Anatomi
Sebagaimana hewan air pada
umumnya, kepiting juga dilengkapi organ tubuh untuk menunjang fungsi fisiologi.
Kepiting memiliki insang, lambung, jantung, hepatopanckreas, maupun alat
reproduksi. Semua organ tersebut terletak di dalam rongga cepalotoraks.
Insang nampak seperti sisir
memenuhi rongga dada. Insang menempati ruang besar di sisi lateral tubuh. Ada
delapan insang pada setiap sisi tubuh. Masing-masing dari delapan insang
terdiri atasu sumbu sentral. Di sisi yang berlawanan terdapat lamella insang
yang memberikan luas permukaan yang sangat besar untuk pertukaran gas. Insang
berfungsi sebagai alat pernafasan kepiting.
Seperti pada krustasea lainnya,
saluran pencernaan kepiting dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : foregut, midgut
dan hindgut. Foregut terdiri atas mulut, kerongkongan, dan lambung. Midgut
adalah tabung dengan usus buntu anterior dan posterior serta kelenjar
pencernaan. Hindgut adalah tabung lurus sederhana yang berakhir pada anus.
Jantung merupakan organ yang
mengendalikan kegiatan sirkulasi pada kepiting bakau. Jantung pada kepiting
bakau biasanya berwarna putih atau abu-abu buram dan terletak di ruang
hemocoelic dikenal sebagai sinus perikardial.
Kelenjar pencernaan kepiting
biasa disebut hepatopankreas. Terletak saling bertumpuk dengan ovarium atau
telur. Selain karena letaknya, warna hepatopankreas pun kuning sehingga
seringkali dikelirukan sebagai telur. Hepatopankreas, selalu berperan sebagai
kelenjar pencernaan, juga berperan mendeposit sejumlah glikogen dan
cholesterol. Selain itu, hepatopankreas mengandung sel-sel metalltionin yang
berfungsi mendeposit logam-logam berat dan melokalisasinya. Karena itu,
sebaiknya hepatopangkreas dikeluarkan atau dibuang sebelum kepiting diolah
menjadi makanan, terutama bila perairan tempatnya hidup ditengarai
terkontaminasi logam berat.
Penyebaran dan Habitat
Hewan ini memiliki sebaran
geografik yang luas meliputi wilayah indo-fasifik, mulai dari teluk mossel di
Afrika Selatan sampai pantai Timur Afrika. Ke timur, dari India, Srilanka,
Malaysia, Indonesia terus ke Filipina. Penyebarannya ke utara meliputi
Thailand, Cina dan Taiwan, sedangkan ke Selatan meliputi Papua Nugini,
Australia, dan pulau-pulau Selandia Baru. Kepiting bakau juga terdapat pada
beberapa pulau di Lautan Pasifik, dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter.
Kepiting bakau melangsungkan
perkawinan di perairan hutan bakau, selanjutnya kepiting betina beruayake laut
untuk memijah. Sebaliknya juvenil (kepiting muda) dan menjelang dewasa beruaya
ke pantai dan muara sungai untuk mencari makan dan berlindung. Kepiting muda
menyukai tempat-tempat terlindung seperti alur-alur air laut yang menjorok ke
daratan, di bawah batu, bentangan rumput laut, dan di sela-sela akar bakau atau
membenamkan diri di dalam lumpur.
Beberapa literatur melaporkan
bahwa kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan dengan
kisaran salinitas yang lebar, yakni 5 – 40 ppt. Selama pertumbuhannya menyukai
salintas rendah 5 – 25 ppt. Karena itu, kepiting – kepiting muda banyak ditemukan
di pesisir pantai atau di muara sungai yang memiliki salinitas relatif rendah,
bahkan di sungai yang jauh dari laut dengan salinitas sekitar 5 ppt.
Kepiting tidak menyukai air yang
keruh. Mereka membutuhkan air bersih yang bebas pollutan baik dari industri,
pertanian, maupun limbah domestik. Salah satu senyawa yang paling berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup kepiting adalah amoniak (NH3). Amoniak
bersifat toksik, sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni
organisme. Amoniak mempengaruhi permeabilitas organisme, menurunkan konsentrasi
ion netralnya, mempengaruhi konsumsi oksigen, dan pertumbuhan.
Meskipun kepiting bakau dikenal
sebagai organisme perairan, namun kepiting bakau dapat bertahan hidup tanpa
air. Keadaan ini dimungkinkan karena kepiting mampu menyerap air lebih lama di
bawah karapasnya yang tebal dan keras, sehingga insang tetap basah dalam waktu
lama. Bila insangnya kering maka kepiting pun akan mati karena tidak
mendapatkan suplai oksigen. Hal ini menjadi ciri khas dan kelebihan kepiting
bakau, sehingga dapat diperdagangkan dalam keadaan hidup.
Siklus Hidup dan Reproduksi
Perkembangan kepiting bakau mulai
dari telur hingga mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa kali perubahan
(metamorfosis), yaitu dimulai dari zoea yang terdiri atas 5 tingkatan (zoea 1 –
5), megalopa, crablet, dan kepiting dewasa. Larva kepiting bakau stadia zoea
bersifat planktonik, namun setelah mencapai stadia megalopa sampai dewasa
bersifat bentik dan suka membenamkan diri ke dalam pasir atau lumpur.
Pakan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa termasuk
jenis hewan pemakan segala dan bangkai (omnivorous scavenger). Pada saat larva,
kepiting bakau memakan plankton, dan pada saat juvenil menyukai detritus,
sedangkan kepiting dewasa menyukai ikan, udang, dan moluska terutama
kekerangan. Kepiting juga menyukai potongan daun terutama daun mangrove.
Kepiting dengan memanfaatkan
bahan pakan dari tanaman yang mengandung serat. Menurut Anderson et al. (2004) digestibility (kecernaan)
kepiting pada serat dan semua bahan baku pakan sumber nabati sangat tinggi,
yaitu berkisar antara 94,4 – 96,1 %. Hasil investigasi kontribusi mikroflora
dalam saluran pencernaan kepiting bakau menunjukkan keberadaan enzim selulosa
pada saluran pencernaan kepiting bakau diduga merupakan kontribusi mikroflora
saluran pencernaan. Keberadaan enzim selulase inilah yang memungkinkan kepiting
bakau mampu mencerna serat pakan.
Kepiting bakau termasuk hewan
nocturnal, yakni hewan yang aktif di malam hari. Mereka mencari makan di malam
hari dan bersembunyi di lubang-lubang, di bawah batu, atau sela akar bakau di
siang hari.
Sumber : Budidaya dan Bisnis Kepiting Lunak, Stimulasi Molting dengan Ekstrak Bayam. Yushinta Fujaya, dkk
0 komentar:
Posting Komentar