat ketat di desa ini,
banyak warga yang kedapatan mencuri atau berbuat merugikan masyarakat yang
dikenai hukum setimpal. Sebagian warga sebenarnya senang dengan penerapan hukum
seperti itu, desa menjadi damai,” lanjut Meleng.
Jika ditelusuri lebih lama lagi,
penduduk awal yang menetap di Bacu-Bacu mulanya tinggal di bukit yang lebih
tinggi, sebab di situ terdapat bekas kuburan. Konon orang Bacu-Bacu dahulu
selalu dikubur di kolong rumahnya sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa
penduduk awal Bacu-Bacu adalah orang daratan di kerajaan Barru yang melarikan
diri naik ke gunung dari kejaran tentara Belanda. Pertambahan penduduk hingga
kini disebabkan oleh proses pernikahan antar keluarga. boleh dikata bahwa
penduduk di desa ini adalah sebuah jaringan keluarga besar yang telah dibentuk
selama berpuluh-puluh tahun.
Sedangkan Dusun Amerrung berasal
dari Nama Sungai Meru Keru, yang mengalir melintasi dusun dan desa. sungai yang
mengalir dari atas bukit sejauh empat kilometer inilah yang menjadi tumpuhan
warga yang berharap pada kelimpahan airnya.
Konon di Bacu-Bacu memiliki
keterikatan adat yang kuat, terbentuk dan dipercayai sejak dahulu kala. Di desa
ini terdapat kesepakatan akan Pinati, yaitu kesepakatan akan
jadwal tanam yang serentak. Warga dilarang untuk menanam bibit mendahului tokoh adat yang ditunjuk sebagai
Pinati. Tokoh Pinati di Bacu-Bacu ada dua Arung (bangsawan), mereka saling
tukar memimpin penanaman benih dan panen setiap tiga tahuan sekali. Tanah
Pinati saat ini bernama riapporollongge. Di Bacu-Bacu saat
ini terdapat lima arung yang memiliki 40 prajurit. Seiring perjalanan waktu,
ikatan kekeluargaan dan ikatan kekerabatan antar warga Bacu-Bacu dapat
mengalami penurunan. Apalagi diperparah masuknya sistem pemilihan langsung di
Desa, dimana pasca pemilihan akan terbentuk dua atau lebih kubu yang saling
bersaing dalam memperebutkan kekuasaan di desa.
Di Bacu-Bacu terdapat pula
kepercayaan bahwa lelaki yang menikahi dua perempuan sekaligus (Poligami) tanpa
menceraikan istri lamanya, maka dijamin salah satu istrinya meninggal dunia
atau sang suami-lah yang meninggal. Kepercayaan ini masih membayangi warga,
sehingga di Bacu-Bacu tak ada warga yang melakukan poligami.
Pembahasan sejarah ini, kita
perlu melirik perintisan jalan yang dimulai sejak tahun 70-an. Dahulu orang
keluar masuk desa ini dengan berjalan kaki atau dengan berkuda, Pengerasan
jalan baru dimulai sejak 2004, yaitu pada masa kepemimpinan Bupati A. Rumpa.
Jalan menuju desa ini sangat parah, jika pengemudi kurang hati-hati mengendarai
mobil mereka, tidak menutup kemungkinan mobil mereka seret ke jurang. Apalagi
ketika hujan menerpa, jalanan basah dan becek, belum lagi batu-batu yang
menggelinding jika ditekan, batu-batu itu tidak lengket di tanah, tapi lepas
hambur. “tidak ada perubahan jalan di desa Bacu-Bacu pada masa kepemimpinan
Idris (bupati saat ini),” ungkap Meleng.
Akibat jalanan yang masih sebatas
pengerasan ini, warga merasa kesulitan memasarkan hasil kebun dan sawah. Mereka
mesti menyewa mobil angkutan untuk mengangkut hasil gabah dan kacang, itu pun
dengan harga yang mengeyeritkan dahi. Sekarung gabah dihargai Rp.
10.000 – Rp. 15.000 untuk diangkut ke Desa Ralla yang jaraknya 10 kilo
setelah Doi-Doi, jadi jaraknya 22 kilometer dari Bacu-Bacu. Biasa pula warga
menjual hasil gabahnya pada pedagang yang datang ke Bacu-Bacu. Mereka pun
membeli dengan harga murah, kadang hasil kebun dan sawah itu dijual pada
penjual ikan yang ada di Bacu-Bacu. penjual ikan itu membeli gabah seharga Rp.
5000 perkilogram.
Kerusakan jalanan turut
berpengaruh pada pelayanan kesehatan dan pendidikan di Desa Bacu-Bacu.
Bagaimana tidak, bidan dan pegawai pustu yang bertugas di desa ini malas
berkunjung melihat-lihat daerah tugasnya. Penyebab lainnya karena ia menetap di
luar desa, sehingga tak bisa intens berkunjung. Mestinya petugas kesehatan ini
menetap di dusun atau di desa, namun alasan mereka tidak menetap karena
fasilitas penginapan di Pustu tidak layak nginap.
Jalanan yang buruk pun membuat
penduduk kesulitan untuk membeli obat di pusat kecamatan, atau untuk memperoleh
layanan kesehatan lebih baik di kota Barru. Sebab untuk keluar desa, mereka
harus mengeluarkan ongkos angkutan lagi. selain itu, kepemilikan motor di desa
ini masih pada kalangan tertentu saja.
Di sektor pendidikan, jalanan
yang rusak ini menghambat para guru yang berasal dari luar desa untuk berangkat
ke sekolah untuk mengajar. Bagaimana tidak, guru yang bertugas di desa ini
kebanyakan adalah guru yang berasal dari luar desa.
Akibat jalanan ini pula listrik
baru masuk ke Bacu-Bacu awal tahun 2012. Sebelumnya warga hanya menikmati
listrik dari pembangkit listrik tenaga air (kincir air). Tapi, Ketiadaan
listrik ini kurang diketahui dampaknya terhadap kehidupan warga, setidaknya
kehadiran listrik setahun ini lebih memudahkan warga dalam beraktivitas di
rumah pada malam hari, bisa bersantai menikmati televisi. Hal menyulitkan
lainnya adalah belum massifnya jaringan handphone di desa ini, kita kesulitan
untuk mengirim dan memperoleh informasi lewat telepon, sebab sinyal HP hanya
ada di sekitaran bukit di atas kantor desa.
Mata pencaharian utama warga desa
ini adalah dengan bertani pada lahan tadah hujan irigasi sederhana. Sawah
penduduk Bacu-Bacu digunakan dua kali dalam setahun, enam bulan pertama di
tanami padi yang diawali dengan
penyiapan lahan pada November, penanaman pada Januari hingga panen pada April. Pada
bulan enam, sawah tersebut dipersiapkan untuk ditanami kacang. Kacang berbeda
dengan padi, komoditas ini dapat bertahan dengan kondisi air minim atau dapat
tumbuh pada musim kemarau. Selain di sawah pada musim kemarau, kacang juga
ditanami penduduk pada ladang-ladang kering pada musim hujan. Sehingga kacang
panen sebanyak dua kali dalam setahun.
Menurut Meleng, sejarah penanaman
padi di desa ini juga mengalami perubahan-perubahan. Tahun 1970-an, masyarakat
masih menolak kedatangan bibit baru serta pupuk. Masyarakat memang dalam
menanam padi hanya untuk kebutuhan makan saja, bukan untuk dijual, sehingga
mereka belum merasa perlu untuk memperluas atau pun menambah kapasitas produksi
mereka. Waktu itu padi yang bernama Padi Galung, padi yang batangnya panjang itu pun
dipelihara dalam rentang waktu panjang, yaitu sekitar enam bulan. Kemudian
perlahan-lahan diperkenalkan pupuk dan pestisida, dimana gabah mereka lebih
cepat dipanen. Namun, kini warga pun merasakan ketergantungan tinggi pada pupuk
(urea, Za, Posca), dan pestisida.
Padi galung ini tetap ditanam
hingga kini, lantaran bibit ini dianggap cocok dengan kualitas tanah yang ada
di Bacu-Bacu. Walau tiap tahun dinas pertanian selalu memperkenalkan bibit
hasil persilangan, seperti padi Bogo, AC Daeri, dan Padi Gadis untuk diujicoba
di desa ini. Persentase padi ujicoba di lahan warga sekitar 5 persen. Namun,
biasanya bibit ujicoba ini terlambat dikirim ke desa, sehingga biasanya orang
telah menanam baru bibit itu datang, sehingga menimbulkan ketidak seragaman
waktu tumbuh. Terkait dengan padi galung, “Hasil padi galung lumayan bagus,
tapi cukup keras,” ungkap Meleng.
Sepertinya, sudah waktunya untuk
memikirikan peralihan penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik, serta dari
pestisida kimiawi ke pestisida organik. Sebab jika penggunaan pupuk kimiawi dan
pestisida kimiawi ini terus berlanjut, tak lain akan merugikan petani kelak,
unsur hara pada lahan menipis dan terus digantikan oleh pupuk, sehingga
penggunaan pupuk akan semakin banyak sementara hasil panen menurun. Sedangkan
penggunaan pestisida kimiawi, selain akan berakibat buruk bagi kesehatan, juga
akan membuat hama dan penyakit tumbuhan tersebut bermutasi sehingga tahan
terhadap pestisida. Lagi-lagi, ini malah akan menambah kerepotan para petani. sebenarnya
penggunaan pupuk organik sudah sering didengar oleh masyarakat Bacu-Bacu, namun
mereka mengeluhkan pembuatan dan penggunaannya yang cukup rumit.
Di samping gabah itu, tampaknya kacang-lah
yang dapat melonggarkan ikat pinggang penduduk yang lahannya kurang. Misalnya
petani yang lahannya hanya 0,4 hektar, produksi padi sekali panen hanya 10 – 15
karung hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. “Biasanya lahan empat
are dapat satu karung padi, kalau 40 are menjadi 10-15 karung,” ujar Meleng
(57), Kepala Dusun Ammerrung. Sementara kacang sepenuhnya ditukar dengan uang,
ada yang menjualnya dalam bentuk kacang mentah di pasar Ralla sejauh 10
kilometer ataupun pasar Doi-Doi yang jaraknya 9 kilometer, tapi ditempuh dengan
waktu 45 menit akibat jalan pengerasan yang berupa batu lepas. Kacang terlebih
dahulu digiling di pabrik yang ada di desa, setelah itu menyewa angkutan untuk
diantar ke pasar.
Pada musim hujan, air diperoleh
dari aliran sungai besar Meru Keru, yaitu sungai yang terletak empat kilometer
dari pusat desa, berada dan mengalir di ketinggian melewati lahan-lahan
penduduk. Selain itu, terdapat banyak aliran-aliran kecil bercabang yang
sepanjang tepinya terdapat sawah bertingkat-tingkat. Kini aliran air itu
dibantu oleh saluran irigasi teknis dan perpipaan. Namun irigasi yang merupakan
bantuan pemerintah itu tampak tidak terawat dan justru memicu konflik
pengelolaan. Sebagian warga menyalahkan pembangunan proyek itu, yang dianggap
tidak serius. Soalnya terdapat banyak kebocoran pada saluran irigasi tersebut.
Sementara pada musim kemarau, air menyusut dan bahkan mengering.
Peyebab mengeringnya sungai dapat
pula disebabkan karena menipisnya tegakan kayu di hamparan bukit. penipisan itu
tak lain akibat dari aktivitas perladangan penduduk yang merambah hingga ke
puncak-puncak bukit. akibat lainnya yaitu munculnya babi di lahan warga (kebun
dan sawah), sebab babi manusia sudah memasuki wilayah teritorial babi di hutan.
Wajarlah hewan pemakan segala ini mengganggu lahan, yang membuat penduduk
Bacu-Bacu disusahkan dengan harus menjaga sawah saban malam. Meski begitu,
warga tetap mengusahakan untuk menahan laju babi, dengan membentuk organisasi
pemburu babi. Pemburu yang berhasil menangkap babi berhak memperoleh indomie
sebanyak 15 bungkus.
Belakangan ini telah ada model
penghijauan kembali pada lahan-lahan gundul, dengan menanaminya bibit program
Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Ambo Tuwo, Mantan Kepala Desa bacu-Bacu telah
menginisiasi penanaman kayu-kayuan tersebut pada 2009, kelompok tani yang
dipimpinnya telah memperoleh ijin penanaman dan ijin penebangan kayu yang telah
ditanam pada 2011, yaitu IUPHHTR. “Namun, bibit yang telah kami tanam itu
sering kali diserang ternak (sapi), sehingga banyak bibit yang mati,” ujar Ambo
Tuwo. Saat ini warga menginisiasi pengumpulan dana untuk pembuatan pagar pada
lahan HTR. Dana itu harus dikumpulkan oleh warga sendiri, sebab dana pinjaman
bantuan (BLU) dari pemerintah sukar diperoleh. Kelompok tani harus menampakkan
progres penanaman sebelum mengirim proposal permintaan anggaran.
Tahun-tahun sebelumnya, Bacu-Bacu
juga pernah mendapat program HTI seluas 200 hektar dengan bibit Gmelina dan
Mahoni, pernah pula dilakukan penghijauan atau reboisasi. Selain itu,
pohon-pohon jati yang berasal dari pembagian HTI ataupun reboisasi itu banyak
ditanami warga di halaman belakang rumah. Sehingga kelak pohon itu akan
bermanfaat untuk menambah pundi-pundi keuangan warga.
Satu hal positif yang tampak
istimewa di Desa bacu-Bacu, yaitu semangat belajar para generasi Bacu-Bacu. Di
desa ini jangan heran ketika melihat rumah warga yang sudah lapuk, namun di
ruang tamunya bertengger foto anaknya yang sudah memperoleh gelar sarjana. Para
orang tua di desa ini sangat memperhatikan kelanjutan pendidikan anaknya.
Mereka rela bekerja siang malam untuk memperoleh ongkos sekolah anak, bahkan
banyak orang tua rela merantau ke daerah lain untuk mencari uang demi
menyekolahkan anak.
Kami memperoleh data tingginya
laju emigrasi di desa ini, khususnya ke Kolaka, Malaysia, dan Kalimantan Timur.
Di Dusun Batulappa jumlah KK yang sementara merantau ada 21 KK, hampir semuanya
merantau ke Kolaka. Dusun Ampiri terdapat 45 KK dan terbagi di tiga daerah
rantauan, yaitu Malaysia, Kalimantan Timur, dan Kolaka/Kendari. Di Dusun
Ammerrung terdapat 15 KK yang merantau ke Kolaka, dan empat KK yang ke
Malaysia. Daerah-derah itu mereka bertani kebun, menjadi buruh kelapa sawit,
atau pun berdagang. Mereka pun datang setiap dua tahun sekali atau setahun
sekali. Dari data tersebut tampak begitu banyaknya warga yang merantau ke Kendari,
menurut Mia, yang mengawali perantauan ke Kolaka adalah Lalluru dan La Tuwo
pada 2006.
Para warga
tidak hanya merantau di daerah yang jauh, mereka juga pada musim-musim tertentu
merantau ke desa tetangga barang satu minggu/pekan. Tujuan perantauan ini yaitu
untuk menambah pundi-pundi keuangan dengan bekerja sebagai pemotong padi (massangki) pada musim panen.
Ketika merantau, anak-anak mereka
ditinggal di kampung untuk sekolah, dan jika sudah SMA mereka menyekolahkan anaknya di desa lain yang
ada fasilitas sekolah. Makanya sangat jarang ditemukan anak muda umur SMA di
desa ini.
Di Bacu-Bacu terdapat sebuah SD
dan SMP di Dusun Ammerrung, dan sebuah SD di Dusun Ampiri. SMP di desa ini baru
dibangun tahun 2009 lalu. Anak-anak di desa ini bersekolah dengan cukup
disiplin, guru-guru juga datang mengajar dengan intensif. Sehingga masa depan
anak muda di desa ini boleh dikata telah memiliki modal pengetahuan. “Kalau
sudah bisa membaca dan menulis, itu sudah menjadi modal untuk merantau,” ujar
Mia, Ibu yang suaminya sementara merantau di Kolaka. Mia memiliki seorang anak
yang masih sekolah kelas empat di SD Bacu-Bacu.
Di Bacu-Bacu ada kecenderungan
bahwa anak muda lulusan SMA lebih memilih profesi tentara ataupun polisi, di samping
sebagai tenaga guru. Para orang tua sangat mengidamkan anak mereka menjadi tentara,
walaupun mereka harus membayar hingga puluhan juta rupiah. Contohnya Muh.
Soleh, dia sudah delapan kali mendaftar jadi tentara, namun tidak sempat lulus.
Ia punya kenalan di jajaran kepolisian, tapi kenalannya tidak berhasil
membantunya untuk lolos seleksi. Uang yang ia bayar pun dikembalikan. Berbeda
dengan temannya, ia berhasil lolos dan telah membayar uang. Saya pun bertemu
dengan seorang pemuda yang masih bersekolah SMA di Desa Ralla, ia pun
bercita-cita menjadi tentara. “kalau orang tua mendukung dan ada uang, saya
akan mendaftar jadi tentara”.
Kembali ke perantauan, terdapat
warga yang ketimpa sial ketika merantau. Ini dialami Syukur (30), ia merantau
selama sepuluh tahun di Serawak Malaysia dan selama lima tahun di negeri jiran
dia tidak mendapat gaji. Dia ternyata di jual sama orang yang mengirmnya ke
sana menjadi buruh tanpa bayaran. Setelah 5 tahun dia lari dari perusahaan
tempatnya bekerja dan akhirnya mendapat pekerjaan dimana ia sudah memperoleh
gaji, meski tetap jadi buruh sawit. Selama lima tahun dia mengumpulkan uang
agar bisa kembali ke Bacu-Bacu di Dusun Ampiri.
Penutup
Warga Bacu-Bacu pada umumnya
tidak terlalu mengeluhkan persoalan di desanya. Mereka pun sudah terbiasa
menghadapi orang luar yang masuk ke desanya. Bahkan waktu lomba desa, warga
ramai-ramai membuat makanan yang sangat lezat bagi para tamu dari kota. Desa
ini hampir semua warganya memiliki lahan, sehingga tidak ada warga yang
betul-betul dalam kondisi papa. Mungkin ada satu dua orang, itu pun karena
faktor cacat sehingga tidak bisa ke sawah, tapi keluarganya yang lain-lah yang
ke sawah.
Tentang warga yang terekslusi
secara internal atau termarjinalkan, hanya terjadi pada warga yang menderita
penyakit berbahaya, seperti kusta dan TBC. Sebab penyidap penyakit ini akan
sulit berinteraksi dengan warga lainnya. Sementara warga lainnya dianggap hanya
mengalami ekslusi secara eksternal, yang disebabkan oleh kondisi jalanan yang
buruk, pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Mereka rata-rata punya akses
bagus di komunitas/kelompok tani mereka. Mereka pun mampu dan punya kesan baik
dalam menyekolahkan anak atau generasi mereka. “Saya biasa ikut rapat kelompok
tani,” ujar Lawewang, petani yang sudah sangat tua (70-an), beliau memiliki
lahan 0,4 hektar dengan hasil panen sepuluh karung. Ia juga mengaku memiliki
cucu yang sementara sekolah di kelas 4 Sekolah Dasar (SD).
0 komentar:
Posting Komentar