Siang ini, Saya ingin berbagi kegelisahan dengan mu wahai pemimpin, tentang hidup, orang-orang dekat kita, dan mereka yang direndahkan.
Saya tak tahu siapakah mereka
yang direndahkan itu? Mungkinkah mereka yang sengaja tak kita lirik ketika kita
mengendarai motor. Mereka yang lengannya terulur menengadah, dengan kulit legam
dan bercorak. Saya tak tahu juga kenapa saya selalu tak mengulurkan selembar
atau pun dua lembar, apakah hati ini sudah membatu? Mungkinkah kita cendrung
memikirkan diri kita sendiri?
Saya tak tahu kenapa negeri ini
tak maju-maju, padahal jembatan emas sudah didirikan. Proklamasi kemerdekaan
telah menggema, dengan selongsong jiwa yang terbakar, akan rasa dendam pada
penderitaan. Menderita? Mungkinkah ini sebab kita tak biasa menatap
penderitaan, seperti orang-orang tua kita dulu yang setiap hari melihat yang
derita, turut merasa sakit akibat luka rakyat banyak.
Yah, saya curiga ini terjadi
karena kita-kita ini tak merasa derita itu, kita kurang menyapa mereka yang lemah,
kurang simpatik dengan yang kurang, kita seakan-akan berada di atas lapisan
awan yang dengan nyaman melihat orang-orang mati kelaparan di bawah lapisan
kita itu. Saya curiga akan hal itu, sebab dorongan untuk berbuat mulanya muncul
dari rasa, olah rasa.
Saya juga heran kenapa
orang-orang sekarang kurang peka terhadap mereka yang di pinggir itu? Itu bisa
dilihat dari karya-karya sastra kita, yang kurang simpatik, kurang mengangkat
jurang sosial, dan persoalan kelas sosial. Kita menutup diri pada tempurung
kelas kita. Saya mendeteksi rasa itu, kita takut akan terjerumus pada lubang
derita. Kita takut pada rasa lapar yang mendera. Lantas, kenapa kita tidak
melawan? Melawan budaya patronase yang sudah berlendir, melawan budaya hak
istimewa (nepotisme), melawan budaya korup, memperoleh aset yang bukan haknya.
Kita tak berdaya melawan suatu
sistem yang berjamur, sistem yang sudah kelewat basah. Dimana banyak mulut yang
telah menikmati, banyak tangan yang telah menjamah. Kita lelah melawan
sodara-sodara kita yang tak mengerti nasib derita tetangga-tetangganya, yang
dengan enteng dia sering ucap dan sebut. Kita kadang tak sadar telah
membincangkan nasib orang miskin di lobi-lobi hotel, dengan jas perlente,
dengan sepatu mengkilap. Namun apa yang terjadi, apa yang diperoleh orang
miskin? Mereka hanya memperoleh janji dan janji. Kata-kata manis. Pemimpin
adalah mereka yang punya kemampuan berkata manis dengan sedikit punya bakat
bermuka tembok.
Saya lelah melihat sistem kepemimpinan di
negeri ini, yang tak jemu-jemu menggerus, mengekspolitasi apa-apa saja yang
bisa direbut. Pemimpin di negeri ini adalah mereka yang tak punya mata batin
untuk merasakan dampak dari perbuatannya. Pemimpin di negeri ini adalah mereka
yang lemah mentalnya, yang dengan gampang disogok, diberi gula-gula oleh pihak
asing. Asing yang justru selalu kita bela atas nama investor, atas nama
lapangan kerja. telah mempermalukan bangsa kita. Asing telah menyedot kekayaan
kita, lewat kontrak-kontrak kerjasama yang tak seimbang. Kita selalu terlena
terhadap kemajuan-kemajuan yang telah kita capai. Kita terlalu cepat terkesima
oleh gemerlap lampu-lampu reklame. Kita terlampau tergoda oleh sorot kamera
bioskop, oleh mentereng gedung mall. Kita terlampau percaya pada pasar, pada
dagang, pada optimisme tiap-tiap orang. kita terlampau yakin terhadap kebaikan
orang asing, terhadap kemanisan kata-kata para pemimpin.
Saya tak percaya pada pemimpin. Apalagi
pemimpin yang tahunya hanya buat lagu. Yang taunya hanya memamerkan body, lalu
dengan liris berkata-kata. Bahwa ia dituduh, ia disudutkan. Ia terlalu mudah
merasa tersakiti. Tapi beliau tidak gampang merasakan sakit rakyatnya sendiri.
Beliau sudah terlampau nyaman dengan fasilitas yang ia peroleh. Dengan begitu
banyak perusahaan yang telah beliau buat, tentu untuk memenangkan tender-tender
milik pemerintah. ia sebenarnya tak sadar, kalau ia memakan uangnya sendiri,
memakan uang rakyat.
Terimakasih telah membaca
suratku..
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar