Hari kemerdekaan
tahun ini rasanya cukup spesial. Saya diberi kesempatan untuk mengolah raga
pada perjalanan menuju Dusun Cindakko, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu,
Kab. Maros. Sebelumnya saya sudah beberapa kali diajak oleh saudari – saudari
di keluarga kecil identitas Unhas, untuk jalan – jalan ke sana, lokasi
perjuangan mereka mendidik adik – adik yang sementara berjuang untuk merasakan
Pendidikan seperti anak – anak di dusun atau di Lorong lainnya di Indonesia.
Saya menemukan
kebugaran setelah berjalan kaki selama dua jam, dengan betis yang mengeras saat
mendaki dan lutut yang sedikit ngilu saat melaju turun. Udara yang segar,
pemandangan hijau, dan yang penting adalah keringat yang membasahi baju dan
menguap. Degup jantung yang menguat membuat aliran darah lancar, yang serasa
sampai ke mata. Mata menjadi lebih jernih dan pikiran lebih bebas. Cukup lama
saya mencari sensasi seperti ini, yang sedikit – sedikit saya peroleh ketika
berjalan kaki cukup jauh untuk mencari makan atau warung kopi di Jakarta,
beberapa hari sebelumnya.
Sesampai di
dusun Cindakko, saya melihat anak – anak sedang merayakan hari kemerdekaan
dengan lomba Tarik tambang, tawa ceria mereka begitu lepas, mengingatkan saya
pada masa kanak – kanak saya sendiri. Anak – anak di seluruh dunia menikmati
kebebasan, tanpa beban apa pun, kecuali mungkin beban sekolah. Sekolah pun
bagian dari proses untuk memikirkan masa depan, bagaimana setiap orang dapat
hidup mandiri secara ekonomi, dan memiliki pergaulan yang baik sesama manusia.
Ibu – ibu pun
begitu, ketawa lepas dengan tatapan terbuka, suami – suami mereka menyeringai
memperlihatkan jendela – jendela pada barisan gigi mereka, lalu mengulurkan
tangan dengan kaku. Tampaknya juga tanpa beban. Di tengah – tengah kesulitan
hidup, mereka dapat beradaptasi. Banyak pula yang berusia panjang. Selain warga
setempat yang tinggal di rumah – rumah kayu, di lereng – lereng gunung, yang
jumlah penduduknya diperkirakan sekitar seratus orang, hadirlah pemuda – pemudi
yang rutin menyambangi, yang menamakan diri sebagai aktivis SIA (Sikola
Inspirasi Alam).
Saat itu,
relawan yang tergabung dalam SIA, umumnya mahasiswa yang berjumlah sekitar 15
orang, menikmati gairah muda dan manusiawinya untuk bersama dengan anak – anak
merayakan hari kemerdekaan. Mereka menyelenggarakan lomba-lomba, Tarik tambang,
makan kerupuk, dll, untuk membangun suasana keakraban dan sportivitas kepada
anak-anak Warga Cindakko. Mereka pun menyisihkan uang untuk membeli hadiah –
hadiah ringan bagi anak – anak yang menjuarai lomba. Di samping itu, relawan
membaurkan diri bersama warga untuk berbagi informasi. Mereka juga menyesuaikan
dengan pola makan warga, seperti memakan hidangan yang umum di sediakan di
sana, yaitu nasi dan telur, dengan campuran sayur jantung pisang. Saya belum
bisa membagi lebih banyak mengenai menu makanan. Sebab saya hanya dua hari sana. Hehehe
Kehidupan Cindakko
Warga Cindakko
menggantungkan hidupnya dengan mengolah sawah tadah hujan yang berada di
lereng-lereng gunung. Rata – rata perkeluarga mengolah lahan seluas dua hektar,
yang umumnya hanya satu kali panen dalam setahun, yaitu saat musim hujan. Hasil
panen kebanyakan di simpan untuk kebutuhan keluarga selama 12 bulan. Jika
kemungkinan ada sisa, akan dijual ke pasar yang terletak di desa bawah.
Sebagian petak bisa dua kali panen dalam setahun, petak yang terletak di dekat
sungai, namun lokasinya cukup jauh dari pemukiman.
Saya berdiskusi
dengan Pak Ali, warga setempat, bahwa mereka masih menggunakan benih padi asli
setempat, bukan benih padi yang biasa didistribusikan oleh pemerintah. Padi ini
dipelihara selama 4 bulan di musim penghujan. Antara Desember hingga April. Itu
pun dengan konsentrasi hujan yang lebih sedikit disbanding di daerah hilir. Nasi
yang dihasilkan pun berbeda, yaitu nasinya tidak menyatu atau lepas satu sama
lain. Saya belum tahu bagaimana kadar energinya, tapi menurut informasi di
daerah – daerah yang mirip Cindakko, nilai gizinya cukup tinggi.
Kendala utama
yang dihadapi warga dalam pengolahan lahan adalah hama babi hutan. Jika sawah
tidak dijaga dengan ketat, mereka dapat menghabisi padi yang dipelihara.
Makanya, warga Cindakko pada musim pemeliharaan padi, jarang tinggal di rumah.
Mereka menginap di rumah jaga sawah untuk mengusir babi jika mendekat ke sawah.
Para petani harus menjaga sejak jam 5 sore hingga subuh hari. Di situlah waktu
jelajah babi untuk mencari makan. Sawah – sawah yang terletak di tengah, bebas
dari serangan babi, sebab babi hanya menyasar sawah sawah yang berbatasan
langsung dengan hutan gunung.
Sejauh ini
mereka menerapkan sistem lahan berpindah, lama waktu pemanfaatan lahan sekitar
3 – 5 tahun, untuk dibiarkan rimbun oleh tumbuhan-tumbuhan liar hingga kembali
memiliki hara yang cukup untuk penanaman padi. Hal ini perlu dipikirkan baik –
baik oleh warga setempat, mengingat ruang rambah semakin lama semakin luas dan
jauh, dengan efek kerusakan lingkungan juga semakin besar.
Kita harus
mempelajari lebih dalam lagi mekanisme pengaturan lahan berdasarkan adat lokal
setempat. Menurut Kepala RT 1 Cindakko, warga di sini masih menerapkan sistem
komunal dalam pemanfaatan lahan. Tidak ada lahan yang tetap milik perorangan.
Lahan tersebut bisa digunakan oleh orang lain jika tidak sanggup mengolah
lahan. Makanya, luas optimal masing – masing kepala keluarga hanya dua hektar.
Namun, di masa depan mungkin punya cerita lain, sebab adik – adik kecil akan
tumbuh dan punya keluarga baru, yang tentu juga membutuhkan lahan untuk
dirambah dan dikelola.
Saya berfikir,
perlu untuk melakukan pemetaan partisipatif terhadap sumberdaya padi yang ada
di lereng – lereng Cindakko. Untuk memberikan data perencanaan pengolahan lahan
yang lebih berkelanjutan. Agar dapat mengukur kemungkinan masa depan, jika anak
– anak besar, berapa luas lahan yang harus disiapkan, berapa peningkatan
produksi gabah perhektarnya untuk memenuhi pertumbuhan penduduk baru. Tentu,
mesti dipikir juga masa depan anak-anak, apakah mereka harus tetap di lereng
itu? Atau sebagian mencari alternatif pekerjaan di desa bawah atau di kota?
Menimbang kondisi lahan yang terbatas dan adanya keharusan untuk keseimbangan
ekosistem.
Selain itu,
penguatan data sejarah kampung, untuk mengidentifikasi sejak kapan nenek moyang
mereka tiba di Cindakko? Sudah berapa generasi yang mengolah lahan di sana?
Kenapa mereka datang ke sana? Peristiwa – peristiwa apa saja yang telah
berlangsung di kampung tersebut. Saya dapat informasi bahwa pada tahun 50 an.
Hutan hutan di sekitar Cindakko menjadi tempat persembunyian gerombolan atau
pasukan DI/TII. Hal ini penting untuk melihat peluang yang dapat dikembangkan
dari perjalanan masa lalu mereka.
Di sinilah peran
relawan – relawan SIA untuk menawarkan alternatif – alternatif, membuka wawasan
adik – adik akan adanya luasnya dunia yang dapat mereka jelajah. Di samping
mendidik mereka untuk dapat melihat persoalan di desanya dan turut membantu
menyelesaikannya. Adik – adik mungkin perlu diajarkan tentang manfaat pupuk
organik dalam ilmu biologi. Dengan memanfaatkan kotoran – kotoran sapi milik
warga. Adik – adik juga dapat diperkenalkan cara – cara memelihara sayur –
sayuran yang bisa ditanam di halaman rumah. Jika memungkinkan, mereka dapat
diperkenalkan untuk memelihara ikan – ikan air tawar di kolam – kolam yang
dibuat dekat rumah, atau menerapkan sistem mina padi, yaitu memelihara ikan di
dalam sawah. Ikan baik bagi pertumbuhan otak anak anak, selain itu dapat
membantu suplai protein di samping telur dan daging ayam. Sembari memasukkan
hal itu dalam kurikulum. Relawan SIA dapat memperlihatkan contoh penanaman
sayuran ataupun mina padi bagi orang – orang tua mereka.
Selain mengolah
lahan pagi, sebagian warga beternak sapi, banyak pula yang memelihara ayam.
Sejauh ini, kendala ekonomi belum begitu berpengaruh pada sikap tulus dan rasa
bahagia mereka. Mereka masih bisa makan, tidak kekurangan air untuk minum.
Tapi, sebagai orang kota, saya sedikit prihatin tentang gaya hidup mereka, yang
terlihat jarang mandi. Rambut kusut dan tampaknya tidak begitu merawat
kebersihan tubuh. Gaya hidup seperti ini dapat berpengaruh pada kualitas hidup
serta kesehatan mereka. Meski begitu, perlu dilihat lebih dalam lagi,
konsekuensi jangka panjang dari pola minim higienis seperti itu. Serta
mempelajari lagi pola hidup leluhur mereka dalam beradaptasi dengan alam.
Persoalan lagi,
bagi kita yang biasa hidup dengan kelimpahan fasilitas. Di sana kurang tersedia
kamar mandi. Selama dua hari di sana, hanya rumah pak RT yang ada kamar mandi.
Mungkin di rumah rumah lain ada, tapi saya belum cari tahu. Sehingga perlu
didiskusikan baik – baik bersama warga sekitar untuk bersama – sama membangun
WC umum.
Kebersihan gigi
juga perlu diperkenalkan pada warga. Sosialisasi – sosialisasi tentang
pentingnya merawat gigi perlu digalakkan. Untuk mencegah kerusakan gigi secara
dini yang menurut Pak RT, selalu menjadi keluhan warga. Selain itu, kebiasaan
minum air yang tidak dimasak mesti direnungkan lagi. Apakah hal itu masih harus
dipertahankan atau harus segera diajak mereka untuk meminum air yang sudah
dimasak? Sebab, meski air tersebut masih bagus, tapi tetap kita harus waspada
pada bakteri pada air yang tidak di masak. Air yang dimasak menjadi pencegahan
terhadap penyakit perut, seperti diare.
**
Saya membeli
satu botol besar madu asli yang diambil warga dari hutan. Madu menjadi salah
satu sumber ekonomi warga setempat. Selain madu, warga juga memanfaatkan pohon
aren untuk membuat gula merah dan getah pinus untuk dijadikan karet, dll. Madu dan gula aren mungkin dapat menjadi masa
depan warga setempat. Kebutuhan akan madu cukup tinggi. Dan warga dapat memanfaatkan
itu untuk lebih mengintensifkan budidaya madu. Praktek – praktek yang baik di
daerah lain, seperti budidaya madu di Desa Labbo, Bantaeng, dapat menjadi
contoh untuk diterapkan di Cindakko.
Getah pinus.
Pada Sabtu,
sekitar pukul 09.30, saya berpamitan dengan Pak Ali beserta keluarganya.
Bersama para relawan SIA kami kembali ke dunia bawah, kembali ke Maros dengan
membawa kenang – kenangan ingatan akan kehidupan sederhana warga Cindakko.
Senin, 20 Agustus 2018
0 komentar:
Posting Komentar