Upaya petani menanam pohon di
Bangkeng Buki’, menjamin ketersediaan air, mencegah longsor. Dan memetik
bahagia dari hasil panen kemudian hari.
Menyebut Bulukumba alam
imajinasi kita selalu diantar ke situs pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Beru
dan bermain pasir putih di Pantai Bira. Itulah kesan pertama yang muncul. Tapi
Kota Panrita Lopi ini bukan sekadar gelombang dan cerita tentang pelaut yang
pantang seret ke pantai, di daerah ini juga terdapat masyarakat desa yang
berjuang menyuburkan kembali lahan kritis di bukit-bukit dan membangkitkan
kesadaran lingkungan pada warga desa hutan.
Prototipe kesadaran ini
sebenarnya sudah terbangun pada komunitas masyarakat Kajang Bulukumba, hutan
adat milik mereka cukup terpelihara dan warga punya aturan khusus dalam
memanfaatkan hutan. Nah, kali ini kita akan menyoroti bagaimana aturan
pemerintah cukup membantu masyarakat dalam mendefenisikan kembali pola hubungan
mereka dengan alam.
Rabu – Kamis (1-2 Mei
2013), kami dari Sulawesi Community Foundation (SCF) menemani Ir. Erna
Rosdiana, Msi, Kepala Bidang Pemberitaan dan Publikasi Kementerian Kehutanan,
beserta tujuh media nasional, yaitu Sinar Harapan, Radio Republik Indonesia
(RRI), Republika, Investor Deli, Suara Pembaharuan, Jurnal Nasional, dan Global
TV, untuk mengamati Hutan Kemasyarakatan (HKm) di pegunungan Anrang, Bangkeng
Buki’ Desa Bontonyeleng, yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukit
Indah.
Rombongan berjalan kaki
sekitar empat kilometer mengikuti jalan setapak. Para wartawan melakukan
pemotretan di sepanjang jalan, sambil mewawancarai pengurus KTH dan penyuluh
kehutanan. Sementara Ir. A Misbawati A Wawo, MM selaku Kepala Dinas Kehutanan
asyik berbincang dengan Ir. Erna
Rosdiana, Msi di sepanjang jalan. Dalam perjalanan itu badan basah kuyup akibat
keringat, kami pun sempat menyeberangi sungai dengan kedalaman di atas mata
kaki.
Luas lahan milik KTH
Bukit Indah yaitu 127 Ha, yang terletak di Bangkeng Buki’ atau Kaki Bukit
sebelah timur Gunung Lompo Battang. Lahan di Bangkeng Buki’ sudah dimanfaatkan
oleh warga dengan menanam cokelat dan jagung sejak 1990-an. Sehingga tegakan
pohon kayu kala itu kian berkurang. “Pada waktu itu sawah di bawah bukit hanya
bisa panen sekali dalam setahun, akibat kurangnya air pada musim kemarau,” ujar
Burhanuddin, Ketua KTH Bukit Indah.
Lalu ada fasilitasi
penanaman 25.000 bibit pohon Jati Putih (Gmelina)
dari Dinas Kehutanan pada 1998. Masyarakat pun beramai-ramai menanam pohon pada
lokasi yang sudah terbuka. Tahun berjalan, pohon itu menghasilkan buah dan
berjatuhan dari dahannya, buah itu pun dijadikan bibit oleh petani untuk
ditanami kembali. Selain itu petani juga menanam cengkeh dan kemiri di antara
pepohonan jati. Kini umur pohon tersebut mencapai 14 tahun sejak ditanam dan
sudah layak panen. Namun, mereka belum memperoleh ijin panen. Padahal jika
lambat ditebang, kulit pohon bisa kropos.
Penanaman dan
bertambahnya tegakan di Bangkeng Buki’ ini ternyata memberi manfaat positif.
Pada musim kemarau, air pada Sungai Bijawang dan Sungai Tuli tetap tersedia,
sehingga warga sudah dapat panen dua kali dalam setahun. Apalagi pada 2007
muncul aturan pemberian ijin pemanfaatan hutan oleh masyarakat/HKm, peluang itu
segera dilirik oleh Pemda Bulukumba. di bangkeng Buki’ dibentuklah kelompok HKm
Bukit Indah pada Desember 2007 dan mulai aktif pada Januari 2008.
Hutan kemasyarakatan
(HKm) merupakan skema yang ditelorkan pada 2007 melalui Permenhut No.
P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 jo
P.52/Menhut-II/2011. Skema ini lahir untuk memberi kesempatan pada masyarakat
yang berada di dalam dan sekitar untuk untuk memanfaatkan hutan dalam hal
sektor jasa. “Masyarakat juga boleh menebang kayu yang ia tanam sendiri. Kayu
yang tumbuh alami tidak boleh ditebang,” ujar Rustanto Suprapto, Direktur
Eksekutif SCF. Masa izin HKm ini berlaku selama 35 tahun. Sehingga warga bisa
melakukan penanaman dan pemanenan kayu berulang kali di lokasi HKm.
Realisasi HKm ini
mendapat dukungan penuh dari Pemda Bulukumba. Sejak 2008 Pemda telah memberikan
ijin pengelolaan pada delapan KTH. Pilot project pertama dengan dibentuknya
tiga KTH, yaitu KTH Mattaro Deceng yang terletak di Desa Anrang, KTH Mabbulo
Sibatang di Desa Bonto, dan KTH Bukit Harapn.
Cukup berat untuk
menyakinkan masyarakat yang telah berkebun di kawasan hutan untuk mencabut SPPT
(Surat pajak) sebagai persyaratan realisasi HKm. Kami lalu menggencarkan pendekatan
ke petani dengan sesekali memberikan contoh buruk jika petani tak segera
melestarikan lingkungannya. “Tahun 2006 terjadi longsor di Bangkeng Buki’, saya
perlihatkan ke masyarakat, jika tak menanam pohon, longsor dapat terulang
lagi,” kata Burhanuddin. Selain itu pengurus KTH berkoordinasi dengan Dinas
Perpajakan untuk memutus SPPT para petani.
Di hutan kami pun
mendapat berbagai potensi yang bisa dikembangkan, di hutan ini tersebar tanaman
iles-iles atau porang, yaitu sejenis tanaman umbi-umbian yang ternyata di Jawa
sudah dibudidayakan, karena banyak diekspor untuk kebutuhan pangan mie.
Terdapat pula kunyit, nenas hutan, dan daun penangkal luka. Petani biasa pula
memperoleh madu hutan. Tapi yang paling utama di kawasan hutan ini masyarakat
memperoleh manfaat dari berkebun cokelat, cengkeh, dan kemiri. “dengan adanya
HKm berarti kami diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan usaha kebun cokelat
kami, yang sebelumnya selalu dilarang-larang oleh petugas,” ujar Burhanuddin.
Pengelolaan
Bumdes di Bantaeng
Lain padang lain belalang,
berbeda dengan Bulukumba, ijin pengelolaan hutan oleh masyarakat di Bantaeng mengikuti
skema Hutan Desa (HD). Pada 2010 telah ditetapkan kawasan Hutan Desa (HD)
Bantaeng seluas 704 hektar, sebanyak 339 Ha di Desa Labbo dan 335 Ha di Desa
Campaga.
Di Bantaeng Pemda
memiliki andil besar, Pemda menginisiasi pembentukan BUMDES (Badan Usaha Milik
Desa) dan tiap Bumdes diberi dana bergulir sebesar Rp. 100 juta beserta sebuah
mobil operasional. Dana inilah yang digunakan oleh Bumdes Labbo, desa yang kami
kunjungi saat itu untuk pengelolaan dana air bersih dan biaya
pelatihan-pelatihan, salah satunya yaitu pelatihan budidaya lebah madu. Hasil
HD yang berasal dari pengelolaan air dan budidaya lebah madu itu 30 persennya
diserahkan ke Bumdes untuk didistribusikan kembali ke masyarakat. Saat ini masyarakat
telah mengusahakan berbagai komoditas di Labbo, seperti rotan, bunga kembang
doa, markisa, kopi, madu, dan air.
“Sebelum ada Bumdes,
pengelolaan air di Labbo semrawut dan pembagian air tidak merata. Setelah
Bumdes dengan model pengaliran air melalui perpipaan, pembagian air sudah
merata. Warga tidak dipaksa membayar di kantor desa, tapi biasanya pengurus
Bumdes datang ke rumah mereka untuk menagih iuran air. Biaya beban air yaitu
Rp. 500,” ujar Ramli, Direktur Bumdes Labbo.
Terkait pelatihan lebah
madu, konon dulu warga harus membakar kayu untuk memperoleh madu di hutan.
setelah pelatihan, warga sudah paham cara memperoleh madu tanpa membakar kayu.
selain itu masyarakat diajak untuk menanam bunga sebagai bahan makanan
kerumunan lebah.
Menurut Adam, Direktur
Balang, organisasi swadaya masyarakat yang mendampingi warga. “Skema hutan desa
ini berperan untuk menjaga hutan dari perambahan para pengusaha besar (tambang,
sawit), sekarang posisi masyarakat sama dengan pengusaha,” ucap Adam, tegas. Hutan
desa memberi legitimasi bahwa masyarakat sebenarnya sangat menghormati alam,
sebab mereka tahu kalau hutan digerus, sumberdaya air untuk persawahan mereka
akan berkurang. “Pada peta RKHD (Rencana Kerja Hutan Desa) ditemukan sebaran Anoa
di sekitar wilayah konservasi, sehingga masyarakat menjaga area tersebut untuk
menjaga keberadaan anoa,” tambah Adam.
Menurut Prof Supratman,
akademisi Unhas, pelestarian HD dengan pembinaan masyarakat dapat menjaga
sumber mata air di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) Lantebung. Bumdes sangat
strategis untuk pengelolaan dan pelestarian lingkungan disebabkan karena Bumdes
melibatkan peran pemerintah untuk mengintervensi pengelolaan hutan, dimana kepala
desa dapat membuat peraturan tentang pengelolaan HD.
0 komentar:
Posting Komentar