Oleh : Joni Haryadi, Achmad Sudrajat, Sri Widodo Agung Suedy
Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pada Budidaya Udang Windu (Panaeus
monodon) Secara Tumpang Sari
Joni Haryadi, Achmad Sudrajat, Sri Widodo
Agung Suedy
Ringkasan
Kerusakan
mangrove di Indonesia telah menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan. Hal ini
disebabkan konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan tanpa mengabaikan
daya dukung dan kelestariannya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan
pemerintah pusat atau daerah yang dapat mengakomodir semua kepentingan
masyarakat baik secara ekonomi maupun ekologi. Kebijakan tersebut adalah
penerapan sistem tumpang sari (perpaduan tambak dan hutan mangrove), seperti
yang sedang diterapkan di Blanakan, Subang, Jawa Barat dengan luas tambak
mencapai 350 ha dan komoditas utama berupa udang windu. Sebagian besar tumbuhan
mangrove yang berasosiasi dengan tambak tersebut merupakan hasil replanting dan rehabilitasi yang telah
dilakukan sekitar 20 tahun yang lalu, terutama dari kelompok api-api (Avicennia sp) dengan ukuran mulai dari seedling sampai berukuran besar
(diameter batang ≥ 10 cm; tinggi ≥ 10 m). Model tambak yaitu empang parit yang
dimodifikasi dan komplangan. Penetapan kawasan mangrove yang akan digunakan
untuk jalur hijau dan budidaya, percontohan budidaya ikan sistem tumpang sari,
pengembangan budidaya tambak tumpang sari, penanaman bakau di lokasi
pengembangan tambak tumpang sari dan pembinaan teknis budidaya dan kelembagaan
pembudidaya tambak tumpang sari.
Kata Kunci : Mangrove, tambak tumpang sari,
blanakan
Pendahuluan
Kawasan
mangrove merupakan habitat yang cocok untuk beberapa organisme akuatik seperti
ikan, kepiting, udang, kerang dan siput, sehingga memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi lahan pertambakan (Gunarto, 2004). Nontji (1987)
melaporkan bahwa sedikitnya 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska hidup
pada ekosistem mangrove di Indonesia. Kawasan mangrove menjadi habitat yang
cocok bagi organisme akuatik dikarenakan tiga alasan, (1) tingginya konsentrasi
bahan organik yang merupakan bahan dasar dari jaringan makanan pada ekosistem
mangrove, (2) perairan mangrove yang keruh menyebabkan menurunnya jangkauan
penglihatan predator, sehingga memperluas daerah pembesaran ikan dan
meningkatkan tingkat hidup ikan-ikan muda, (3) struktur keragaman, habitat yang
sesuai serta niche yang bertingkat
merupakan hal yang paling penting di kawasan mangrove, sehingga banyak ikan –
ikan muda yang tersedia (Haroen, 2002).
Luas mangrove
Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27%
dari luas mangrove dunia. Luasan mangrove Indonesia terus menurun dari 4,25
juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta ha pada tahun 1987; 2,5 juta ha pada
1993 dan 1,5 juta pada tahun 2005 (Suroso, 2007). Kerusakan mangrove saat ini
lebih banyak disebabkan konversi lahan mangrove menjadi tambak terbuka
(Nyabakken, 1988; Dahuri, 1996; Gunarto, 2004). Hal tersebut diperkuat dengan
Penginderaan Jauh (Pusfatja), LAPAN (2000) bahwa penurunan luasan mangrove
sejalan dengan pertambahan luas pertambakan. Mangrove yang telah dikonversi
menjadi tambak berdasarkan estimasi hanya 30% yang produktif, sedangkan sisanya
terlantar dan mengalami pengikisan oleh ombak karena tidak ada reboisasi
(Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1994 dalam Nur, 2002). Handayani (2004) menyatakan bahwa pengalihan
fungsi mangrove menjadi tambak disebabkan oleh meningkatnya tekanan penduduk
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dampak
kerusakan ekosistem mangrove sangat berkaitan erat dengan nilai dan fungsinya.
Kerusakan ekosistem mangrove akan memberikan dampak secara fisik dan ekologis,
perikanan serta sosial ekonomi. Secara fisik dampak tersebut dirasakan, antara
lain : erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove akibat badai dan intrusi air
laut. secara ekologi, kerusakan ekosistem mangrove mengakibatkan menurunnya
kesuburan perairan dan kualitas perairan pesisir (Bengen, 1998). Bagi perikanan
pesisir, kerusakan mangrove mengakibatkan menurunnya stok perikanan, penyediaan
benih alami, menurunnya kualitas air laut yang akan digunakan sebagai media
budidaya tambak dan keramba, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat
(Martosubroto & Naamin, 1977; Bengen, 1998; Naylor et al., 2001; Gunarto, 2004). Masyarakat di sekitar kawasan
ekosistem mangrove juga akan kehilangan sumber bahan bakar, tiang rumah atau
kapal, sumber protein dari kerang, kepiting, dan moluska lainya, perlindungan
dari angin dan badai, serta hilangnya keindahan dan potensi lainnya (Anonim,
2007).
Luas tambak di
Indonesia pada 2006 mencapai 612.530 ha dengan total produksi 629.610 ton
(Anonim, 2007). Budidaya tambak tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi
budidaya, kesempatan kerja, gizi masyarakat, dan devisa negara (Pantjara, et., 2006). Oleh karena itu, pemerintah
berinisiatif untuk meningkatkan pengelolaan budidaya tambak menjadi lebih
intensif. Permasalahan utama budidaya tambak intensif adalah membutuhkan modal
besar dan pakan buatan dalam jumlah banyak. Selain itu, budidaya tambak intensif
menurunkan kualitas air tambak karena limbah dari sisa pakan, penggunaan
pestisida, dan pupuk anorganik (Ahmad, 1998; Nganro & Sjarmidi, 2000).
Akibatnya, banyak budidaya tambak intensif yang mengalami penurunan produksi,
seperti yang terjadi pada tahun 1995 hingga 2001 (Sugama, 2002).
Menurut Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat (2001), dan Ahmad et al. (2002), sistem budidaya tambak
yang tepat untuk kawasan mangrove adalah tambak tumpang sari, yaitu perpaduan
antara budidaya tambak dan hutan mangrove. Budidaya tumpang sari ini telah
dikembangkan di kawasan mangrove Ciaesem – Pamanukan Subang, Kawasan mangrove
Tegal Tangkil, Pemangkat Sambas (Bengen, 2006), dan kawasan mangrove Cangkring,
Pembantu Cantigi Indramayu (Nur, 2002). Komoditas utama yang diusahakan adalah
udang windu karena ini relatif lebih cepat tumbuh dibandingkan udang lainnya,
dan permintaan konsumen dunia terhadap udang ini rata-rata bagus.
Di Desa
Blanakan, Subang, budidaya tambak tumpang sari dilakukan secara tradisional
dengan luas 350 ha dan menempati kawasan mangrove seluas 331.000 ha. Produksi
tambak tumpang sari di Desa Blanakan pada 2007 dapat mencapai 1.050 ton. Namun,
pengelolaan budidaya tambak di Desa Blanakan masih memiliki beberapa
permasalahan terutama masalah teknis, ekonomis, dan lingkungan sekitarnya.
Sehingga perlu adanya kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan,
seperti struktur tambak, pengaturan tata letak wadah budidaya, rasio mangrove
dan tambak serta teknologi tepat guna.
Perumusan Masalah
Tambak tumpang
sari sekarang sudah mulai menjadi pilihan para petambak karena dinilai memiliki
dua keuntungan sekaligus, yaitu selain turut berpartisipasi dalam rehabilitasi
hutan mangrove, juga tetap dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Di lain
pihak, udang windu yang dibudidayakan secara tumpang sari lebih mahal (minimal
Rp. 60.000,-perkilogram), dan lebih tahan terhadap serangan bakteri dan virus,
bahkan berdasarkan ketentuan international diwajibkan harga tambahan sebesar
satu dollar AS perkilogram untuk setiap transaksi udang windu organik dalam
rangka mendukung kegiatan budidaya yang ramah lingkungan. Udang windu masih
menjadi komoditas unggulan ekspor perikanan budidaya nasional, namun budidaya
udang organik baru dilakukan pada area 500 ha dan tersebar di Bekasi, Brebes
dan Sidoarjo. Pemerintah mulai meningkatkan budidaya udang organik pada tahun
2006 dan luasnya ditargetkan mencapai 42.810 ha pada tahun 2009 dengan produksi
minimal 50.200 ton.
Guna menanggapi
tantangan, peluang, dan potensi yang demikian besar, maka diperlukan analisis
kebijakan budidaya udang windu secara tumpang sari di Blanakan, Subang agar
produksinya dapat ditingkatkan. Petambak di Blanakan mengandalkan mangrove
sebagai sumber pakan alami, namun efektivitas, efisiensi, dan neraca energi
dari serasah mangrove belum sepenuhnya diketahui sehingga perlu ada studi dan
penelitian untuk mengetahui korelasi mangrove dengan produksi udang windu
organik.
Selain untuk
meningkatkan produksi perikanan budidaya, analisis kebijakan tambak tumpang
sari diperlukan untuk antisipasi beberapa ancaman yang terkait dengan
kelestarian ekosistem, seperti : peningkatan ekosistem mangrove menjadi tambak,
peningkatan abrasi dan hilangnya spesies organisme yang berasosiasi dengan
mangrove.
Kondisi Terkini Tambak Tumpang Sari Blanakan
Salah satu
kawasan mangrove yang cukup menjanjikan dalam studi nutrien mangrove adalah
mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Mangrove di daerah ini terbagi menjadi
dua kawasan utama, yaitu di sebelah barat Sungai Ciasem yang dikelola Perum
Perhutani, Jawa Barat. Dan di sebelah timur sungai Ciasem yang merupakan
kawasan tambak produksi milik masyarakat sekitar. Sebagian besar tumbuhan
mangrove di daerah ini merupakan hasil replanting
dan rehabilitasi yang telah
dilakukan sekitar 20 tahun yang lalu, terutama di kelompok api-api (Avicennia sp) dengan ukuran mulai dari seedling sampai berukuran besar
(diameter batang ≥ 10 cm, tinggi ≥ 10 meter). Avicennia sp, ditemukan mulai dari batas perkampungan penduduk,
daerah tambak sampai pada tanah timbul yang merupakan hasil pertemuan
sedimentasi dari muara Sungai Ciasem dan pengendapan dari laut. beberapa jenis
tumbuhan mangrove lain yang ditemukan adalah Rhizophora sp, Bruguiera sp,
Sonneratia sp, Nypa fruticans, Acanthus
iliciformis, Acrosticum aureum,
Acrosticum speciosum, dan mangrove ikutan seperti Sesuvium portulacastrum, Stachytarpheta jamaicencis, Wedelia biflora,
Ipomoea pescapre, dan Calotropis
gigantae.
Kawasan
mangrove Blanakan dimanfaatkan masyarakat untuk pertambakan udang, bandeng, dan
mujair serta pembesaran kepiting. Model tambak yang digunakan adalah empang
parit dan empang parit yang dimodifikasi, tapi ditemukan pula model komplangan
maupun intensif. Sebagian besar tambak diusahakan dengan organik yang
dikombinasi, artinya pakan untuk udang mengandalkan pakan pakan atau nutrisi
alami dari serasah mangrove, tetapi sebelum penebaran benih, digunakan
insektisida dan pupuk NPK. Pakan alami berupa serasah mangrove sangat
diandalkan pada usaha pertambakan di daerah ini karena dapat mengurangi biaya
usaha meskipun masa panen menjadi lebih panjang, yaitu 6 – 8 buan dibandingkan
model intensif yaitu 3 – 4 bulan, namun untuk harga hasil tambak alami lebih
kompetitif, yaitu Rp. 60.000,- Rp. 80.000,-kg (informasi petambak).
Jenis Avicennia sp dipilih petambak tumpang
sari di Blanakan karena dekomposisi serasahnya lebih cepat daripada serasah
jenis lain sehingga nutrisi yang dihasilkan lebih cepat dan lebih banyak.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terlihat banyak serasah Avicennia sp yang terperangkap di antara
akar-akarnya, sehingga menghambat aliran nutrisi yang masuk ke tambak.
Pengamatan di lapangan juga menunjukkan adanya pertumbuhan Hydrilla sp, dan ganggang yang besar pada beberapa petak tambak.
hal ini mengindikasikan adanya eutrofikasi atau kelimpahan bahan organik yang
berlebihan yang dapat menganggu produktivitas tambak. Neraca nutrisi dari
serasah mangrove yang masuk ke dalam air dan sedimen tambak serta perannya
dalam produksi komoditi tambak perlu diteliti dengan baik dan cermat, sehingga
pertambakan organik yang sustainable dapat terwujud.
Implementasi Kebijakan
Pengelolaan
Mangrove
Wiroadmojo
(1993) menyatakan bahwa pemanfaatan dan perlindungan, serta pengelolaan wilayah
mangrove yang berlangsung saat ini dipandang belum optimal, dan manfaat ekonomi
serta manfaat ekologi, dan kelestariannya masih perlu ditingkatkan. Pelestarian
dan pengelolaan fungsi biologis dan ekologis ekosistem mangrove perlu suatu
pendekatan yang rasional di dalam memanfaatkan kawasan mangrove secara langsung
(Nuryanto, 2003). Tujuan mendasar dari pengelolaan mangrove adalah untuk
meningkatkan konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan ekosistem mangrove
secara berkelanjutan.
Tujuan ini
dicapai melalui prinsip : (1) pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan
prinsip kehati-hatian, (2) pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan
ekosistem dengan mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu
maupun hilir, (3) pengelolaan ekosistem mangrove yang berorientasi pada
keberlanjutan fungsi lingkungan dan nilai-nilai ekologi, (4) upaya mitigasi
dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan ekosistem mangrove.
Secara umum pengelolaan ekosistem mangrove mengacu pada keputusan Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK 65/P3K/X/2004 tentang pedoman
pengelolaan ekosistem mangrove (Anonim, 2007).
Beberapa
langkah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan mangrove, :
1. Penetapan
jalur hijau dengan mangrove untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara ekologis
(Keppres 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung),
2. Penetapan
lokasi-lokasi prioritas rehabilitasi
3. Penetapan
tata guna ruang mangrove meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya, sebagai
acuan bersama bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah, serta
masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara berkelanjutan
sesuai pasal 20 ayat 2 Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang
(Kadaruzman & Razak, 2004).
Berdasarkan
identifikasi penyebab kerusakan mangrove di Jawa Barat dan Banten, terlihat
bahwa kerusakan sumberdaya mangrove dan ekosistemnya sangat dominan disebabkan
oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi tambak dengan mengabaikan aspek
kelestarian mangrove dan ekosistemnya. Oleh karena itu, pola rehabilitasi
kawasan mangrove yang rusak tersebut harus dapat mengombinasikan kelestarian
sumberdaya mangrove dan ekosistemnya dan usaha pertambakan. Untuk saat ini,
pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak dan memenuhi persyaratan di atas
adalah pola pengelolaan dengan sistem tumpang sari (Onrizal, 2002). Hal serupa
juga disampaikan oleh Pirzan et al (2004) bahwa upaya perbaikan lingkungan
pantai dengan penanaman kembali tanaman mangrove di kawasan tambak dengan pola
tumpang sari merupakan alternatif yang paling baik untuk mengembalikan posisi
produksi udang windu secara berkelanjutan.
Prinsip
pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan adalah perpaduan antara
pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian
sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang (FAO, 1995; Nadjamuddin, 1999). Tujuan
pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan dapat tercapai jika sikap dan
kesadaran moral manuisa sebagai pelaku pembangunan perikanan berdasarkan pada
asas kesebaban yaitu ; membangun, berbuat, dan bertanggungjawab terhadap
lingkungan alam (Melsen, 1992; Suhartono, 1997).
Menurut Kadaruzman
& Razak (2004), keberhasilan pengelolaan mangrove ditentukan oleh dua hal;
1.
Kemampuan analisis terhadap faktor penyebab
penurunan mangrove. Kemampuan analisis tersebut ditentukan oleh informasi dasar
yang akurat dan tersistematis. Informasi dasar yang penting adalah informasi
penggunaan lahan di area mangrove yang meliputi penggunaannya untuk tambak,
pemukiman, persawahan, dan ditebanb langsung untuk pembuatan arang. Informasi
tersebut untuk mengetahui daya dukung ekosistem mangrove.
2.
Pengembangan pengelolaan atas dasar pemanfaatan
yang lestari. Salah satu komponen terpenting dalam pengelolaan mangrove dan
merupakan stakeholder utama adalah
masyarakat sekitar hutan mangrove, baik yang menggunakannya secara langsung
maupun tidak langsung. Permasalahan utama yang harus dihadapi adalah bagaimana
memberdayakan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan mangrove.
Manfaat
pengelolaan hutan mangrove dengan sistem tumpang sari adalah (1) meningkatkan
persentase keberhasilan tanaman mangrove sebesar 80%, (2) terbinanya penggarap
empang dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta Perum Perhutani, (3) meningkatkan
taraf hidup masyarakat, (4) menurunkan gangguan terhadap keamanan dan
kelestarian mangrove, dan (5) adanya pengakuan dunia international terhadap
keberhasilan program perutahan sosial payau.
Keberhasilan
budidaya udang windu secara tumpang sari (budidaya udang windu organik) telah
terbukti di Kab. Situbondo. Budidaya udang windu di Kab. Situbondo pada awalnya
belum dilakukan secara organik. Berdasarkan data DKP Sitobondo pada tahun 2000,
produksi udang windu di Sitobondo mencapai 3.150 ton pada lahan seluas 800 ha
atau 4 ton/ha, namun setelah serangan virus produksi menurun hingga 70% atau
1,25 ton/ha. Guna mempertahankan kegiatan produksi udang windu, maka Dinas
Kelautan dan Perikanan Situbondo mengembangkan budidaya udang windu organik. Tahap
awal budidaya udang udang windu organik di Sitobondo saat ini produksinya dapat
mencapai 5 kwintal/ha. Keunggulan budidaya udang windu organik adalah lebih
tahan terhadap serangan bakteri dan virus. Lebih lanjut, hasil penelitian Nur
(2002) menunjukkan bahwa budidaya tambak tumpang sari juga cocok untuk
diterapkan pada ikan bandeng, belanak, kakap putih, dan mujair. Produksi
keempat komoditas tersebut di tambak tumpang sari Kab. Indramayu berturut-turut
dapat mencapai 468 kg/ha, 20 kg/ha, dan 23 kg/ha.
Hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penerapan tambak tumpang sari lebih menguntungkan
jika dibandingkan dengan tambak terbuka. Total biaya produksi biaya tambak
tumpang sari adalah Rp. 14.115.000,- sedangkan tambak terbuka mencapai Rp.
18.705.000,-; hasil tangkapan harian budidaya tambak tumpang sari adalah Rp.
127.817.000,-ha/tahun sedangkan tambak terbuka hanya Rp. 6.923.400,-/ha/tahun; Return Cost Ratio (R/C) budidaya tambak
tumpang sari adalah 2,81 sedangkan tambak terbuka hanya 0,57; Break Event Point (BEP) tambak tumpang
ari adalah Rp. 11.804.196,- sedangkan tambak terbuka mencapai Rp. 20.666.218,-
(Sadi, 2006).
Penerapan
tambak tumpang sari juga secara nyata telah berhasil menjaga keseimbangan
ekosistem mangrove. Penerapan tambak tumpang sari di Subang berdampak positif
terhadap perluasan hutan mangrove (Wibowo, 2005). Rata-rata persentase hidup
semai tanaman mangrove di tambak tumpang sari dengan ratio hutan mangrove dan
tambak sebesar 80% : 20 %; adalah 77,4 % dan nilainya akan menurun dengan
menurunnya lahan hutan mangrove. Berbagai organisme akuatik yang berperan dalam
rantai makanan di hutan mangrove juga dapat hidup dengan baik di tambak tumpang
sari, seperti : Trichodesmium sp.
(Fitoplankton), Cespeda sp.
(zooplankton), Tripora sp (gastropoda)
(Nur, 2002).
Meskipun,
sistem budidaya tumpang sari merupakan solusi yang tepat untuk pengelolaan
ekosistem mangrove, tetapi pada sistem ini masih memiliki beberapa kendala,
terutama menyangkut jaringan irigasi, jalan dan tanggul. Untuk mengatasi
kendala tersebut, maka perlu dibuat jaringan irigasi yang menjamin ketersediaan
air tambak dan mengatasi luapan air ketika pasang dari laut. Jalan dan tanggul
yang diperlukan adalah jalan dan tanggul yang memadai, sehingga dapat digunakan
terutama pada musim hujan. Pada saat itu petambak harus berjalan kaki ke lokasi
karena tanggul kurang memungkinkan untuk dilalui kendaraan (Handayani, 2004).
Penerapan Sistem Tumpang Sari
Tujuan
pengembangan budidaya tumpang sari adalah (1) berkembangnya usaha budidaya
tumpang sari secara optimal sebanding dengan luasan kawasan ekosistem mangrove,
(2) terbinanya masyarakat pembudidaya tambak tumpang sari, baik dari aspek
teknis maupun kelembagaan, dan (3) pulihnya ekosistem mangrove di kawasan
pantai lokasi pengembangan budidaya tambak tumpang sari.
Guna
meningkatkan dan melestarikan fungsi ekonomis, biologis dan ekologis hutan
mangrove, perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya, yaitu
dengan melibatkan masyarakat di sekitar
kawasan hutan mangrove. Penerapan sistem tumpang sari merupakan pendekatan yang
tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari (zona
pemanfaatan). Tumpang sari merupakan pola pendekatan yang terdiri atas
rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan, dan pelestarian hutan mangrove. Sistem
ini dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan
sebagai kegiatan sampingan sambil menghutankan kembali kawasan jalur hijau di
daerah pantai yang kritis. Harapan pendekatan ini adalah terjalin kerja sama
yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan pihak kehutanan, seperti
yang telah dilakukan di Blanakan dan Cikeong Kab. Subang. Penerapan kegiatan
ini diharapkan dapat mencegah perusakan hutan mangrove oleh masyarakat karena
akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat, sedangkan untuk
perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang dengan
menjadikan kawasan tumpang sari sebagai kawasan wisata (Perhutani, 1993).
Penerapan
tumpang sari dapat terwujud dengan baik jika ada pemilik modal yang menguasai
lahan secara berlebihan. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan mengadakan perjanjian
antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
petani di Daerah Blanakan, Subang, bahwa ketentuan yang harus dipenuhi oleh
pengelola tambak adalah menjaga perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar
80% : 20%, jika perbandingan hutan mangrove dan tambak 50% - 80% : 20% - 50%,
pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan
tambak mencapai 50% : 50% izin pengelolaan dicabut. Ketentuan tersebut mengacu
pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Perhutani (1988) bahwa rasio antara hutan
mangrove dengan tambak adalah 80% : 20% atau 60% : 40%. Ketentuan tersebut juga
didukung oleh beberapa peneliti, seperti Nur (2002), Handayani (2004), Mahendra
(2006), dan Sadi (2006), aturan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi
persatuan luas dan hasil tangkapan udang liar karena didasarkan pada asumsi
bahwa hutan mangrove di sekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan
kesuburan kolam berpengaruh terhadap produksi. Selain itu, hutan mangrove yang
baik akan menjadi tempat yang cocok bagi udang.
Budidaya tambak
tumpang sari memiliki tiga pola yaitu empang parit tradisional, empang parit
yang disempurnakan, dan komplangan.
Empang Parit Tradisional
Pola ini
menempatkan area tumbuh mangrove dan area budidaya dalam satu hamparan.
Pengelolaan air diatur melalui satu pintu yang menghubungkan hamparan tambak
dengan saluran air. Pematang diusahakan lebih tinggi dari pasang tertinggi
untuk mencegah keluarnya organisme budidaya, selanjutnya pematang dipasangi jaring
dengan kemiringan 700.
Selama masa pemeliharaan diusahakan agar area budidaya tidak terlalu kering
pada saat surut terendah agar organisme budidaya terhindar dari dehidrasi dan
mencegah naiknya kandungan pirit (zat besi) dari eksudat – eksudat akar bekas
pembabatan pohon mangrove (Kadaruzman & Rusman, 2002). Keunggulan pola ini
terletak pada desainnya yang sangat sederhana, sehingga investasi yang
dibutuhkan untuk membangun relatif kecil, kelemahannya genangan air empang
menjadi satu dengan area tumbuh mangrove, sehingga cahaya matahari yang
dibutuhkan oleh fitoplankton terhalang dan tingginya laju dekomposisi serasah
dapat menyebabkan eutrofikasi.
Empang Parit yang Disempurnakan
Pola ini
merupakan penyempurnaan pola empang parit tradisional, yaitu memisahkan area
hamparan mangrove dengan area budidaya dengan tanggul pemisah. Pengelolaan air
dibagi dalam tiga pintu, yaitu dua pintu sebagai pemasukan dan satu pintu
sebagai saluran keluar. Desain pola ini memungkinkan pencapaian hasil budidaya
yang lebih baik dibandingkan dengan pola empang parit tradisional. Investasi
untuk membangun parit pada kontruksi ini memang lebih tinggi, tetapi
pembuatannya dapat dilakukan secara bertahap. Kelemahan pola ini adalah area
budidaya kurang terintegrasi karena luas paritnya terbatas dan cahaya matahari
yang dapat mencapai permukaan empang juga kurang mencukupi.
Pola Komplangan
Pola ini
memisahkan secara tegas areal budidaya dengan hamparan hutan mangrove. Pada
tanggul pemisah terdapat dua buah pintu air sebagai penghubung, masing-masing
berfungsi sebagai pintu masuk dan pintu keluar, ke arah hamparan mangrove
dibuat saluran pasang surut bebas. Keunggulan pola ini adalah lahan
pemeliharaan menyatu dan cukup memperoleh cahaya matahari, pertumbuhan ikan,
dan pengembangan mangrove tidak saling menghambat dan ancaman hama pengganggu
relatif kecil.
Budidaya tambak
tumpang sari perlu memperhatikan jumlah, kerapatan, dan jenis mangrove yang
berada pada sekeliling empang karena serasah dan detritusnya beragam dan
berpengaruh pada organisme budidaya. Tiap tumbuhan mangrove dapat menghasilkan
zat, senyawa dan materi yang mampu memberi bahan organik bagi tambak. Karbon
(C), fosfor (P), dan nitrogen (N) sebagai hasil dekomposisi serasah mangrove
melalui fotosintesis menghasilkan jaringan tumbuhan yang menjadi makanan hewan.
Keduanya akan menghasilkan zat organik dan jika mereka mati dan membusuk maka
akan dihasilkan bahan mentah untuk memulai daur bahan organik lagi
(Romimohtarto & Juwana, 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur N
dalam bentuk nitrat (NO3-) merupakan unsur yang penting
bagi pertumbuhan fitoplankton (Eppley et al, 1968; Herbland & Voituriesa,
1979; Lonshurst, 1988). Meskipun demikian, kelebihan unsur N dan P dapat
mengakibatkan blooming alga beracun
sehingga merugikan produksi pada usaha budidaya perikanan (Rompas, 1998).
Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan mengenai ketersediaan dan siklus
nutrisi diperlukan guna menunjang keberlangsungan budidaya tambak tumpang sari.
Alternatif Kebijakan
Beberapa upaya
yang direkomendasikan untuk mewujudkan budidaya tambak tumpang sari yang
berwawasan lingkungan, adalah :
1.
Inventarisasi dalam rangka penataan dan
penetapan kawasan ekosistem mangrove jalur hijau dan kawasan budidaya yang
berwawasan lingkungan. Esensi kegiatan adalah menetapkan kawasan ekosistem
mangrove yang akan dilestarikan sebagai kawasan perlindungan setempat, serta
menata dan menetapkan kawasan budidaya yang akan dikembangkan, baik untuk
tambak intertidal (kawasan tambak
yang pengairannya hanya mengandalkan pasang – surut) maupun tambak supratidal sesuai dengan potensi yang
ada di sekitar pantai. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat terwujudnya rencana
makro kawasan pertambakan yang dilindungi oleh sabuk hijau ekosistem mangrove.
2.
Percontohan budidaya ikan sistem tumpang sari.
Upaya ini dilakukan melalui pengaturan tata letak wadah budidaya sedemikian
rupa.
3.
Pengembangan budidaya tambak tumpang sari.
Kegiatan ini dilakukan sebagai langkah lanjutan setelah masyarakat di sekitar
kawasan jalur hijau tergugah dan termotivasi untuk turut melestarikan ekosistem
mangrove jalur hijau dengan menerapkan budidaya sistem tumpang sari.
4.
Penanaman bakau di lokasi pengembangan tambak
tumpang sari. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghijaukan kembali jalur hijau.
Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis yang mudah didapatkan dan cocok dengan
kondisi setempat, mudah dan cepat tumbuh, tahan hama, dan mudah berkembang.
5.
Pembinaan teknis budidaya dan kelembagaan
pembudidaya tambak tumpang sari. Pembinaan ini tidak hanya tertuju pada
pemupukan kemampuan teknis budidaya, tetapi juga diarahkan kepada pembentukan
kelompok dengan semangat kekeluargaan, gotong royong, hidup hemat, dan
disiplin. Pembinaan ini ditempuh melalui pendekatan partisipatif dengan
melibatkan langsung pembudidaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
budidaya tambak tumpang sari.
Disalin dari buku Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya, tahun 2008. KKP Indonesia.
d
0 komentar:
Posting Komentar