Tergerak hati saya untuk
menulisnya kembali. Seorang manusia yang terus mencoba untuk menjadi dirinya
sendiri. Diri yang merasai dunia apa adanya, dengan sebungkus rokok, segelas
kopi dan sebuah pertemuan. Ketiga hal itu menandakan dirinya hadir untuk menebar
gagasan dan gelitik.
Ya, semalam saya dengan kelelahan
memangkas jarak ke Lephas Unhas, untuk menikmati sunyi yang menyengat. Di depan
pintu ruang, Saya melihatnya terbaring, punggungnya sakit. Saya tak tahu apa
pertanda dari menutupnya mata Kak Alwy dengan tangan terselungkup. Lama ia
terbaring, saya mendengar dari Kak Ary kalau Kak Alwy sepanjang hari duduk
untuk interviuw. Kami pun berbincang
dalam lingkaran amoeba, bersama Wahyu, Rahmat dan Dijkun, Kak Ary dan seorang
mahasiswa yang tidak saya tahu namanya. Kami Ketawa-ketiwi saja menertawai
tingkah dosen-dosen kita yang makin lucu sekaligus garing.
Kak Alwy duduk dan besandar. Ia
tiba-tiba dengan serius dan semangat bercerita tentang dosen-dosen sastra yang
baik dahulu. Seperti Mattulada yang memarkir mobilnya di kejauhan kemudian
berjalan kaki ke jurusan dengan topi koboi di kepalanya. Ia bercerita bagaimana
Mattulada meminta menyodorkan uang ke mahasiswanya kemudian meminta untuk
membuat api unggun di malam hari, lalu Mattulada datang membawa puisi. Kak Alwy
bercerita tentang lucunya seorang professor sastra. Dimana tas mengajarnya
sering tertukar dengan tas dapur istrinya, suatu ketika tas ia bawa ke kelas
berhamburan buku dan sayur kangkung. Professor itu pun sering lupa kalau ia
mobilnya masih di kampus, sebab ia ke rumah karena di antar mahasiswanya. Lalu
kembali ke kampus membawa motor kecilnya untuk mengambil mobil, setiba di
Kampus, ia pun kembali bingung bagaimana turut membawa motor kecilnya itu.
“orang pun dibuat bingung ketika ia meninggal, di rumahnya yang penuh buku itu
tak ada sarung. Kami terpaksa mencarikan sarung di tempat lain untuk menutup
jenazahnya,” kata Kak Alwy.
Kak Alwy bercerita tentang dosen
yang tak tua dengan baju yang selalu tak terkancing, mondar-mandir di antara mahasiswa
yang lagi asyik bermain gitar. Dosen itu pun ikut bernyanyi la la li li li,
hingga 10 atau 15 lagu. Dosen itu dengan gayanya sendiri memodifikasi motor
kebanggaannya. Yang sering dipakainya pulang balik ke kampus. Namun dengan
motor kebanggannya itulah dia pergi dan menghadap.
“Ah, sayang mereka pergi
rata-rata di usia tak tua,” lanjut Kak Alwy. Kami pun membandingkan dengan
dosen-dosen sekarang, yang selalu mengatur prilaku mahasiswanya, dengan menutup
diri dalam kepalsuan jabatan dan profesi. Bersembunyi dalam hukum yang ia buat
dengan gegabah, memangsa dan mengorbankan jiwa dan kreatifitas mahasiswanya. Sekarang
dunia kemahasiswaan adalah dunia yang hampa. Dunia yang tak memiliki pesona,
tak menyengat. Sudah jarang dosen yang mau berbagi dengan mahasiswanya, dosen
yang mau berlama-lama mendengar keluhan dan harapan mahasiswanya. Dalam kondisi
seperti itu, wajar saja mahasiswa tak betah dan ingin segera keluar dari
kampus. Dan itu pula yang diharapkan oleh para birokrat. Kampus yang berbau teknokrat.
Kampus yang lebih mementingkan ukuran-ukuran, indikator-indikator,
strata-strata, dibandingkan pertemuan, rokok, dan secangkir kopi.
Pukul 12.00, pertemuan usai. Kami
berniat pulang ke tempat masing-masing. Di antara kesunyian itu saya duduk di
bangku cokelat teras lephas menghadap ke gedung megah kehutanan. Pak Alwy
datang, “Idham bulan depan kita kumpul untuk membicarakan literasi”. Tapi ada
kalimat yang tak saya mengerti, “kita tinggal berdua penulis literasi”.
Saya tiba di sekretariat identitas, selangkah kaki saya di pintu
identitas mustafa datang berbisik. “Kak, Kak Ahyar meninggal dunia,” ucapnya
samar-samar. Kabar itu berasal dari Kak Supa dan kami memeriksa informasi itu
melalui facebook milik Ahyar Anwar. Betul, beliau meninggal di rumah sakit
Grestelina pukul 22.00 WITA.
Kemudian saya membaca status Erni
Aladjai, “Saya percaya orang baik selalu lekas menemui tuhannya”.
Dan pagi ini, kematian penulis
dan budayawan itu, saya teringat dengan cerita-cerita Kak Alwy semalam, tentang
dosen sastra yang lucu, mempesona, dan banyak yang mendahuluinya.
Inna lillahi wa inna lillahi
rojiuun. Semoga Ahyar Anwar tenang dan mendapat tempat di alam sana.
0 komentar:
Posting Komentar