Satu lagi lahir karya akademik
yang bakal mewarnai perbincangan politik di Kota Makassar, yaitu buku “Perang
Kota : Studi Politik Lokal dan Kontestasi Elit Boneka”. Saya merasa buku ini
cocok menjadi sajian hangat ataupun dingin (pada saat hujan) untuk dilahap,
sembari sesekali meneguk kopi. Asal jangan kopi saset, kopi itu bagi saya
justru membuat perut terkocok dan tentu akan tidak konsentrasi lagi membaca.
Perang kota yang ditulis oleh Kanda Rahmad M. Arsyad merupakan
upaya pemotretan terhadap proses pemelihan Walikota Makassar 2013, yang diikuti
oleh 37 kandidat, yang kemudian mengerucut ke beberapa kandidat saja (Irman
Yasin Limpo-Busrah Abdullah, Tamsil Linrung – Das’ad Latief, Rusdin
Abdullah-Idris Patarai, Supomo Guntur-Kadir Halid, Adil Patu-Isradi Zainal,
Muhyina Muin-Syaiful Saleh, Apiyati Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh, Erwin
Kallo-Hasbi Ali, Herman Handoko-Latief Bafadal). Tapi sebelum pembaca melangkah
lebih jauh, saya meminta maaf bahwa saya tidak akan menceritakan lebih banyak
tentang isi buku, walaupun saya sudah membaca buku tersebut. Sebab, saya yakin,
setelah buku ini beredar, akan banyak orang yang akan menulis tanggapan. Dan tanggapannya
pasti berulang karena adanya kesamaan pikiran ataupun kesamaan ruang-ruang
pengalaman. Jadi, tulisan ini sekadar apresiasi hangat saja buat si Penulis,
yang cukup menginspirasi saya secara pribadi.
Lanjut, Rahmad memotret proses
panjang politik kota Makassar, sejak awal hingga pucuk proses perebutan kuasa. Tentu,
untuk memotret itu Rahmad tidak dapat melakukannya seorang diri, rahmad
melakukan itu secara jamak dalam lembaga Indonesia
Development Engeneering Consultant (IDEC). Lembaga IDEC ia rintis sejak
tiga tahun lalu, bersama kawan-kawannya yang biasa terlibat dalam kerja-kerja
penelitian politik. Yang ia mulai di sebuah kota kelahirannya di jantung Sulawesi
Tengah, kota Palu. Tampaknya, kota itu telah memperkenalkannya pada pertarungan
pertama di luar kampus, mengajaknya untuk turut terlibat, bukan sebagai pemain,
tapi sekadar sebagai pembisik. Sebagaimana pembisik, ia dapat menjadi hantu
bagi mereka yang merasa dihantui.
Tapi belakangan (khususnya pentas
di Makassar), Rahmad tidak melakoni diri sebagai pembisik. Ia malah menyuarakan
bisikan-bisikannya dengan murah, lewat koran-koran, lewat diskusi-diskusi. Pikiran-pikiran
ini pun kembali menjadi hantu, sebegitu misterius. Misteri dalam segi penemuan
ide, tapi setelah ide itu dikemukakan, akan menjadi jelas dan terang. Sebab,
ide tersebut telah dipermak menjadi jahitan teks, menjadi rangkaian peristiwa
yang memuat unsur-unsur inti jurnalistik. Dampaknya pun akan seperti dampak
sebuah karya jurnalis bermutu, yaitu dapat menjadi sinar yang membuat mata
orang terbelalak melihat ‘fakta’ yang mulanya tersembunyi. Fakta dalam artian
ini bukan sekadar konteks sebuah peristiwa, tapi juga modus, pola jaringan,
strategi politik dan komunikasi, maupun bahan baku politik berupa sumberdaya
manusia, dan kemampuan politikus dalam melihat permasalahan mendasar masyarakat
kota.
Orang pun masih dibuat pusing tentang
sumber perkamen-perkamen ide yang Rahmad peroleh untuk membedah fenomena
politik Makassar? Setahuku, tak ada yang misterius untuk hal ini. Karena Rahmad
sedari dulu merupakan salah satu spesies mahasiswa yang rajin memamah beragam
jenis rumput, dimana saja terdapat rumput subur. Maka pantaslah ia dengan mudah
mengakar rumput dan seseskali menengok ke atas. Bukan orang atas yang sesekali
mengakar rumput. Rumput-rumput itu bertebaran di ruang tamu rumahnya di Sudiang,
rumput dengan beragam jenis judul, ada tema politik (berwarna merah), tema
tokoh (berwarna biru), tema sosial (berwarna jingga), maupun tema-tema kasus
jurnalistik dan komunikasi (berwarna putih). Ah, warna-warna ini menjadikannya
multi warna, dan saya curiga rahmad ini salah satu multigot, atau biasa dikenal
sebagai ensiklopedis.
Saya merasa, ilmu-ilmu praksis
dan komunikasi ia peroleh dari perbincangan-perbincangan sederhana di warkop,
dimana ia dengan mudah terkejut oleh semacam aliran listrik. ia dengan mudah
terkejut dengan ide-ide sederhana, yang kemudian ia dalami dan ia carikan
fakta-faktanya. Atau dari fakta-fakta ia hubungan dengan ide kongkow-kongkow warung
kopi. Ide itu pun semakin meranggas semeranggas pucuk rokok yang selalu beliau
hisap dalam-dalam. Semakin dalam hisapan rokok, mungkin semakin dalam bangunan
ide yang ia bangun dengan tiba-tiba, dengan tingkat emergensi ide yang mafhum. Maka
bersyukurlah pada rokok yang turut andil melahirkan buku ini.
Kemudian ide-ide yang ia jahit di
dalam kepalanya itu ia coba tuangkan dalam tulisan. Yang biasanya Rahmad
lakukan dengan bersemedi. Yah, saya tahu tempat bersemedinya. Hahaha.. ia cukup
dengan ditemani kopi dan rokok, sembari bersantai sedikit dengan berselancar di
jejaring situs. Kemudian ia merenung dan merenung, maka jadilah fakta (biasanya
sosial politik) disusun dengan bantuan teori-teori dan persinggungan-persinggungan
aneh yang tiba-tiba muncul dalam fenomenon-fenomenon. Misalnya, persinggungan
para elit lama yang mencoba untuk mengendalikan para aktor, hero yang
dimunculkan. Hero ini tidak berlenggak-lenggok dengan akal bulus sendiri, tapi
ada jejaring akal bulus besar di baliknya. Hero – hero dibantu oleh hero-hero
senior, serupa keterlibatan Ilham Arief Siradjuddin (Wali Kota Makassar dua
periode : 2004 – 2009, 2009 – 2014), Nurdin Halid (Ketua Pemenangan Partai
Golkar di Sulsel) serta Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel).
Terkait dengan Hero, saya percaya
seorang hero tak lain adalah seorang yang tak percaya diri dan pemalu, walau
selalu tampil garang di hadapan publik. Hero yang ujub-ujub di pentas politik
ini pun tak bisa berdiri sendiri, ia selalu digotong oleh para peracik teori,
para nujum, dan juga tokoh-tokoh lama yang sudah berani membebaskan dirinya
dari rasa malu. Bahkan bebas dari rasa malu untuk berbuat jahat.
Okelah, lantaran hero ini seperti
turun dari langit, maka pantaslah Rahmad menyebut fenomena ini dalam secuil
pengantar dari bukunya sebagai politik sebagai seni kemungkinan. Saya suka
dengan ajuan tesis ini, Politic is
the possibilistic. Sehingga, politik
pun menjadi ajang pertarungan merebut hati pemilih, yang takarannya justru
mengacu pada waktu dan kemampuan membangun sebuah citra, ditambah kekuatan
mesin politik yang telah mapan. Unsur waktu menjadi penentu, dimana para
tokoh/hero dalam kondisi sebanding, maksudnya setara dari segi minimnya legasi
yang diwariskan. Legasi atau suatu produk kerja yang berguna bagi orang banyak.
Minimnya legasi (warisan untuk publik) menyebabkan legasi itu ditukar dan
ditutupi oleh legalitas dan citra. Yah, setelah hero (stengah matang) ini
resmi/legal mengikuti pertarungan, mereka pun dengan gamblang menjajakan citra
diri dan obral komitment. Yang kemungkinan untuk ditepatinya juga serba
kemungkinan. Wkwkwk..
Lanjut tentang ide-ide yang
dijahit tadi, lantas produk ide yang sudah dalam bentuk opini tercetak di media
itu pun dengan segera menjadi bahan atau resep segar untuk mencincang para
tokoh dan para pemain. Dengan sepotong-sepotong konklusi terhadap peristiwa
politik dan sebagian tekstil jahitan yang ia sulam itu, ia pun dengan mudah
masuk dan memelintir cara berfikir warga Makassar yang ‘maaf’ terkadang bias. Memang,
pikiran orang ramai selalu harus dicurigai, karena orang ramai dengan mudah
dihipnotis dengan selogan-selogan, dengan kata Cappo, dan cikali. Politik
memang selalu bertaut dengan unsur komunitas dan keluarga.
Politik dalam artian medan atau
arena tempat para elit bertarung untuk merebut kuasa. Meski tokoh-tokoh yang
bertarung ini biasanya adalah turunan dari tokoh-tokoh terdahulu. Yang merasa
dan percaya diri dapat mewakili ‘masyarakat’ atau hanya menjadikan politik
sebagai sarana untuk meneruskan kuasa pada pendahulu. Watak kuasa para
pendahulu masih turun melalui mitos-mitos, caritera-caritera, dan orang
ramai-ramai ingin merasakan duduk menjadi penguasa, yang dalam banyangannya
masih dalam citraan tradisional. Ini bisa dilihat dari pilihan orang-orang di
daerah, sebenarnya dia memilih orang yang dekat dengan keluarga dan
komunitas-nya, tentang pilihan partai tempat jagoannya, itu merupakan nomor ke
sekian. Partai menurutku hanya menggantikan posisi organisasi jaman dahulu
untuk saling bertarung merebut pengaruh. Pengaruh partai nonsense.
Partai pun sekadar menjadi tempat
berkumpul, justru partai menjadikan kita sebagai mahluk apolitik. walau tetap
ada pengaruh partai yang mengusung ideologi, contoh PKS. yang dalam tulisan
Rahmad mengusung Tamsil - Das'ad, yang masih terlihat jelas warna ideologinya.
sementara itu, partai Beringin yang dahulunya dominan di Makassar maupun Sulsel
dengan mudah tumbang dan tersingkir, setelah mengusung pasangan Supomo dan
pasangan Rusdin. pertarungan justru dimenangkan oleh Danny Pomanto-Syamsu
Rizal, yang diusung partai Demokrat dan Partai Bulan Bintang. Danny yang
awalnya tidak dikenal oleh orang Makassar, kemudian mempopulerkan diri sebagai
ana' lorongnya Makassar, tiba-tiba mengejutkan kita, ia pun menang dengan
dukungan penuh Ilham (sebagai penguasa saat ini) yang bisa jadi pengaruhnya
masih cukup luas di jajaran birokrasi dan pendukung-pendukung fanatiknya.
Kembali ke Rahmad, senior yang
cukup cerewet ini saya kenal sebagai salah satu mahasiswa yang mewakili
generasi zamannya untuk tampil di depan, untuk bersorak, bukan sekadar
berteriak, tapi disertai analisis yang tajam dan pemaparan fakta yang logik. Kekuatan
analisa, dengan pemetaan fakta sudah terlihat saat forum-forum diskusi di
kampus serta lewat tulisan-tulisannya di Koran Kampus identitas Unhas. Beruntungnya, karena beliau tetap melanjutkan
proyek akademik dan komunitas setelah beliau berkiprah di luar kampus. Semangat
kampus tetap ia jalarkan keluar dan menjaring para penggiat-penggiat diskusi
dalam kampus untuk membangun unit-unit kreatif di luar kampus. Di sinilah saya
pikir letak utama kekuatan Rahmad. Pola kampus
ia pertahankan, ia sekadar memperlebar ruang di luar (labensraum), ruang-ruang
kehidupan ia nyalakan pada setiap tempat yang ia jajaki.
Nah, saya pikir, karya “Peran
Kota : studi politik Lokal dan Kontestasi Elite Boneka” merupakan locus utama
garis hidup rahmad, yang terdiri atas babakan-babakan. Dan babakan politik
Makassar yang ia coba rekam, sebenarnya juga merupakan upaya beliau untuk
merekam dirinya dalam memperlebar dan memperbanyak legasi (warisan). Warisan yang
dibutuhkan orang banyak. Warisan yang berguna untuk maju dan belajar dari masa
lalu.
Melahirkan buku ini bukanlah
sembarang ikhtiar. Sebab, invetasi waktu, tenaga dan pikiran untuk menyusun
sebuah karya akademik, berdasar fakta-fakta, apalagi fakta itu selalu berulang
dalam skala tertentu (proses politik), adalah usaha yang sulit dan menegangkan.
Sebagaimana biasanya perekam, saya yakin, mentalitas di balik seorang perekam
adalah mentalitas bijak, yang ingin melihat masa depan lebih baik dari pada
masa kini, dimana orang-orang kelak dapat menimbah pelajaran dalam proses
politik. serta dapat mengajak orang lain untuk mengembangkan idenya menjadi
lebih integratif dan lebih melisik cela-cela yang tidak sempat ditangkap oleh
kamera IDEC dan ruap-ruap listrik di kepala Rahmad. Sukseslah buat Abang, dan
selamat bagi pembacanya yang menemukan media pembelajar dan tidak usah lagi
mengorek-ngorek koran bekas untuk melacak kembali peristiwa-peristiwa politik
di Makassar pada tahun 2013 kemarin.
Tentu kita sangat berharap, orang
yang banyak memberikan legasi pada khalayak, menjadi layak untuk memperoleh
legitimasi (persetujuan dari orang banyak) untuk masa depan. Mudah-mudahan
orang ramai memberi legitimasi. Dan legitimasi itu dapat berawal dengan membeli
dan membaca buku ini.
Idham Malik
Warkop Boss, Tamalanrea
9 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar