Pepatah mengatakan, tempat yang
paling baik adalah rumah sendiri. Rumah serupa cermin, struktur, pola dan
ruang-nya merupakan gambaran isi kehidupan seseorang. Bagaimana impian tentang
masa depan mungkin dapat diamati dari pola ruang dan materi (perabotan) yang
bertebaran dalam rumah seseorang. Bentuk dan suasana rumah juga memberikan
pengetahuan pada kita akan pola interaksi kebudayaan yang berlangsung antar
manusia dengan alam sekitar.
Bagaimana dengan rumah panggung
khas Minahasa yang disusun di pinggir ruas-ruas jalan Woloan, Tomohon ini? Rumah
yang kini foto-fotonya telah beredar di memori warga dunia itu berangkat dari
adaptasi dengan alam Tomohon. Tomohon sejak dahulu sering dikagetkan oleh
getaran Gunung Lokon (1.689 m) dan Gunung Mahawu (1.311 m), pada situasi rawan
tersebut, tetua Minahasa Tomohon pun mendirikan rumah yang fleksibel terhadap
getaran gempa gunung Lokon. “Dulu atapnya dari daun enau, sekarang sudah seng.
Dulu tiang-tiangnya hanya dikancing dengan presisi tinggi, sekarang sudah
dipaku dan diikat,” kata Prits. Salah seorang tetua di Tomohon.
Suhu Kota Tomohon pada waktu
siang mampu mencapai 30 derajat Celsius dan 23-24 derajat Celsius pada malam
hari. Pada kondisi iklim seperti itu, Tomohon menjadi habitat tanaman dan hewan
endemik yang khas, seperti Ficus minahassae, schefflera actinophylla yang merupakan salah satu flora asli
Tomohon dan Nepenthes masarangense, bufo celebensis (katak
bertanduk), oleh penduduk setempat sering disebut karaksungean. Tanaman langka
tersebut telah disemaikan di kebun raya di Gunung Masarang, diharapkan akan
menjadi penyedia benih dan fasilitas pendidikan lingkungan hidup. Berkat alam
seperti itu juga memberi kehidupan bagi warga Tomohon, berupa tanah yang subur
dengan air yang melimpah, sehingga usaha pertanian menjadi basis ekonomi di
daerah ini.
Rumah panggung mengisi kebutuhan akan ruang pada masyarakat pertanian. Kolong
rumah dapat menjadi tempat menyimpan hasil-hasil pertanian dan dapat pula
sebagai tempat berternak ayam. Selain itu, pada musim-musim tertentu, dimana
air kadang meluap, rumah panggung dapat mengatasi hal itu. Mulanya hanya
tinjauan fungsional, lalu menggelinding ke nilai-nilai yang tercantol dalam
tradisi pembuatan rumah panggung.
Diantaranya, mitos-mitos yang terkandung dalam pembuatan rumah panggung
Tomohon, tiang raja (utama) tidak boleh berhadapan langsung dengan pintu. “Biasanya
kalau seperti itu, penghuni akan sering terserang penyakit,” ungkap Prits. Tiang
buku-nya juga harus menghadap ke atas, kalau ujungnya terbalik berarti akan
mengundang hal buruk. Jika rumah selesai dibangun, para tetua dan kepala tukang
naik ke lantai rumah panggung dan menari-nari di atasnya atau diistilahkan
Ma’ramba. Tujuannya untuk mengecek kekuatan ikatan/kancing antar tiang dan
kerangka. Baru setelah itu pemilik rumah mengajak para tukang dan tamu untuk
minum teh dan makan bersama.
Terancam Kesulitan Bahan Baku
Rumah panggung yang dibuat secara
unik dengan beragam model itu sudah menjadi industri populer yang gaungnya
sudah level mancanegara. Bentuknya yang minimalis, dengan lapis-lapis seri pada
dinding, tiang-tiang kokoh yang di atasnya melengket kerangka rumit yang diikat
dengan presisi tinggi itu dapat ditawar mencapai Rp. 300 juta perunit. Nilai
rumah yang aroma kayunya legit itu tergantung dari tingkat kerumitannya,
semakin banyak ukiran tentu menambah nilai tawar sebuah rumah panggung. Juga
ditentukan oleh jenis kayunya, jika kayu yang digunakan dominan kayu besi
(Aliwowos), maka harganya juga tidak tanggung-tanggung.
Namun, saat ini kayu aliwowos
sudah sedemikian langka, untuk memperolehnya, industri rumah panggung harus
mendatangkannya dari Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah. “Kami memesan kayu
Aliwowos hingga ke Bolmut (Boolang Mongondow Utara) dan Bolsel (Boolang
Mongondow Selatan), sudah lama kayu aliwowos menghilang di Tomohon, seiring
dengan pertumbuhan industri kayu di Woloan,” ujar Juanita Pontoh, pemilik
industri rumah panggung UD. Panca Putra, Woloan.
Di Bolmut, para industri primer
bersaing memperoleh kayu Aliwowos di hutan produksi. Mereka harus menyewa para
penebang kayu untuk masuk di pelosok-pelosok hutan produksi, yang letaknya
bersebelahan dengan kawasan HPH. Setelah ditebang, kayu-kayu itu digerek oleh
sapi melewati pelosok-pelosok hutan hingga tiba di aliran sungai. Kayu itu
terbawa air dan diarak hingga tiba di Desa Paku. Dari sinilah batang-batang
pohon itu diangkut ke truk dan diantar ke industri. Jarak desa Paku
diperkirakan 60 - 70 kilometer dari kawasan industri di Kec. Bintauna, Bolmut.
Dalam pengambilan kayu aliwowos,
pengusaha sudah demikian hati-hati. Mereka mengambil jika sudah ada pesanan. Meski
begitu, aktivitas tersebut tak boleh luput dari perhatian pemerintah. Harus ada
pemantauan terhadap jumlah tebangan dan potensi restorasi ekosistem hutan.
Dilanjutkan dengan penanaman kembali jenis-jenis pohon yang dibutuhkan oleh
industri. Menurut Anton Jana Sanjaya, Manager Officer Sulawesi Community
Foundation (SCF), “Jika pengambilan kayu
dilakukan secara tebang pilih, satu persatu, itu tidak akan mengganggu
kestabilan ekosistem hutan tropis. Yang dapat merusak itu adalah pengambilan
secara massif terhadap kayu di hutan. Itu tidak akan mengembalikan kestabilan
ekosistem hutan tropis,” kata Anton.
Berdasarkan itu, SCF mengajak
Dinas Kehutanan Bolmut dan Tomohon untuk terlibat aktif dalam Verifikasi
Legalitas Kayu (VLK). VLK merupakan standar yang disusun oleh Kementerian
Kehutanan untuk menjamin bahwa kayu yang diperoleh dan menjadi bahan baku
industri adalah kayu yang diperoleh secara legal dan diketahui asal-usulnya.
Dimana kayu tidak diperoleh di kawasan hutan lindung dan telah mendapat ijin
dari pemerintah daerah setempat.
Saat ini sudah ada dua industri
yang terlibat dalam perolehan sertifikat VLK, yaitu UD. Panca Putra Woloan
(industri lanjutan/rumah panggung) dan UD Rakyat Mania yang merupakan indstri
primer yang memproduksi bahan baku untuk kebutuhan industri rumah
panggung.
Ke depannya, jika kayu Aliwowos
sudah demikian berkurang, berarti industri rumah panggung harus mengandalkan
kayu lokal yang dapat diproduksi secara mandiri oleh masyarakat setempat atau
biasa disebut hutan rakyat, seperti jenis kayu nyatoh, bolangitang, jati,
jabon, sengon. Pembuatan tangga, jendela, plafon, dan latah rumah panggung
berbahan baku kayu nyatoh, kayu ini banyak diperoleh dari hutan rakyat,
sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan, justru akan membantu perekonomian
masyarakat.
Idham Malik
Terbit di Koran Tempo Makassar, Jumat 29 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar