WWF - Indonesia
Pada Mei 2013,
saya direkrut oleh Program Akuakultur WWF-Indonesia. Awalnya agak kaku juga,
karena sudah lama tidak bersentuhan dengan wacana akuakultur. Meski begitu, ini
adalah kesempatan untuk menimbah pengalaman di lingkungan kerja yang lebih
professional dan berskala nasional. Untuk itu, saya mulai percaya diri untuk terjun
ke dunia LSM yang lebih professional. Saya dipanggil ke Jakarta untuk adaptasi
selama satu bulan. Dalam sebulan kerja, saya belajar tentang sertifikasi ASC
Shrimp di Banten dan Pelatihan BMP Budidaya Udang Windu di Aceh.
Kembali ke
Makassar, Saya dituntut untuk melakukan pendataan dan sosialisasi program
akuakultur WWF-ID kepada stakeholder – stakeholder kunci di Makassar. Kerja ku
hanya berkenalan, memaparkan rencana kerja WWF-ID di Sulsel. Saya mengunjungi
kantor institusi – institusi perikanan yang ada di Makassar dan sebagian di
kabupaten yang ada di Sulsel. Sambil memaparkan maksud dan tujuan dan rencana
kerja WWF-ID, saya juga meminta dokumen – dokumen resmi program kerja institusi
– institusi tersebut. Hal – hal tersebut sebagai data sekunder untuk menyusun
laporan Studi Dasar (Baseline Study) program akuakultur di Sulsel, sebagai
dokumen awal untuk menyusun strategi pendampingan WWF-ID di Sulsel. Selain
institusi, saya bersama tim kerja yang terdiri atas junior rutin melakukan
kunjungan ke lokasi – lokasi sentra tambak udang, ikan dan rumput laut yang ada
di Sulawesi Selatan, untuk memetakan persoalan, metode yang digunakan,
kelembagaan, serta kondisi ekonomi dan lingkungan. Data primer dan sekunder
tersebut digabungkan untuk memulai analisis persoalan – persoalan dan metode
pendampingan terhadap petani budidaya maupun perusahaan budidaya perairan agar
menerapkan metoder budidaya ramah lingkungan. Kami juga mengambil data
wawancara, observasi dan data skunder di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Maluku.
Sehingga terdapat pula dokumen hasil survei akuakultur di Sultra dan
Maluku.
Observasi tambak untuk penyusunan baseline survei akuakultur Sulsel
Sembari
mengambil data dan menambah jaringan dan pengetahuan budidaya perairan di
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Saya juga dilibatkan dalam
kegiatan pengambilan data serta FGD atau eksternal review untuk penyusunan
dokumen – dokumen panduan budidaya yang baik. Dalam dua tahun tim akuakultur
WWF-ID berhasil mencetak buku panduan atau BMP (Better Management Practice)
untuk budidaya Udang Windu, Udang Vannamei, Bandeng, Rumput Laut, Gracilaria,
dan Kerang Hijau.
Pendampingan di Pinrang
Setelah enam
bulan mengumpulkan data, menambah jaringan dan pengetahuan, akhirnya tibalah
masa untuk melakukan pendampingan secara langsung pada kelompok – kelompok
pembudidaya di Sulawesi Selatan. Kami memutuskan untuk melakukan pendampingan
di Pinrang, sebab pihak – pihak perikanan di Pinrang merespon dengan baik
program akuakultur WWF-ID, mulai dari tokoh masyarakat di level lapangan yaitu
Ir. Taufik Sabir, penyuluh yang dalam hal ini Abdul Salam Atjo, staf – staf DKP
(Dinas Kelautan dan Perikanan), hingga pimpinan DKP. Selain itu, terdapat mitra
– mitra kunci di luar pemerintah, yaitu pihak universitas, yaitu program
pendampingan Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang dipimpin oleh Prof. Hattah
Fattah. Selain itu, telah ada perusahaan yang komitmen untuk membeli udang
dengan harga yang baik, serta peduli terhadap lingkungan, yaitu ATINA (Alter
Trade Indonesia).
Kami juga terbantu oleh keterlibatan penuh Ir. Taufik untuk mengawal kami dalam pelaksanaan pendampingan petambak udang di Pinrang. Ir. Taufik bahkan menyediakan ruang kecil di belakang rumahnya (rumah kecil) untuk ditinggali fasilitator lokal WWF-ID. Ir. Taufik membantu untuk semua urusan, mulai dari identifikasi petambak dampingan, mendampingi setiap kunjungan lapangan, membantu mensosialisasikan kegiatan - kegiatan WWF-ID di Pinrang, dan yang paling penting adalah menyediakan informasi update mengenai kondisi petambak dan budidaya udang di Pinrang.
Pendampingan
dimulai dari sosialisasi BMP Budidaya Udang Windu di salah satu desa di Kec.
Suppa, Pinrang, dengan mengundang sekitar 60 peserta yang berasal dari petambak
udang, penyuluh dan staff DKP Pinrang. Setelah sosialisasi, dilanjutkan dengan
pelatihan BMP Budidaya Udang Windu, yang lebih bersifat teknis, seperti
membahas masalah penyakit udang, bibit, serta lingkungan dan sosial. Petambak
yang diundang berasal dari Desa Tasiwalie, Desa Wiringtasi, Desa Lotangsalo
(LOWITA Suppa), maupun Desa Lotangsalo dari Kec. Mattirosompe, serta Kelurahan
Lanrisang dan Jampue. Sebelum pelatihan, terlebih dahulu dilakukan pendataan
Gap Assessment BMP Budidaya Udang pada petambak – petambak yang akan diundang,
untuk melihat kesenjangan dari segi teknis, kelembagaan, legalitas, dan sosial,
dan lingkungan.
Pelatihan BMP Budidaya Udang Windu, di Suppa, Pinrang
Setelah itu,
pada 2014, dimulailah pendampingan pada dua kelompok petambak udang
windu-vannamei di Kawasan minapolitan Lowita Suppa, yaitu Kelompok Phronima
yang terletak di Desa Tasiwali’e dan Kelompok Samaturu’ di Desa Wiringtasi,
keduanya berada dalam Kawasan Minapolitan Lowita Suppa. Pendampingan Kelompok
Phronima dimulai dengan mendata tambak – tambak yang mengandung atau terdapat
phronima di dalamnya yaitu total luas tambak yaitu 143,92 hektar (rata-rata
udang windu), sedangkan luas tambak vannamei yaitu 30,44 hektar. Setelahnya
dilakukan pendataan metode budidaya serta hasil produksi masing – masing petak
tambak petambak yang didampingi. Saat itu, ditetapkan bahwa petambak yang
didampingi terdiri atas 25 petambak, 18 petambak dari Kelompok Phronima dan 7
petambak dari Kelompok Samaturu. Dalam pendampingan, WWF-ID merekrut satu orang
pendamping untuk tinggal bersama petambak di sana, yaitu Muh. Abdillah Yunus.
Untuk menguatkan
pendampingan, dilakukan pula sosialisasi terkait BMP Budidaya Udang kepada para
penyuluh perikanan Pinrang, makanya dilakukan pelatihan dengan melibatkan
penyuluh, dengan materi – materi yang sesuai dengan kebutuhan penyuluh, yaitu
peningkatan kapasitas teknis, metodelogi kerjasama, serta permasalahan
pembibitan, selain itu, pengenalan tentang sertifikasi ASC Shrimp. Harapannya,
penyuluh bertambah semangat dan mempunyai tools baru dalam pendampingan kepada
petambak, dan mengupdate diri terhadap wacana akuakultur yang berkelanjutan.
WWF-ID juga
dilibatkan dalam kepengurusan Badan Koordinasi Kawasan Minapolitan Lowita Suppa
pada bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia, yang dimulai dengan pembahasan
pembentukan Badan Koordinasi Minapolitan Lowita pada Mei 2014 dan SK
kepengurusan keluar pada September 2014. Atas dasar itulah pada Agustus 2015,
WWF-ID memfokuskan program kerja dalam bentuk penguatan kapasitas SDM melalui
program Sekolah Tambak Kawasan Minapolitan Lowita Suppa, Pinrang. WWF-ID
mendesain kurikulum Sekolah Tambak, dengan jumlah pertemuan yaitu 10 kali
pertemuan. Pertemuan pertama yaitu penggalian permasalahan dari petambak dan
sosialisasi rencana pertemuan – pertemuan berikutnya, serta input teknis
strategi dari pemandu yang didatangkan langsung dari konsultan program
Akuakultur WWF-ID dari Jakarta. Tema – tema yang diangkat terkait dengan permasalahan
utama yang dihadapi oleh petambak, seperti manajemen pengelolaan Kawasan secara
terintegrasi, manajemen kelompok, persoalan legalitas tambak, pencegahan dan
pengentasan penyakit udang, limbah dan pestisida berbahaya serta aplikasi pupuk
organik, permasalahan benur dan pembibitan udang, permasalahan dalam
rehabilitasi ekosistem mangrove. Sejauh ini telah pelaksanaan Sekolah Tambak
sudah berlangsung sebanyak 7 kali pertemuan. Sekolah tambak ini disambut dengan
hangat oleh para petambak, jumlah partisipan Sekolah Tambak rata – rata 30 – 40
orang pada setiap pertemuan. Pada saat bersamaan, DKP Pinrang juga membuat
skema Sekolah Lapang untuk para petambak. Sehingga antara Sekolah Tambak
WWF-Indonesia dan Sekolah Lapang DKP Pinrang, saling bersinergi dalam penguatan
kapasitas petambak udang Pinrang.
Pelaksanaan
Sekolah Tambak ini secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir petambak dan
stakeholder perikanan yang ada di Pinrang, untuk mulai memikirkan cara – cara
budidaya yang ramah lingkungan. Mungkin dalam praktek mereka masih menerapkan
cara – cara lama, tapi dalam pikirannya sudah mulai tertanam cara – cara
budidaya yang baik dan ramah lingkungan. Terdapat petambak yang secara langsung
merasa terbantu dengan Sekolah Tambak ini dan terang – terangan mengungkapkan
bahwa mereka memperoleh pandangan baru dan cara baru untuk penyelesaian
persoalan dalam budidaya udang di tambak mereka.
Pelaksanaan Sekolah Tambak pertama, 2014.
Sekolah Tambak
sendiri terinspirasi dari kegiatan Kelas Literasi yang saya ikuti di Makassar,
untuk meningkatkan kapasitas para penulis muda Makassar. Saya melihat
konsistensi dalam pemberian materi dapat menghasilkan lompatan pemahaman. Hal
ini sesuai dengan prinsip dasar teori gerak, yaitu kuantitas ke kualitas. Perubahan
akan terjadi seiring dengan konsistensi gerakan. Semakin sering kita memberi
pengaruh melalui pertemuan dan diskusi, semakin besar kemungkinan terjadi
lompatan pemikiran pada peserta didik. Pada dasarnya rangkaian panjang Sekolah
Tambak sebagai dasar atau landasan pemenuhan syarat – syarat perubahan
pemikiran pada pera petambak, dari cara berfikir eksploitatif ekonomi ke arah
ekonomi berkelanjutan.
Bersamaan dengan
itu, WWF-ID pun berupaya untuk menguatkan kelembagaan di tingkat kelompok,
dengan melakukan pertemuan ke pertemuan dengan para petambak untuk
mendiskusikan visi – misi, struktur, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,
program kerja. Sempat pula didiskusikan manajemen keuangan dan kemungkinan
untuk pengumpulan dana kelompok melalui iuran – iuran anggota kelompok. Namun,
sejauh ini cukup sulit untuk mengajak petambak untuk konsisten dalam
pelaksanaan program kerja kelompok, dalam hal ini program kerja bidang budidaya
dan bidang pemasaran. Untuk itu, program kerja hanya dilakoni oleh fasilitator
lokal WWF-ID, seperti pendataan kondisi tambak dan asistensi teknis,
pendampingan dalam pembuatan probiotik RICA, memberikan contoh dalam penerapan
budidaya cacing untuk memperoleh pupuk kascing, bersama petambak mengelola
tambak ujicoba BMP Budidaya Udang Windu, walaupun berakhir dengan kegagalan
panen.
Ir. Taufik selalu mendampingi kami untuk menjalankan program aquaculture di Pinrang.
Pada pertengahan
2015 hingga saat ini, para petambak udang beralih dari udang windu ke udang
vannamei, lantaran hempasan kegagalan panen akibat penyakit udang yang dipicu
oleh kualitas air yang menurun dan cuaca buruk (iklim). Sehingga membuat
program perbaikan lingkungan guncang, sebab budidaya udang vannamei lebih
memicu perubahan lingkungan melalui input limbah organik yang dihasilkan.
Tekanan lingkungan, tekanan ekonomi, tekanan pasar, serta rasa frustasi
petambak akibat kegagalan panen dan jebakan status penggunaan lahan yang masih
berstatus sewa. Para petambak tradisional yang hanya memanfaatkan lahan sewa
atau petambak yang statusnya sebagai pekerja masih membutuhkan jaminan akan
stabilitas produksi. Sehingga, sangat mudah untuk mengajak mereka untuk beralih
komoditas, dari windu ke vannamei.
Makanya,
pendataan kembali diarahkan untuk pendataan vannamei, selanjutnya memaksa kami
untuk kembali mempelajari udang vannamei lebih baik untuk menghadapi para
pembudidaya vannamei yang baru – baru saja mencoba budidaya udang vannamei. Untuk
itu, muncul kesepakatan dengan petambak untuk mengawal mereka dalam peningkatan
kapasitas budidaya udang vannamei melalui :Kelas Vannamei” Kelompok Phronima. Kelas
vannamei ini sudah berlangsung sebanyak 3 kali pertemuan, dengan melibatkan
seorang teknisi tambak supraintensif, untuk menjelaskan dasar – dasar budidaya
udang vannamei. Untuk menguatkan konten vannamei, kami secara mandiri juga
mencoba untuk budidaya udang vannamei secara mandiri untuk mengetahui secara
langsung metode budidaya udang vannamei, peluang dan tantangannya. Meski
diujung – ujungnya hasil yang kami peroleh tidak seberapa dan sempat membuat
tim akuakultur turun semangat.
Selain
mendampingi Kelompok Phronima, WWF-ID juga menjajaki hubungan kerjasama dengan
perusahaan coldstorage eksportir udang, yaitu PT. Bogatama Marinusa (BOMAR).
PT. Bomar berniat untuk terlibat dalam perbaikan budidaya udang melalui program
Seafood Savers WWF-ID. WWF-ID bersama PT. Bomar menyusun rencana perbaikan agar
produk yang didaftarkan PT. Bomar dapat mengklaim sebagai produk ramah
lingkungan melalui skema pasar, melalui skema Sertifikasi Udang Aquaculture
Stewardship Council (ASC).
Kegiatan
pendampingan dimulai dengan pendataan tambak, pembuatan dokumen dampak tambak
terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, pembuatan dokumen dampak tambak
terhadap kehidupan sosial, penyusunan dokumen – dokumen pemeliharaan udang yang
baik, pelibatan pihak – pihak pemerhati lingkungan untuk terlibat dalam gerakan
lingkungan dalam bentuk konsolidasi dalam penanaman mangrove.
Pendampingan Petani Rumput Laut Gracilaria Takalar
Pendampingan
WWF-Indonesia tidak hanya di Pinrang, tapi juga mendampingi petambak rumput
laut gracilaria bersama perusahaan rumput laut Celebes Seaweed Group (CSG).
Sejak Agustus 2016 WWF – ID melakukan pendataan kondisi tambak yang ditunjuk
oleh CSG untuk didampingi. Pada Januari 2017 telah terbentuk kelompok
pembudidaya gracilaria yang berangkat dari kesadaran bersama para petani yang
sebelumnya telah terkoneksi dengan perusahaan CSG. Bersama 20 orang petambak,
terbentuk kelompok yang bernama Kelompok Samaturu’e, dengan visi kelompok yaitu
menuju kesejahteraan bersama dan perbaikan lingkungan, misi kelompok yaitu
peningkatan kuantitas produksi rumput laut serta kualitas rumput laut. Dirumuskan
pula metodelogi untuk menuju peningkatan kuantitas dan kualitas rumput laut
tersebut, melalui program kerja kelompok. Ditetapkanlah program kerja dalam dua
divisi, yaitu divisi budidaya dan pemasaran. Untuk divisi budidaya terbagi atas
tiga program, yaitu pendataan tambak secara rutin, pelatihan teknis budidaya,
pertemuan rutin membahas persoalan budidaya, penelitian dan pelaksanaan tambak
percontohan gracilaria berdasarkan BMP Budidaya gracilaria yang disusun oleh
WWF-Indonesia.
Makanya, sejak
terbentuknya Kelompok, secara rutin dilakukan pertemuan, baik dalam rangka
pelatihan budidaya maupun pertemuan untuk menggali informasi dan penyamaan
persepsi dalam bentuk FGD. Terhitung sudah lima kali pertemuan dalam bentuk
pelatihan dilakukan pada Kelompok Samaturu, yaitu Pelatihan BMP Budidaya
Gracilaria, Pelatihan Kualitas Air, Sharing informasi budidaya gracilaria
bersama dosen – dosen akuakultur Unhas, Pelatihan manajemen usaha dan
perencanaan keuangan, Pelatihan Pembibitan dan Penanaman Mangrove. Kami
menyebut pelatihan – pelatihan tersebut sebagai “Kelas Samaturu”. Prinsip
dasar Kelas Samaturu’ jiuga mencontoh prinsip Sekolah Tambak, yaitu Kuantitas ke Kualitas.
Dampak dari
pelatihan – pelatihan yang difollow up lagi pada saat pertemuan rutin yaitu
perubahan pola pikir sebagian petambak. Menurut pengakuan petambak, saat ini
sudah ada beberapa yang mulai menerapkan pemeliharaan gracilaria dengan usia
panen yang tepat, yaitu 45 – 50 hari. Sebelumnya masih banyak petambak yang
hanya memelihara di bawah usia 45 hari, yang tentu kualitas rumput laut belum
maksimal. Selain itu, sudah banyak petambak yang menerapkan manajemen
pengeringan dengan baik. Pengeringan hingga kadar air tersisa 15%, dengan
kondisi bersih atau kadar kotor di bawah 3%.
Survei gracilaria di Takalar, 2015
Selain di
Takalar, pendampingan rumput laut gracilaria juga dilakukan di Bone, yaitu di
Cenrana. Namun, pendampingan di Cenrana belum begitu dalam, baru sebatas
pelatihan – pelatihan dan pertemuan – pertemuan untuk pembentukan kelompok. Lantaran
kondisi geografis yang sulit, dimana harus melewati jalur sungai serta produksi
rumput laut yang rendah pada beberapa bulan selama setahun. Pendampingan
di Bone akan dilanjutkan dengan
menyesuaikan sumberdaya manusia yang ada.
Pendampingan
dikuatkan dengan adanya tambak percontohan yang didukung oleh WWF-ID dan ACC (Aquaculture Celebes Community). ACC
menggadai tambak milik salah satu petambak Kelompok Samaturu untuk jangka waktu
5 tahun. Tambak tersebut kemudian dikelola dengan baik oleh WWF-ID – ACC,
dengan melakukan perbaikan pintu air serta perbaikan pematang tambak. Saat ini
sudah masuk siklus panen kedua, dengan peningkatan produksi panen hingga 70%.
WWF-ID juga melakukan perbaikan pengeringan tambak dengan mendorong pembuatan
para – para pada bagian dalam pematang tambak. Penambahan ruang pengeringan
melalui para – para sangat membantu untuk peningkatan produksi. Sebab, waktu
panen semakin singkat dengan bertambahnya rumput laut yang dapat dikeringkan
dalam satu hari, dengan semakin cepatnya waktu panen, akan meningkatkan pula
kemampuan tumbuh bibit rumput laut pasca pemanenan. WWF-ID juga mendorong
adanya plastik UV, penggunaan plastic UV sangat berguna untuk mempercepat waktu
panen lantaran panas dan terperangkap dalam rumah kaca Plastik UV. Selain itu
bermanfaat saat musim hujan. Rumput laut yang dikeringkan tidak terancam rusak
akibat terguyur air tawar. Tambak ujicoba ini juga memicu lahirnya inovasi
berupa alat panen. ACC yang didukung oleh WWF-ID telah membuat prototype alat
panen, yang kedepannya dapat dikembangkan sebagai alat panen. Tujuan dari mesin
panen rumput laut ini adalah mampu mempercepat proses panen, yang sebelumnya
dicapai selama 7 – 10 hari perpetak, menjadi hanya 2 – 3 hari. Selain itu dapat
lebih hemat karena berkurangnya biaya untuk membayar pekerja panen.
Tanda tangan pengelolaan tambak gracilaria, ACC - Kelompok Samaturu, Desember 2017
Dalam dua bulan
terakhir, WWF-ID konsentrasi untuk melengkapi administrasi anggota kelompok
berupa pembuatan Kartu KUSUKA serta TPUPI (Tanda Pencatatan Usaha Pembudidayaan
Ikan). Lengkapnya administrasi tersebut merupakan langkah awal agar kedepannya
anggota kelompok tidak direpotkan saat mengusulkan proposal bantuan ke
pemerintah. Selain itu, kartu KUSUKA juga dapat menjadi ATM (Anjungan Tunai
Mandiri) petambak ketika memperoleh bantuan dari pemerintah.
Adanya komitmen
untuk perbaikan budidaya, solidaritas bersama dalam membangun kelompok, serta
lengkapnya administrasi, menjadi syarat utama pengembangan organisasi dan
ekonomi, dari Kelompok Pemula menuju Koperasi Pembudidaya Gracilaria. Petambak
sudah memikirkan rencana pembentukan koperasi tersebut. Beruntungnya, sudah
terbangun kesadaran dari para petambak untuk mengumpulkan dana bulanan/iuran, meski
belum rutin dan optimal.
Aquaculture Celebes Community (ACC)
Di atas sempat
disinggung ACC yang telah mengelola tambak. ACC terdiri atas teman – teman yang
sudah lama terlibat dalam kegiatan perbaikan budidaya WWF-Indonesia. ACC
memiliki tujuan yang sama dengan WWF-ID, yaitu mendorong praktek – praktek
budidaya yang bertanggungjawab dan berkelanjutan, mengawal rehabilitasi
mangrove, mengawal terbentuknya Lembaga petambak yang terorganisir dengan baik,
mendorong adanya Lembaga ekonomi perikanan yang adil dalam bentuk koperasi bagi
para petambak. ACC boleh dikata adalah anak kandung WWF-Indonesia untuk program
akuakultur di Sulawesi Selatan.
Panen pertama tambak gracilaria ACC, di Kel. Takalar Lama, Takalar.
Saat ini ACC
membantu WWF-ID dan PT. Bomar untuk menjalankan program rehabilitasi mangrove.
ACC berhasil mengorganisir komunitas – komunitas pemuda yang peduli lingkungan
untuk terlibat pada kegiatan rehabilitasi mangrove pada Kawasan budidaya udang
windu di Kel. Pallameang, Kec. Mattirosompe, Kab. Pinrang dan pesisir Teluk
Pare di Desa Tasiwali’e, Kec. Suppa, Kab. Pinrang. Sejauh ini ACC telah
membantu WWF-ID dan PT. Bomar untuk menanam mangrove sebanyak 10.000 pohon, dan
telah membibit mangrove sebanyak 8000 bibit. ACC bersama WWF-ID dan PT. Bomar
akan terus melanjutkan kegiatan penanaman mangrove di Pinrang hingga tertanam
60.000 bibit pohon atau rehabilitasi ekosistem mangrove seluas 30 hektar.
Untuk mendukung
rehabilitasi mangrove, ACC mengambil inisiatif untuk mengarahkan komunitas
komunitas pecinta lingkungan untuk membentuk gerakan bersama di bawah wadah
Garda Mangrove. Saat ini telah dilaunching Garda Mangrove wilayah Pinrang –
Pare, dengan melibatkan sekitar 10 komunitas pecinta lingkungan. Harapannya,
dengan aktifnya Garda Mangrove bekerja untuk perbaikan lingkungan pesisir di
Pinrang – Pare, memberi inspirasi bagi para pecinta lingkungan di daerah lain
untuk bergerak bersama dalam wadah jejaring garda mangrove pula. Kemudian ke
depan akan lahir jejaring Garda Mangrove Sulsel yang saling berkoordinasi satu
sama lain untuk perbaikan lingkungan pesisir.
Penanaman mangrove bersama ACC dan Garda Mangrove, Juli 2018
Selain belajar
untuk mengelola tambak gracilaria di Takalar, ACC juga sedang mengembangkan
bisnis perikanan yang berkelanjutan. ACC menghubungkan antara petambak dengan
konsumen udang yang peduli lingkungan di Jakarta dan Makassar. ACC telah
menjalin kontrak kerjasama dengan Fish n Blues (perusahaan perikanan ramah
lingkungan) berbasis di Jakarta, dengan permintaan rutin 50 kilogram udang
windu perbulan. Untuk wilayah Makassar, ACC menjual udang kepada masyarakat
kelas menengah untuk memperkenalkan kepada mereka udang berkualitas baik dan
diperoleh dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem. ACC telah berkomitmen
untuk menyisihkan sepuluh persen dari keuntungan penjualan produk perikanan
untuk aksi – aksi peduli lingkungan dan mendorong budidaya yang berkelanjutan.
Ke depan, ACC
dengan dukungan WWF-ID dapat menjadi organisasi independen, yang akan mengawal
perubahan paradigma dan praktek perikanan budidaya, dari yang bersifat
eksploitatif menuju praktek perikanan budidaya yang berkelanjutan.
Penutup
Sedari kecil
hingga saat ini, kehidupan saya dikelilingi dengan lingkungan yang baik dan
bertemu serta akrab dengan orang-orang yang baik. Keadaan sekitar yang
mendukung perkembangan emosional dan rasional saya, menjadi alasan utama saya
untuk terus bekerja, mempertahankan sifat – sifat baik dalam diri manusia.
Saya sangat
bersyukur menerima hidup seperti ini. Rasa syukur ini tidak bisa saya balas.
Tindakan – tindakan saya ini mungkin sangatlah sedikit dibanding nikmat
kehidupan bahagia yang saya terima selama ini.
Terimakasih
0 komentar:
Posting Komentar