5 hari yang lalu
Jakarta Disorder
Pada Rabu, 28 Oktober 2014, pekan lalu, saya diajak seorang kawan yang bernama Subhan Uya Usman untuk menonton film di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta. Saya ikut-ikut saja, sekalian saya merenung-renung ulang hal-hal yang pernah saya saksikan di tempat itu. Katanya sebentar kita akan bertemu Wardah Hafidz, nama yang terdengar begitu populer.
Sesampai di TIM, kami tak langsung masuk ke beranda, kami memilih duduk-duduk di luar sembari membicarakan hal-hal lain. Saya tak mengenal seseorang pun, tapi kawan saya mengenal banyak. Katanya sebentar saja kita masuk, supaya kita tidak ditanya-tanya. Sekilas bahwa peserta pemutaran film ini ekslusif atau hanya untuk undangan-undangan tertentu, yang merupakan pihak-pihak yang bersentuhan dan tertarik pada isu-isu kemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat bawah. Posisi ruangan untuk pemutaran film pun agak tersembunyi, dan hanya dapat kita temui setelah bertanya dua tiga kali. Spanduknya pun terletak di lorong dalam, dan cenderung tersembunyi. Apalagi bagi orang luar seperti kami, yang belum mengenal betul tata letak TIM.
Akhirnya kami berdua memberanikan diri masuk, tandatangan di buku tamu dan duduk menghadap layar. Kami menonton film dokumentar tentang sisi lain Kota Jakarta, yang kita selalu lihat tapi jarang kita pikirkan. Tentang orang-orang yang tak dianggap, orang-orang yang dianggap benalu kota. Yah, begitulah gambaran besar film Jakarta Disorder besutan Ascan Breuer dan VIktor Jaschke, sutradara berkebangsaan Jerman.
Cerita dimulai dari perjuangan suatu organisasi yang bernama Urban Poor Consortium (UPC) dalam meyakinkan dan membantu warga miskin kota untuk paham kondisi keterpurukan dan ketidakadilan yang mereka peroleh. Dalam film yang cukup panjang itu, sekitar 40 menit, tampak Wardah Hafidz, Pimpinan UPC saat itu, aktif berdialog dengan warga pinggiran Jakarta Utara (Muara Baru dan sekitarnya), melemparkan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba mengubah cara pandang warga miskin kota, bahwa mereka harus berjuang, mereka harus bertahan, mereka harus bersatu untuk melawan dan mencegah penggusuran yang akan dilakukan oleh pemerintah kota yang bekerjasama dengan pengusaha property.
Foto : Subhan Usman
Dari film itu, saya mengerti bahwa warga miskin kota masih banyak yang buta informasi dan sangat rentan dipermainkan oleh pengusaha dan makelar tanah. Mereka diminta tandatangan dokumen yang berisi persetujuan untuk pembebasan tanah, atau minggat dari rumah mereka. Wardah pun berdialog dan mengingatkan mereka bahwa dokumen itu berbahaya, bahwa mereka harus menolak. Ada pula warga miskin kota yang sepakat saja untuk pindah ke tempat baru, walau dia tidak tahu aturan tempat baru yang tak lain apartemen itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya modal ekonomi untuk membayar sewa kamar.
Dari film itu juga saya melihat kesewenang-wenangan pemerintah kota yang direpresentasikan oleh Satpo PP, dengan tanpa ampun menghancurkan rumah-rumah yang dindingnya papan dan beratap seng itu, Menghajar warga, membuat goresan dan memar pada wajah-wajah warga yang melawan. Warga tak berdaya, mereka lalu menuntut ke DPR, Mereka dilarang melintasi pintu gerbang, Wardah mendampingi dan akhirnya mereka berhasil masuk ke ruang sidang, untuk menuntut hak mereka di hadapan para wakil rakyat.
Satu persatu dari mereka berbicara, ada yang tak dapat menahan air mata, ada yang kesulitan berkata-kata, ada yang dengan lugas menuntut bahwa Wakil Rakyat harus berpihak pada mereka, wakil rakyat harus menegakkan keadilan. Tapi, apa daya, wakil rakyat hanya sekadar wakil rakyat, di film itu tampak bahwa wakil rakyat hanya mewakili sebagian rakyat saja, yaitu rakyat yang impersonal, rakyat yang sunyi, rakyat yang kaku dihadapan buku peraturan dan undang-undang. Wakil rakyat hanya mendengarkan dan tidak mampu memberikan jaminan perbaikan. Meski begitu, berdialog dengan wakil rakyat di ruangannya merupakan suatu capaian bagi rakyat miskin kota, "mereka sudah mendengarkan, mereka sudah tersentuh hatinya, minimal kita telah memberi mereka shok mental". Begitu kira-kira komentar Wardah. Saya tiba-tiba teringat oleh kata-kata Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer, "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya". Dimana tampak keteguhan manusia melawan determinisme sejarah, walah sang manusia kalah, tapi menang secara kemanusiaan.
Lalu, dari pengalaman kekalahan dan penggusuran, warga miskin kota bersatu dengan dampingan UPC. Relawan UPC yang terdiri atas warga miskin yang sadar dan tergerak untuk menyadarkan warga lemah lainnya, lemah secara ekonomi dan politik, untuk bersatu mengumpulkan tandatangan untuk kontrak politik kepada calon pemimpin Indonesia, pada Pemilu 2009 lalu. Setelah terkumpul tandatangan lebih dari 500 ribu tandatangan, mereka menegosiasikan hal itu kepada Soesilo Bambang Yudoyono dan Boediono, namun calon presiden yang akhirnya berhasil terpilih sebagai presiden tersebut menolak untuk menerima kontrak politik. Maka sia-sia-lah perjuangan Wardah dan UPC kala itu. "Tapi kami mendapat pelajaran, untung SBY tidak tandatangan, jika dia menerima kontrak politik, maka UPC akan turut terjerat dengan pemerintahan yang begitu buruk," begitulah kira-kira ungkapan Wardah.
Warga kembali berharap waktu Pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, UPC dan warga membangun kontrak politik dengan Pasangan Joko WIdodo - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jokowi menerima kontrak politik dan mendapat sambutan hangat warga. Kontrak politik kembali dibangun waktu pemilihan presiden Juni 2014 lalu, dimana Wardah dan kawan-kawan meminta kontrak politik untuk warga miskin kota di Porong Sidoarjo.
Begitulah akhir film Ascan Breuer, peranakan Cina Jawa Tengah - Jerman, ibunya adalah orang Indonesia yang merantau ke Jerman setelah peristiwa 65. Ibunya keluar dari Indonesia, lebih karena buruknya suasana dan ketidaknyaman saat-saat itu. Film ini pun tak lain merupakan persembahan Ascan untuk leluhurnya, sebuah kerinduan akan identitas. Indonesia merupakan negeri dalam dongeng-dongeng ibunya kala ia hendak tidur, Indonesia adalah suatu negeri dimana ada jutaan nuansa di sana, ada jutaan hikayat dan makna.
Terakhir saya ingin mengutip komentar Wardah terhadap warga miskin kota ini, "Kita harus melihat warga miskin kota sebagai bagian integral dari kota". Warga miskin bukanlah benalu, mereka adalah sama dengan kita, yaitu manusia-manusia yang mencari hidup, mereka hidup demikian karena kurang beruntung lantaran perbedaan akses informasi, akses pendidikan, akses modal.
Setelah menonton film ini, saya tiba-tiba merasa tak nyaman lagi memasang status pamer kemewahan, semisal tempat tongkrongan apa apa saja terkait simbol-simbol atau status sosial. Itu sama saja dengan membatasi kita hanya pada kenyamanan-kenyamanan kelas menengah. Walau pun mungkin saat ini adalah fase dimana saya secara pribadi sangat menikmati akses pengetahuan, akses modal dan kenyamanan-kenyamanan kelas menengah.
Lantas, apa yang harus kita perbuat, sehabis nonton film itu, kami semua mendapat amplop yang berisi komitmen untuk membantu ala kadarnya. Saya tak menyerahkan amplop tersebut, saya hanya berkomentar bahwa saya akan membantu dengan cara lain, mungkin, inilah cara saya membantu dan akan berkomitment terus membantu.
1 November 2014
Kalibata, Jaksel
0 komentar:
Posting Komentar